4 hal yang perlu diperhatikan dari penetapan Ahok sebagai tersangka

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

4 hal yang perlu diperhatikan dari penetapan Ahok sebagai tersangka

ANTARA FOTO

Kasus ini kembali mengangkat perdebatan pasal-pasal karet dalam hukum Indonesia. Akankah ini jadi akhir karier politik Ahok?

Polisi akhirnya memutuskan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama, pada Rabu pekan ini, 16 November. 

Demonstrasi besar-besaran umat Muslim pada 4 November lalu sejauh ini membuahkan hasil. Di hadapan para awak media, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan bahwa walau terjadi perbedaan pendapat di antara para penyelidik, namun polisi akhirnya sepakat untuk meningkatkan status hukum dari kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan.

Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas dari kasus ini. 

Pasal-pasal karet

Kasus yang menjerat Ahok kembali mengangkat perdebatan mengenai pasal-pasal karet yang selama ini selalu menghantui masyarakat Indonesia. 

Ada dua pasal yang digunakan oleh polisi untuk menjerat Ahok, yaitu pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Kedua pasal tersebut, dan beberapa pasal karet lainnya, menjadikan hal-hal yang sebenarnya bisa dan mungkin harus diselesaikan di luar persidangan masuk ke dalam ranah hukum formal. 

Ketika seseorang dianggap menodai suatu agama, misalnya, siapa yang punya hak untuk benar-benar mengatakan bahwa hal tersebut benar adanya?

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, saya yakin mayoritas masyarakat Indonesia setuju kalau tindakan penistaan atau pelecehan agama merupakan tindakan yang sangat tidak pantas. 

Namun masalahnya adalah di dalam masyarakat tidak selamanya, bahkan justru sering, terdapat kesatuan pendapat ketika menghadapi suatu isu yang berkaitan dengan agama. Kondisi tersebut menjadi semakin runyam ketika pasal-pasal yang digunakan juga memberikan ruang yang begitu luas untuk multitafsir. 

Ketika seseorang dianggap menodai suatu agama, misalnya, siapa yang punya hak untuk benar-benar mengatakan bahwa hal tersebut benar adanya? Kemudian, apakah semua aliran di dalam agama tersebut menyetujui tuduhan tersebut? Dan lain sebagainya. 

Penggunaan pasal-pasal karet selama ini lebih banyak kita saksikan dalam kasus pencemaran nama baik, terutama yang berkaitan dengan komentar seseorang di media elektronik. Bahkan terjadi tumpang tindih peraturan di dalam kasus pencemaran nama baik karena diatur di dalam KUHP dan UU ITE. Namun banyak orang yang menggunakan pasal di dalam UU ITE karena hukumannya lebih berat.

Dan seperti pasal-pasal karet lainnya, pasal-pasal yang menyangkut pencemaran nama baik juga punya potensi menciptakan banyak tafsir, interpretasi yang timbul cenderung subjektif sesuai pandangan dari masing-masing individu. 

Keberadaan pasal-pasal karet di dalam sistem hukum Indonesia seringkali digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab namun punya kuasa atau pihak-pihak yang punya kepentingan politik demi menjatuhkan pihak lain.

Akhir karir politik Ahok?

Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa karier politik Ahok akan habis dengan adanya kasus ini. Walau beberapa survei menunjukkan tren penurunan dukungan, Ahok masih memiliki banyak pendukung di Jakarta. Di mata para pendukungnya, sosok Ahok masih dianggap figur yang tepat untuk memimpin kota sebesar Jakarta dengan sejuta masalah dan tantangan yang dihadapi. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta di berbagai kesempatan menekankan bahwa statusnya sebagai tersangka tidak serta merta menghilangkan hak Ahok sebagai peserta pemilihan gubernur pada Februari tahun depan. Berdasarkan Peraturan KPU, pencalonan seseorang di dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan batal apabila yang bersangkutan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman minimal lima tahun di penjara sebelum pemilihan umum. 

