PH collegiate sports

Upaya Indonesia memerangi kesenjangan sosial

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Upaya Indonesia memerangi kesenjangan sosial
“Instrumen pajak merupakan suatu koreksi terhadap ketimpangan dan ketidaksetaraan.”

 

JAKARTA, Indonesia – Lembaga swadaya masyarakat Oxfam dan INFID meluncurkan laporan terkait kesenjangan sosial di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 terburuk, di mana 49 persen total kekayaan hanya dikuasai 1 persen penduduk saja.

Saat terpilih menjadi presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo memasukkan program penurunan angka kesenjangan sosial ini dalam Nawa Cita. Di situ, tertulis pada tahun 2019, angka rasio gini sudah harus mencapai 0,30.

Pada awal tahun lalu pun, saat memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Bogor, ia meminta menterinya untuk ‘mati-matian menurunkan angka kesenjangan.’ Topik ini, lanjut dia menjadi fokus pemerintah tahun ini dan selanjutnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengamini perintah komandannya itu. “Ini bagian dari alasan kenapa saya ingin kembali ke Indonesia. Indonesia punya potensi, namun pada saat yang sama kita punya banyak PR untuk membuat Indonesia lebih adil dan sejahtera,” kata dia saat peluncuran laporan ‘Menuju Indonesia yang Lebih Adil’ di Jakarta pada Kamis, 23 Februari 2017.

Ketimpangan kesempatan antarwilayah

Pertama-tama, Sri menyoroti penyebab ketimpangan ekonomi, yang disebabkan kesempatan berbeda dari penduduk antarwilayah. Termasuk pula akses terhadap kesempatan memperoleh pendidikan, fasilitas, hingga lapangan pekerjaan.

“Ini harus menjadi pusat kebijakan kita. Kalau bicara opportunity dan masyarakat miskin, bahwa kemiskinan bisa diwariskan,” kata dia. Sebabnya, karena secara turun temurun kecil sekali ada perbaikan akses terhadap kehidupan yang lebih baik dari kalangan kelas bawah.

Ia menyoroti kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di pedesaan Pulau Jawa, dan daerah di luarnya. Meski demikian, penduduk Jawa dinilai memiliki kesempatan lebih, dalam hal akses fasilitas dan ekonomi.

“Bayi yang lahir dari ibu sarjana berbeda dengan bayi yang lahir dari ibu di NTT yang mungkin kesempatannya berbeda. Padahal si bayi betul-betul memiliki hak yang sama dalam memiliki potensi itu,” kata dia.

Tentu saja kesenjangan antardaerah ini tidak harus diatasi pemerintah pusat sendirian, juga dengan bantuan pemerintah daerah. Mereka harus menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap warga, bahkan bayi sekalipun. Terutama kepada mereka yang miskin dan seringkali terpinggirkan.

Lantas solusi apa yang ia tawarkan? Dengan merombak pajak.

“Instrumen pajak merupakan suatu koreksi terhadap ketimpangan dan ketidaksetaraan,” kata Sri. Pertama-tama dengan menerapkan pajak progresif tergantung dengan pendapatan.

Kedua, tentu saja kemampuan pemerintah menarik pajak dari warganya. Sri mengakui kesulitannya dalam menjalankan hal ini lantaran mudahnya menyembunyikan pendapatan saat ini.

Menurut dia, orang-orang yang berduit bisa dengan mudah bepergian ke wilayah tax haven untuk membuka rekening. Masalah ini ia sampaikan juga saat pertemuan di forum internasional dengan harapan mendapatkan bantuan, seperti mengakses informasi pemegang rekening di luar negeri.

“Kita deklarasikan bahwa tak ada lagi tempat untuk bersembunyi kepada pengemplang pajak. Kalau anda bicara kesetaraan maka tak ada lagi tempat bersembunyi bagi pengemplang pajak,” kata dia.

Sri juga mengatakan lembaganya tengah meneliti potensi obyek dan subyek pajak yang baru. Sedangkan, saat ini program tax amnesty masih terus berjalan.

Laporan IMF menyebutkan Indonesia memiliki potensi pendapatan pajak 21,5 persen dari GDP. Dana ini, bila terkumpul semuanya, bisa dimanfaatkan untuk menambah alokasi anggaran kesehatan hingga 9 kali lipat.

Pentingnya pendidikan

Berbeda dengan Sri, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyoroti pentingnya pendidikan dan keterampilan bagi tenaga kerja. Meningkatnya level pendidikan, menurut dia, beriringan dengan kesempatan kerja yang lebih baik dan pendapatan yang lebih tinggi.

“Saat ini, 60 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan SD-SMP,” kata dia. Akibatnya, pilihan mereka pun sebatas di sektor padat karya, informal, ataupun berwirausaha.

Isu ketenagakerjaan tak boleh dipandang rendah dalam hal memberantas ketimpangan sosial. Hanif mengatakan pemerintah harus mulai memperhatikan 60 persen tenaga kerja ini, yang menyebar hingga ke daerah-daerah.

Salah satu kuncinya adalah menambah anggaran pelatihan dan pendidikan tenaga kerja. Ia membedah pembagian dana APBN untuk pendidikan. Dari sekitar Rp 420 triliun yang disediakan, sebanyak Rp 250 triliun dikhususkan untuk guru dan operasional sekolah. Rp 160 triliun sisanya dialokasikan ke 3 kementerian yang berkutat di pendidikan; sementara sisanya dibagi-bagi ke 17 lembaga—termasuk Kementerian Tenaga Kerja.

Oleh kementerian lainnya pun, anggaran ini tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kerja. Hanif mencontohkan STAN yang baginya tidak termasuk kategori tersebut.

Menurut dia, lebih baik anggaran pendidikan untuk kementerian ditambahkan, dan benar-benar dimanfaatkan untuk program yang berhubungan. “Seperti di Kelautan misalnya, ditambah Rp 5 miliar, tetapi ya benar-benar untuk mendidik tenaga kelautan,” kata Hanif.

Terkait dengan upaya dari Kemnaker sendiri, ia menyatakan sudah menjalin kerjasama dengan pelaku usaha untuk program magang. Para siswa SMK yang mengikuti program ini benar-benar diberikan posisi sesuai jurusannya.

Program yang sudah berjalan sejak tahun lalu ini bertujuan membekali para siswa dengan pengalaman dan keterampilan, yang mempermudah akses mereka ke lapangan pekerjaan setelah lulus. Hanif mengklaim sebanyak 2648 perusahaan sudah mendaftar untuk program ini, dengan rekrutmen 100 orang per tahun.

Terakhir, ia mengatakan pemerintah harus memperkuat industry padat karya, yang memang menyerap tenaga kerja paling besar. “Caranya dengan memberikan insentif, terutama kepada yang less educated,” kata dia.

Menurut Sri, bila pemerintah Indonesia berhasil menyempitkan jurang kesenjangan, dalam 15 tahun Indonesia bisa menghindari 3 jebakan. Pertama, penduduk yang terus menerus di kelas menengah; kedua, demografi yang didominasi penduduk tidak produktif.

“Ketiga, meluasnya populasi kaum muda yang hidup rentan, jobless, mudah digoda ideologi ekstrim, rasis, dan bersedia menempuh jalan kekerasan untuk tujannya,” kata dia.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!