Perlukah fatwa MUI melarang topi Sinterklas diikuti ‘sweeping’?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlukah fatwa MUI melarang topi Sinterklas diikuti ‘sweeping’?

ANTARA FOTO

Polda meminta masyarakat laporkan ormas yang melakukan sweeping sendiri.

JAKARTA, Indonesia — Polemik penggunaan atribut Natal —seperti topi Sinterklas— seakan telah menjadi ritual tahunan yang terjadi di Indonesia. Namun tahun ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pelarangan penggunaan atribut Natal bagi karyawan Muslim di beberapa perusahaan.

Fatwa No. 56 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pemakaian atribut Natal oleh umat Muslim itu hukumnya haram, karena sudah memasuki wilayah akidah.

“Itu menyangkut keyakinan seseorang yang beragama, harus commited untuk menerapkan keyakinannya. Dalam keyakinan Islam, bahwa menggunakan atribut yang digunakan dalam agama lain itu dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap akidah,” kata Sekretaris Jenderal MUI Jakarta Robi Nurhadi kepada media pada Jumat, 16 Desember, lalu.

Fatwa ini kemudian diikuti dengan aksi inspeksi oleh organisasi keagamaan seperti Front Pembela Islam (FPI). Di media sosial, ramai beredar foto-foto dan cerita terkait para anggota FPI merangsek ke pusat perbelanjaan di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu, 18 Desember. Mereka dilaporkan memaksa karyawan yang mengenakan topi Sinterklas untuk melepasnya.

Seruan melaporkan atribut

Sejak 15 Desember lalu, FPI memang telah menyerukan pelaporan karyawan Muslim mengenakan atribut Natal dengan dalih tindakan tersebut sebagai intoleransi.

“Sejak dibuka posko pelaporan tindakan intoleransi pada karyawan Muslim, laporan datang bak tsunami. Terus mengalir hingga saat ini,” kata mereka lewat akun Twitter @DPP_FPI.

FPI mengklaim, jumlah laporan telah mencapai ratusan. Bahkan, ada juga laporan warga soal paksaan terhadap umat Muslim mengenakan atribut Natal, lewat foto dan video.

Bagi FPI, pemaksaan ini adalah suatu tindak intoleransi yang lama didiamkan pemerintah. Mereka juga mendorong masyarakat untuk melaporkan kejadian seperti ini lagi.

“Gunakan smartphone Anda untuk foto atau merekam toko, tempat usaha yang karyawan Muslimnya dipaksa pakai atribut Natal. Upload ke sosmed,” tulis mereka.

Saat ditanyakan terkait hal ini, MUI mengaku tidak mempertimbangkan potensi inspeksi semacam ini sebelum menelurkan fatwa.

“Kita kan karena banyak permintaan dari msyarakat. Keluhan dan karena dipaksa. Ya, akhirnya keluar fatwa itu,” kata Ketua MUI Ma’ruf Amin kepada media, Senin, 19 Desember.

Meski demikian, lembaganya tidak menghendaki adanya inspeksi semacam ini. Ma’ruf menghendaki aparat keamanan dan perusahaan saja yang merespons, bukan ormas keagamaan.

“Ya, kita minta pihak keamanan dan pihak perusahaan bisa merespon itu dengan baik. Supaya tidak ada sweeping-sweeping. Langsung diaplikasikan saja,” katanya.

Sementara itu, Polda Metro Jaya mengimbau masyarakat untuk melaporkan ormas yang melakukan inspeksi.

“Kami sudah sampaikan bahwa untuk kegiatan itu [sweeping], kalau ada menemukan, laporkan ke kepolisian. Kepolisian yang akan melakukan tindakan,” kata Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono.

Dalam rapat bersama antara jajaran MUI dengan kepolisian, telah disepakati untuk mencegah adanya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh ormas keagamaan, ormas kedaerahan, dan ormas kepemudaan. Polri juga akan menindak tegas jika terjadi hal itu.

Kritik fatwa

Fatwa MUI terkait atribut Natal ini juga menuai kritik dari kalangan masyarakat umum, terutama karena justru difasilitasi oleh kepolisian.

“Polri dengan merujuk Fatwa MUI sebagai konsideran Surat Himbauan Kamtibmas adalah kekeliruan institusi penegak hukum yang memiliki dampak serius pada melemahnya supremasi hukum di Indonesia,” kata Ketua SETARA Institute Hendardi lewar siaran pers yang diterima Rappler.

Ketika institusi hukum justru mengakomodasi keinginanan ormas, maka sesungguhnya prinsip negara hukum yang dianut Indonesia sedang dilumpuhkan. Paham supremasi keagamaan yang sempit dengan tafsir dan klaim kebenaran yang tunggal justru merajalela.

“Sosialisasi fatwa yang dilakukan oleh FPI di Surabaya dengan dikawal polisi adalah bentuk nyata intimidasi dan ketundukan institusi Polri pada kelompok vigilante yang beroperasi dengan cara melawan hukum,” kata Hendardi.

Padahal menurutnya polisi seharusnya mencegah dan melarang intimidasi berwajah sosialisasi fatwa.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!