Jalan panjang mengakhiri tindak kekerasan seksual

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jalan panjang mengakhiri tindak kekerasan seksual
Bebas dari kekerasan dan pelecehan adalah hak yang melekat pada diri setiap perempuan. Tak ada alasan apapun yang bisa menoleransi kejahatan ini.
 
JAKARTA, Indonesia – Kekerasan terhadap perempuan adalah satu dari beragam masalah berbasis gender yang mengakar di Indonesia. Setiap tahunnya, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 250 ribu laporan kejadian.

Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk menghapus masalah ini, tetapi jalannya tidak mudah. “Penegakan hukum yang masih lemah, masih banyaknya kebijakan diskriminatif, dan impunitas bagi pelaku,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di kantornya pada Rabu, 8 Maret.
 
Salah satu jalan keluar sekaligus upaya pencegahan yang telah dilakukan adalah dengan membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Yuni menjelaskan kalau peraturan ini telah mencakup aspek pencegahan, penindakan, hingga rehabilitasi bagi korban maupun pelaku.
 
Sayangnya, hingga saat ini peraturan tersebut belum kunjung menjadi UU. Pada awal Februari lalu, Badan Legislasi DPR baru mengesahkan drafnya sebagai RUU, dan baru diusulkan menjadi RUU insiatif pada 14 Februari lalu. Komnas Perempuan terus menerus mendesak DPR untuk mempercepat pembahasannya, dengan pertama-tama segera membentuk panitia khusus (pansus) sebagai mekanisme pembahasan RUU.

Yuni melanjutkan kalau negara juga telah mengesahkan berbagai instrumen hukum positif. Seperti misalkan, adanya instrumen pengawasan dan evaluasi atas implementasi UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan lahirnya UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas.

“Publik juga antusias mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui kampanye gerak bersama,” kata Yuni.

Sulitnya melapor

MEMERANGI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menjelaskan kendala dan upaya dalam menghapus kekerasant erhadap perempuan di Indonesia. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Pada tahun 2016, Yuni mengakui adanya penurunan jumlah laporan kekerasan yang diterima lembaganya maupun organisasi mitra.
 
“Ini harus dicurigai, pertama temuan Komnas Perempuan karena akses pelayanan yang tidak merata,” kata dia.
 
Yuni menceritakan kisah seorang perempuan korban kekerasan seksual di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang harus menjual dua ekor kambingnya hanya untuk melapor ke kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) terdekat. Selain itu, di Sukabumi pun ada juga korban yang harus membayar hingga Rp 600 ribu.
 
Kesulitan semacam ini memiliki konsekuensi fatal, seperti langgengnya impunitas. Karena tak pernah dilaporkan, para pelaku kekerasan pun merasa bebas sehingga terus mengulang perbuatannya.
 
Menurut Yuni, perempuan miskin adalah yang paling rentan terhadap keterbatasan akses ini, juga mereka yang tinggal di pelosok dan kepulauan. Namun masih ada kelompok lain yang juga kesulitan melaporkan kekerasan yang dialaminya.

“Terutama untuk (penyandang) disabilitas. Karena disabilitas begitu dia melaporkan, polisi tidak bisa langsung merespons kebutuhan disabilitas karena mereka belum dianggap sebagai subyek hukum,” kata Yuni.

Salah satu contohnya adalah para tunanetra yang kesaksiannya disangsikan lantaran tidak bisa melihat. Saat ditanyakan apakah masalah ini sudah sering mereka temui, Yuni menjawab kalau kasusnya sangat kompleks. Permasalahan aksesibilitas tidak terbatas pada infrastuktur semata, tetapi juga kepercayaan.

Menurut dia, KPPA sudah memperbanyak cabangnya di daerah-daerah. Tetapi, para perempuan korban tidak memanfaatkannya, malah mencari LSM dan NGO.

Selain kemudahan akses, Yuni mengatakan para aktivis di lembaga nonpemerintah ini cenderung tidak mengadili ataupun menyalahkan korban. Biayanya juga lebih murah dan penanganan lebih cepat.

“Karena adil bagi korban itu tidak disalahkan, tidak blame the victim,” kata dia. Poin-poin ini dapat menjadi evaluasi bagi lembaga pemerintah untuk memperbaiki pelayanan mereka ke depannya.

Aparat hukum tak sensitif

Bila laporan sudah diterima, masalah kembali terjadi di bidang penegakkan hukum. Yuni melihat kurang sensitifnya aparat kepolisian dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Contoh yang terdekat adalah komentar dari Kanit Reskirm Polsek Jatinegara AKP Bambang Edi beberapa waktu lalu. Ia menyebutkan bila seorang lelaki memegang atau meraba paha perempuan yang memakai celana panjang, hal itu bukan pelecehan seksual.

“Kalau pelecehan, kan dia pegang payudara atau pegang alat kelaminnya atau barang si laki-laki dikeluarin ditampilin. Ini kan enggak. Cuma pegang pahanya dan dia pakai celana panjang. Kecuali kalau dia pakai rok, terus dibuka pahanya, dipegang,  itu baru bisa masuk unsur pelecehan,” kata dia.

Menurut Yuni, komentar tersebut sangat tidak tepat. Bambang tidak mempertimbangkan hak perempuan atas tubuhnya sendiri yang melibatkan persetujuan. Bila seseorang dengan sengaja menyentuh bagian tubuh perempuan, mana pun itu tanpa persetujuan, maka hal tersebut dapat dikatakan pelecehan seksual.

Lebih parah, pernyataan Bambang tersebut malahan dapat memicu pelaku pelecehan seksual untuk melakukan perbuatan tersebut. “Aparat kepolisian masih harus diberi pendidikan supaya lebih sensitif lagi terkait masalah ini,” kata dia.
 
Terkait kekerasan pun sama, polisi cenderung meremehkan laporan yang masuk. Yuni menceritakan satu kasus di Papua, di mana seorang suami mengancam istrinya dengan meninju jam dinding hingga pecah. Saat dilaporkan, polisi tidak menerima karena ‘belum ada korban.’

“Nah, ini membuat perempuan tidak merasa terlindungi, frustasi, dan takut untuk melapor,” kata dia.

Namun, Komnas Perempuan melihat adanya perbaikan dalam hal penambahan jumlah polisi wanita (polwan) untuk menangani laporan kasus kekerasan ataupun pelecehan. “Tapi tidak semua kepolisian, terutama di kecamatan, punya tenaga polwan untuk mencatat kasus. Masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan,” kata Yuni.

Untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, tak cukup jika terbatas pada penindakan semata. Pencegahan pun sangat penting dan harus dilakukan di berbagai lapisan.

“Pertama adalah pendidikan, lewat pengetahuan hak reproduksi. Jadi anak-anak sudah tahu apa konsekuensi dari perbuatan mereka,” kata Yuni.
 
Tak hanya itu, keluarga juga harus diberikan pemahaman mendalam tentang dampak kekerasan maupun pelecehan. Seringkali, ketika korban akan melapor, justru dihentikan oleh pihak keluarga dengan dalih takut nama baik tercoreng dan lain-lain. Belum lagi jika pelakunya adalah orang-orang terdekat.
 
Terakhir adalah pemahaman meluas di masyarakat. Caranya bisa lewat lembaga agama. “Karena kekerasan seringkali dimaklumi dengan pemahaman agama yang salah,” kata dia.
 
Bebas dari kekerasan dan pelecehan adalah hak yang melekat pada diri setiap perempuan. Tak ada alasan apapun yang bisa menoleransi kejahatan ini. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!