Memahami prosesi aksi menyemen kaki petani Kendeng

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memahami prosesi aksi menyemen kaki petani Kendeng
Aksi ini dilakukan dengan persiapan dan perhitungan matang untuk menolak pabrik semen. Bukan asal-asalan apalagi cari sensasi.

JAKARTA, Indonesia – Lapangan Monas seberang Istana Negara hari ini tampak lebih lengang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tak tampak lagi puluhan petani dari sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang sebelumnya menggelar aksi mengecor kaki dengan semen.

Malam sebelumnya, salah satu dari mereka yang bernama Patmi, meninggal dunia karena serangan jantung. Bersamaan dengan upacara pemakaman dan penghormatan terakhir di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, para petani pun melepas belenggu semen di kaki mereka.

Bersama-sama mereka mengantarkan jenazah ibu beranak dua itu ke kampung halamannya, yang ironisnya masih belum lepas dari ancaman pabrik semen PT Semen Indonesia.

Namun, bukan berarti perjuangan telah berakhir. Semangat para petani dilanjutkan oleh para aktivis yang menjalankan aksi serupa. “Kami bertekad terus melanjutkan sampai harapan Bu Patmi dan sedulur Kendeng menjadi kenyataan,” kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa pada Rabu, 22 Maret 2017.

Ia dan 7 orang lainnya –semua berasal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) –pun melakukan aksi simbolik menyemen kaki. Pembelaan mereka tak hanya untuk Kendeng, juga bagi masyarakat lainnya yang terlibat konflik agrarian melawan korporasi maupun pemerintah.

Proses penyemenan

PERIKSA KESEHATAN. Dokter Alexandra Herlina memeriksa kesehatan para petani yang menyemen kakinya. Rutinitas ini penting untuk memastikan tak ada keluhan dari mereka. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Proses menyemen kaki ini tidak dilakukan dengan main-main atau asal-asalan. Mereka yang mengajukan diri untuk dipasung semen akan melalui pemeriksaan kesehatan oleh dokter relawan.

Aksi ini mendapat bantuan dari dokter relawan Alexandra Herlina dari Surabaya. Selain itu, ada juga tenaga medis dari Rumah Sakit Islam (RSI) Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa yang secara bergantian memeriksa kesehatan para petani.

Rappler menemui Alexandra di lokasi saat aksi semen kaki mencapai hari ke-8. Saat itu, ia mengatakan tak ada masalah kesehatan dengan para petani. “Secara umum baik, kondisi kaki mereka juga baik. Artinya tidak ada komplikasi apapun,” kata dia.

Selain cek kesehatan rutin yang dilakukan dari pagi sampai malam oleh tim medis, ada juga tim relawan yang membolak-balik tubuh dan kaki para petani yang disemen supaya sirkulasi darah tetap lancar.

Untuk makanan, tim dokter relawan juga menyiapkan makanan yang sudah dipertimbangkan gizinya. Ada juga warga Kendeng lainnya yang memang tidak disemen kakinya menjadi relawan untuk memasak.

Menurut dia, tak ada masalah berarti yang dihadapi karena tubuh para petani ini pada dasarnya sudah sehat. “Jadi rata-rata mereka baik (kondisinya). Mereka petani, biasa bekerja keras, jadi sehat secara umum,” kata dia.

Namun, kata dia, unsur utama yang membuat kondisi para petani tetap bugar meski disemen sepekan lebih adalah semangat mereka yang membara. Salah satu veteran aksi semen kaki, Sukinah, membenarkan hal ini.

Saat pertama kali dipasung semen pada tahun lalu, aksi tersebut hanya berlangsung 3 hari sebelum para petani ditemui Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Kini, kakinya dikurung semen selama 8 hari, yang bagi orang biasa tentu sangat menderita.

Sukinah mengatakan dirinya sudah ikhlas berjuang demi kelestarian Pegunungan Kendeng. Meski harus dipasung lebih lama, ia tak merasakan adanya perbedaan ataupun perbahan kesehatan.

Semangatnya tetap terjaga, karena ia tahu apa yang sedang diperjuangkan. “Aku yakin kok kalau ikhlas dan tulus berjuang, pasti akan ada hasilnya,” kata dia. Tak ada penyesalan ataupun keluhan yang terlontas dari mulutnya, kecuali untuk Jokowi yang tak kunjung bersikap.

Alexandra mengatakan belum ada data empiris terkait bahaya aksi menyemen tubuh, karena para petani Kendeng ini bisa dikatakan yang pertama kali memulainya. Namun, ia sekali lagi menegaskan kalau tak ada dampak fatal dari aksi ini.

“Indikator stres itu ada 3: bisa tidur, makan, lalu buang air besar. Ketiganya bisa mereka lakukan semua. Kami ada checklist daftar keluhan untuk semua ini,” kata dia. Sama dengan kematian Patmi, yang menurutnya karena sebab alami dan tidak berhubungan dengan aksi cor kaki.

Selain itu, takaran adonan semen juga dibuat secara khusus sehingga mudah untuk dihancurkan. Kaki para petani juga dibalut dengan perban tebal supaya tak ada kontak langsung dengan kulit yang berpotensi melukai.

Bukan eksploitasi

AKTIVIS DICOR. Dhyta Caturani, aktivis perempuan, ikut menyemen kakinya sebagai bentuk solidaritas terhadap ibu-ibu Kendeng. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Aktivis Dhyta Caturani yang berkesempatan turut mengecor kaki mengatakan bila ada yang menyebut aksi ini sebagai eksploitasi, terutama terhadap kaum perempuan, adalah suatu penghinaan. “Seolah menganggap ibu-ibu ini tidak punya kemampuan untuk menggunakan tubuhnya,” kata dia.

Perempuan memiliki banyak cara untuk memperjuangkan sesuatu, termasuk menggunakan tubuh mereka. Seperti misalkan, mencoret-coret tubuh hingga menari. Ibu-ibu ini memilih mengecor kaki atas keputusan mereka sendiri karena sudah tak mempunyai pilihan lain.

Berbagai cara telah mereka tempuh, mulai dari mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung, aksi long march, doa bersama, dan lain-lain. Tetapi pemerintah bungkam dan tetap melanjutkan pembangunan pabrik semen.

Komnas Perempuan juga mengatakan aksi ini dapat menjadi teladan bagi perempuan lain supaya tak lelah berjuang menyelamatkan kelestarian alam. Pantauan mereka mengatakan dampak pembangunan tersebut sangat serius bagi perempuan.

“Bagi perempuan, air, tanah, dan udara yang sehat adalah hak. Hilangnya tanah adalah hilangnya sumber kehidupan dan dimulainya pemiskinan,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana.

Mereka juga ikut menuntut supaya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, PT Semen Indonesia, dan pihak lainnya untuk tidak melakukan apapun sampai kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terbit. “Juga menghindari kriminalisasi terhadap petani Kendeng yang sedang memperjuangkan haknya,” kata dia.

Pembangunan pabrik semen di Kendeng memang memiliki ancaman besar terhadap lingkungan sekitar. Pertama, adalah hilangnya sumber mata air dari sungai bawah tanah. Selama ini, warga sekitar mendapatkan air mereka dari mata air di wilayah karst Watuputih.

Belum lagi, ngototnya pemerintah menambah pabrik semen membingungkan, mengingat produksi sudah surplus hingga 30 juta ton. Mengingat Jokowi memiliki rencana reformasi agrarian untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan, maka konflik Kendeng menimbulkan suatu pertanyaan.

Untuk siapakah lahan negara sebenarnya: rakyat atau korporasi? –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!