Perjuangan 10 tahun yang didiamkan negara

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perjuangan 10 tahun yang didiamkan negara
Selama satu dekade ini, tidak banyak perkembangan yang terlihat dalam kasus yang mereka tuntut

JAKARTA, Indonesia — Sudah hampir 10 tahun berlalu sejak Suciwati Munir, Maria Catarina Sumarsih, dan para aktivis memulai aksi diam di depan Istana Negara, Jakarta. Gerakan yang ikonik dengan lambang payung hitam ini dilandasi tuntutan keadilan bagi korban kejahatan hak asasi manusia.

Selama satu dekade ini, tidak banyak perkembangan yang terlihat dalam kasus yang mereka tuntut. “Tidak kunjung selesai karena hanya menjadi komoditi politik,” kata Suciwati di Jakarta pada Rabu, 18 Januari 2017.

Kata-kata tersebut ditujukan pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang semasa kampanye menjanjikan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM dari masa lalu pada masa pemerintahannya.

Namun, hingga saat ini janji tersebut tak kunjung terlaksana. Bahkan, HAM memang belum menjadi prioritasnya meski pemerintahnya sudah memasuki tahun ke-3. Jokowi masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.

Keputusan yang diambilnya belakangan ini juga membuat para aktivis HAM kecewa. Seperti misalkan, mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Pertahanan. Padahal, ia disebut terlibat dan bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM berat di Timor Leste.

Selain itu, ada pula mantan kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) A. M. Hendropriyono yang disebut sebagai otak pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. “Sudah banyak keluarga korban kerburu tua, sakit-sakitan, atau meninggal sementara kasusnya belum selesai. Sementara Jokowi duduk bersama-sama dengan pelakunya,” kata Suciwati.

Negara melempem

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, untuk memastikan seorang pelanggar HAM berat diadili tuntas, tergantung dari politik pemerintah yang tengah berjalan.

“Karena seperti kita ketahui, orang yang patut dimintai pertanggung jawaban dalam kasus HAM berat adalah aktor dominan di politik pada waktu itu,” kata dia. Biasanya, orang tersebut pun masih memiliki pengaruh sangat kuat pada masa pemerintahan selanjutnya.

Seringkali saat proses berjalan, selalu terbentur dengan berbagai persoalan seperti bukti ataupun pelaku yang meminta perlindungan. Ketika pemerintahan berganti, kasus pun terbengkalai dan prosesnya harus mulai lagi dari nol.

Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan dalam konteks penegakan HAM, negara bisa disebut sebagai republik omong-omong. “Keluarga korban lebih konsisten dibanding negara dalam hal ini,” kata dia.

Kunci terpenting bila ingin keadilan ditegakkan adalah bagaimana membangkitkan keberanian Jokowi untuk melepaskan diri dari pengaruh sekelilingnya. Haris menantang Jokowi untuk berani memerintahkan penolakan pemberian impunitas.

“Siapa yang bisa memerintahkan Kejagung, Kepala BIN, Kapolri, dan TNI untuk tunduk kepada hukum. Sekarang (Jokowi) sepertinya tidak,” kata dia.

Selain itu, menurut Dosen Universitas Sanata Dharma Mutiara Andalas, negara juga membuang pola pikir negara sebagai ‘tuhan.’ Dalam pola tersebut, semua yang dilakukan negara akan memiliki pembenaran.

“Negara juga bisa salah, dan kesalahannya bisa berakibat fatal,” kata dia. Dengan demikian, maka semua orang akan diperlakukan adil tanpa penghapusan kesalahan yang dibuat-buat.

Menurut dia, penting bagi presiden untuk turun langsung dan berdialog dengan para korban maupun keluarganya. Dari merekalah Jokowi bisa belajar soal keberanian, juga konsistensi memperjuangkan suatu hal.

“Perjumpaan inilah yang akan mendorong perubahan politik, yang membuat rezim ini lebih baik dari rezim-rezim sebelumnya,” kata dia.

Staf Presiden Bidang HAM Ifdhal Hasim mengakui selama dua tahun menjabat, Jokowi memang berfokus pada ekonomi.

“Tahun ke-3 ini dia akan fokus ke penegakan hukum dan HAM,” kata dia. Ia juga berterimakasih pada para aktivis yang mengingatkan soal kata-kata Jokowi terkait perlunya keberanian untuk menuntaskan masalah HAM.

Meski demikian, negara hingga saat ini belum memiliki formulasi pas untuk menuntaskan isu HAM yang berlarut-larut dan seolah tak pernah tuntas. “Sekarang kita belum mendapat satu rumusan yang final, formulasi apa yang akan kita pakai,” kata dia.

Atas komentar ini, Haris Azhar menyampaikan jawabannya. “Tak perlu ide, konsep. Sudah jelas, mereka yang terus menerus beraksi di depan Istana Negara, adalah konsep yang nyata. Yang penting, keberanian,” kata dia.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!