Gubernur DKI Jakarta petahana Ahok melayani warga berfoto bersama usai mendengarkan pengaduan warga di Rumah Lembang, Jakarta, pada 18 November 2016. Foto oleh Hafidz Mubarak A/Antara

Kemungkinan besar kasus hukum yang saat ini menjeratnya baru akan masuk pengadilan paling tidak tiga bulan. Sementara persidangan bisa memakan waktu lebih dari enam bulan. Oleh karena itu fokus Ahok saat ini adalah berkampanye dan memastikan bahwa setiap warga Jakarta mengetahui prestasi apa saja yang sudah ia lakukan dan program-program lanjutan apa saja yang akan ia lakukan ketika terpilih nanti. 

Persoalan baru akan muncul, dengan asumsi Ahok memenangi Pilkada, apabila ia kemudian mendapat vonis bersalah dan sudah berkuatan hukum tetap. Dengan kondisi tersebut maka ia harus melepaskan jabatannya. 

Apabila hal itu terjadi bukan berarti kemudian karir politik Ahok mati. Yang nanti menjadi kunci kebangkitannya kembali adalah bagaimana ia tetap membangun jaringan politik yang selama ini telah ia bangun, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang saat ini mau tidak mau harus menjauhkan diri. 

Pemaksaan mayoritas?  

Banyak yang beranggapan bahwa keputusan kepolisian terhadap kasus penistaan agama yang menjerat Ahok sarat akan tekanan publik, atau tekanan mayoritas tepatnya. Betapa tidak, proses hukum yang dijalankan oleh polisi bisa dibilang sangat cepat apabila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya setelah aksi demonstrasi yang salah satunya digerakkan oleh kumpulan organisasi massa berbasis keagamaan yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI).

Setelah pengumuman dari polisi, berbagai pihak yang menentang ucapan Ahok seakan-akan berlomba-lomba memuji kinerja polisi dan netralitas Presiden Jokowi, seperti misalnya, Din Syamsuddin selaku Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah mereka kemudian akan tetap memberikan pujian tersebut apabila kemarin polisi tidak menetapkan Ahok sebagai tersangka? 

Berdasarkan Peraturan KPU, pencalonan seseorang di dalam Pilkada akan batal bila yang bersangkutan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman minimal 5 tahun di penjara sebelum pemilihan umum. 

Pihak-pihak tersebut juga memuji kinerja polisi yang dianggap sangat profesional dan transparan dalam melakukan tugasnya. Lagi-lagi, pertanyaannya sekarang adalah, apakah pujian-pujian tersebut tetap diucapkan apabila kemudian nanti di pengadilan Ahok dianggap tidak bersalah? 

Banyak individu yang mengaku mewakili pihak-pihak pelapor berkata di media massa bahwa apa yang mereka lakukan tidak hanya mewakili satu agama tertentu tapi justru demi menjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika. Apakah betul demikian? 

Kedewasaan bangsa Indonesia, terutama kaum Muslim sebagai mayoritas, akan diuji setelah kasus Ahok selesai bergulir. Apabila di kemudian hari ada pejabat publik yang kebetulan beragama Islam dan dituduh melakukan penistaan terhadap agama lain, apakah publik akan memberikan tekanan yang sama seperti pada kasus Ahok atau justru sebaliknya? 

Senjata makan tuan

Pepatah “Mulutmu, harimaumu” sepertinya sangat tepat menggambarkan situasi yang saat ini membelenggu Ahok. Ucapannya saat ia berkunjung ke Kepulauan Seribu beberapa waktu yang lalu direkam dan kemudian menjadi viral di media sosial, walau Ahok menuduh ada pihak-pihak tertentu yang mengedit video sehingga ucapannya tidak tertangkap seutuhnya sehingga menimbulkan fitnah. 

Hal ini menjadi sebuah ironi karena Ahok justru merupakan salah satu pejabat publik pertama yang gemar merekam rapat-rapat kerjanya dan menyebarkan kepada publik melalui media sosial.  

Kejadian yang dialami Ahok harus menjadi pelajaran bagi pejabat-pejabat publik lainnya di seluruh Indonesia. Ketika berada di hadapan publik, mereka jelas tidak bisa sembarangan berbicara apalagi kalau sedang membahas topik-topik yang sensitif. Orang lain akan dengan mudah merekam, memfoto, dan kemudian menyebarkannya ke khalayak luas. —Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!