Masalah HAM di balik reklamasi Benoa dan Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masalah HAM di balik reklamasi Benoa dan Jakarta
Komnas HAM menyarankan semua izin dicabut hingga tercapai solusi dan kesepakatan.

  

JAKARTA, Indonesia – Sejak 2014 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengkaji proyek reklamasi di Teluk Benoa dan baru-baru ini di Teluk Jakarta. Mereka menemukan adanya berbagai pelanggaran dari aspek hukum hingga HAM dalam proses eksekusi proyek tersebut.

“Intinya, masyarakat di dua daerah ini ada kemiripan. Mereka menolak reklamasi karena ada pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 33, juga HAM karena penggusuran dan sebagainya,” kata Komisioner Komnas HAM Siane Indriani di kantornya pada Selasa, 25 September 2016. Hal ini didasarkan pada laporan masyarakat kedua daerah.

Pelanggaran yang dimaksud adalah karena lahan reklamasi tersebut tidak lagi digunakan untuk publik. Melainkan akan dikuasai oleh swasta dan merugikan masyarakat di sekitarnya.

Seperti misalkan, ribuan nelayan yang menggantungkan hidupnya di Teluk Jakarta terancam kehilangan mata pencaharian lantaran area melaut mereka sudah tertutup Pulau G. Selain itu, kondisi perairan di sana pun tercemar parah sehingga mereka kesulitan mendapat ikan.

Perwakilan Solidaritas Perempuan, Suci, mengatakan ibu-ibu nelayan di Cilincing sekarang harus bekerja hingga 18 jam sehari guna memenuhi kebutuhan hidup. Mereka yang ikut melaut bersama suaminya juga terancam kehilangan mata pencaharian dari berjualan ikan.

“Kejadian ini menjadikan perkampungan nelayan bisa beralih fungsi menjadi kantong buruh migran,” kata dia. Menurut Suci, sebaiknya pemerintah mendata terlebih dahulu jumlah nelayan yang bakal terdampak bila pulau-pulau reklamasi tuntas dibangun.

Pelanggaran HAM tak hanya terjadi pada para nelayan, bahkan melebar hingga ke aktivis yang menolak reklamasi di daerah mereka. Bagi I Wayan “Gendo” Suwardana. Ia dan aktivis tolak reklamasi Teluk Benoa lainnya sudah kenyang menghadapi tekanan dan intimidasi dari pemerintah.

“Baru-baru ini saja ada 7 aktivis yang dikriminalisasi dengan berbagai isu, dari separatisme hingga pencemaran nama baik,” kata dia. Gendo sendiri juga dilaporkan ke Polda Bali karena dianggap menghina Pospera dan Adian Napitupulu.

Tak hanya itu, musisi yang juga aktif mengampanyekan penolakan reklamasi Teluk Benoa kini kesulitan untuk mengenakan atribut berupa kaos. Para relawan pun bernasib serupa, siapapun yang menunjukkan tentangan akan langsung dihampiri oleh aparat.

“Sekarang Babinsa juga mulai masuk ke kampung-kampung, mendata berapa kekuatan relawan di sana, kemudian dicatat,” kata Gendo.

Proyek tidak transparan

Aktivis ForBALI I Wayan "Gendo" Suwardana menyerahkan hasil kajian ke Komisioner Komnas HAM Siane Indriani. Foto oleh Ursula Florene

Menurut Siane, beberapa proyek ini pun tidak transparan, seperti di Benoa, ketika gubernur yang bersangkutan mengeluarkan izin lokasi secara diam-diam. Namun, saat dikonfrontasi, ia malah cenderung menghindar.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan kalau basis reklamasi tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres), yang artinya bukan kewenangannya untuk membatalkan“Saya tidak berwenang membatalkan Perpres. Saya tidak berkepentingan secara pribadi soal reklamasi,” ujarnya.

Pastika menuturkan, aksi masyarakat Bali yang rutin mengadakan demonstrasi menolak reklamasi Teluk Benoa dianggap dia sebagai upaya yang sia-sia. “Percuma demo terus sampai berdarah-darah di depan saya, tidak mungkin saya minta ke Presiden mencabut Perpres. Saya sudah bosan jadi kambing hitam,” kata dia pada Juni lalu.

Gendo tidak sepakat dengan hal tersebut, karena pemerintah justru terlihat sangat melindungi dan mengakomodir perkembangan proyek PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang merupakan milik taipan Tomy Winata ini. “Untungnya mereka (swasta) itu besar sekali, karena istilahnya dapat tanah murah. Hitungan kami, mereka bisa dapat Rp 120 trilyun dari modal cuma Rp 30 trilyun,” kata dia.

Namun, tidak demikian dengan masyarakat adat yang terdampak. Selain kehilangan tanah dan tempat tinggal, ekosistem lingkungan juga akan rusak hingga bisa mempengaruhi pendapatan sehari-hari mereka.

Komnas HAM melihat indikasi kepentingan bisnis yang begitu kental, sehingga pemerintah pun memuluskan jalannya proyek ini. Bahkan, sampai menabrak berbagai peraturan perundangan, hingga putusan pengadilan yang melenceng dari substansi.

“Ada indikasi dominasi pihak investor ini justru menyebabkan pemerintah mengakomodir berbagai aturan yang disusun, seolah menjustifikasi rencana bisnis pengembang,” kata Siane. Berdasarkan itu, lanjut dia, Komnas HAM merekomendasikan supaya pemerintah mencabut izin dan mengevaluasi terlbih dahulu.

Menurut dia, laporan ini tengah disusun, dan pekan depan akan diserahkan ke pejabat terkait.

Bertemu Bappenas

Sementara itu, pada saat bersamaan, puluhan nelayan dari Muara Angke, Jakarta Utara, bertemu dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyampaikan penolakan mereka soal reklamasi dan megaproyek tanggul raksasa Jakarta.

“Bappenas lebih bertanya soal nelayan, kerugiannya apa, maunya bagaimana, serta apa sudah ada sosialisasi dan lain-lain,” kata pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora saat dihubungi Rappler.

Namun, mereka tidak mengungkap soal kajian tanggul raksasa (NCICD) yang kabarnya akan tuntas pada bulan ini. Menurut Nelson, mereka malah membahas soal Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Bencana dan Penanganan Terpadu Wilayah Pesisir.

“Dan waktu kita menyatakan penolakan, malah dipotong sama stafnya,” kata dia. Pemerintah masih lebih condong untuk terus melanjutkan proyek ini, meski protes yang terus berlanjut, ataupun proses hukum yang sarat pelanggaran.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!