Internet bukan tempat yang aman untuk perempuan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Internet bukan tempat yang aman untuk perempuan
"Dalam konteks konflik, perkosaan digunakan sebagai alat untuk menaklukan, menghukum, dan alat teror untuk melemahkan pihak lawan."



JAKARTA, Indonesia — Internet tak selamanya menjadi ruang aman, terutama bagi perempuan. Dalam catatan akhir tahun Komnas Perempuan yang dirilis pada Maret lalu, terungkap kejahatan berbasis siber sebagai salah satu bentuk kekerasan yang sering diterima perempuan sepanjang tahun 2016.

Baru-baru ini, kelompok Perempuan Indonesia Anti Kekerasan melaporkan Dwi Ardika karena unggahannya di Facebook yang menuliskan ‘Intinya yang dukung ahok tu goblok dan gk bermoral halal darahnya dibunuh dan halal jga kalau wanita diperkosa rame-rame…” Mereka menilai ujaran ini telah merendahkan martabat perempuan sekaligus dapat menjadi pelabelan terhadap kelompok tertentu.

“Dalam konteks konflik, perkosaan digunakan sebagai alat untuk menaklukan, menghukum, dan alat teror untuk melemahkan pihak lawan. Lebih jauh, ujaran ini dan sejenisnya dapat berdampak pada terjadinya konflik,” kata anggota kelompok Valentina Sagala saat pelaporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya pada Senin, 17 April 20117 lalu.




Pelaporan ini tak lepas dari sejarah kekerasan perempuan dalam perubahan politik di Indonesia, sejak tahun 1965 hingga Mei 1998. Saat kerusuhan 19 tahun silam itu, perempuan turunan etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan.

Demikian juga dengan para Gerwani pada kasus 1965, yang diwarnai diskriminasi seksis dan stigma sosial. Kebencian tersebut masih berlanjut hingga saat ini, dan membuat penyintas maupun keturunan korban merasa tak aman.

Sebenarnya, Kepolisian RI pernah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate-Speech) tanggal 8 Oktober 2015. “Mendukung dan menuntut Kepolisian RI, untuk menindaklanjuti laporan kami,” kata dia.

Selain unggahan status Facebook milik Dwi, Valen mengaku belum menemukan kasus lain. Namun, selain melaporkan, mereka juga akan melakukan audiensi dengan Kapolda Metro Jaya agar lebih proaktif menghentikan ujaran kebencian yang mengarah pada tubuh dan seksualitas perempuan.

“Juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa Indonesia, laki-laki dan perempuan untuk bersatu padu menyelamatkan proses demokrasi dari segala bentuk teror dan kekerasan yang menggunakan tubuh perempuan,” kata dia.

Dampak serius 

Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan ancaman perkosaan pada perempuan pemilih Ahok adalah bentuk rasisme yang tidak bisa ditolerir.  “Selain itu bentuk ancaman kejahatan seksual yang mencerabut rasa aman, juga bentuk teror berbasis ketubuhan perempuan yang kerap terjadi dalam tragedi politik sebagai penghancuran integritas tubuh perempuan dan mengebiri hak politik perempuan,” kata dia saat dihubungi pada Rabu, 19 April 2017.

Ia menekankan harus ada pencegahan dan tindakan tegas negara, karena pembiaran berarti merestui ancaman dan akan memicu kejahatan seksual tersebut terjadi.

Secara luas, Komnas Perempuan juga melihat kejahatan siber semakin rumit pola kasusnya, dan perangkat perlindungan yang ada pun belum memadai. UU ITE yang disiapkan untuk mengatasi persoalan semacam ini seringkali menjadi bumerang yang mengkriminalisasi perempuan.

Padahal, dampak dari kekerasan siber ini bisa sangat fatal. Variasinya bisa pada pembunuhan karakter, hingga trauma psikis korban.

Rappler mencoba mewawancarai beberapa perempuan yang pernah mengalami kekerasan di media sosial. Beberapa perempuan mengatakan ancaman dari media sosial tersebut bahkan termanisfetasi di kehidupan nyata sehingga membuat mereka ketakutan hingga trauma.

Siti* masih mengingat jelas ketika ia mulai diteror di berbagai media sosial dengan kata-kata yang merendahkan dan tak senonoh. Ironisnya, pelaku teror ini tak lain sesama perempuan. Sebabnya adalah kecemburuan karena Siti menjalin hubungan dengan mantan kekasih perempuan itu.

“Dia sering meneror dengan memberikan komentar di IG (Instagram) foto pribadi aku. Dikatain murahan, dada rata,” kata Siti. Tak jarang ia menerima direct message yang menanyakan ‘harga semalam berapa’ ataupun ‘berapa harga diri?’

Berbagai cerita tak mengenakkan pun juga disebar ke rekan-rekan kantor Siti sehingga membuat suasana semakin tak enak. Siti yang merasa terancam pun tak berani menceritakan tekanan yang dialaminya ke orang lain dan memilih menyimpan semuanya sendiri.

“Mungkin buat orang lain sepele, tetapi buat aku ini berdampak banget secara psikologis,” kata dia. Ia mulai kesulitan untuk tidur dan sering terbangun tanpa alasan jelas. Seringpula diiringi tangisan tanpa sebab pasti.

Tak kuat menghadapi teror terus-terusan, akhirnya Siti memutuskan untuk keluar dari kantornya. Meski tak lagi menerima teror di media sosial, trauma dan ketakutan dari pengalaman lalu masih membekas hingga saat ini.

“Lemahnya tanggapan masyarakat soal pelecehan yang membuat pelaku makin seenaknya,” kata dia.

Siti tak sendirian. Perempuan-perempuan lain yang menerima teror dan ancaman di media sosial, untuk alasan apapun, juga merasakan hal yang sama. Ada yang berani untuk melawan balik, namun ada juga yang lebih memilih diam dan mengobati dirinya sendiri. Seperti mengadu ke keluarga atau teman dekat, hingga konsultasi ke psikiater.

Belum lagi kisah-kisah yang tak terungkap, seperti revenge porn, atau foto telanjang yang disebarkan oleh mantan pasangan sebagai bentuk balas dendam. Berdasarkan penelitian Data & Society Research Institute and the Center for Innovative Public Health Research pertengahan Desmber 2016 lalu, 4 persen pengguna internet di Amerika Serikat -atau setara 10 juta orang -pernah menjadi korban.

Sayang, di Indonesia belum ada angka pasti untuk ancaman ataupun kekerasan terhadap perempuan berbasis siber. Namun, bila membuka media sosial, mudah sekali ditemukan unggahan bernada seperti ini. Entah karena kebencian berdasarkan agama




Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menghindari ancaman dan teror siber terhadap perempuan? Yuni mengakui masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

“Untuk pencegahan, hindari bertindak rugikan diri dan orang lain saat emosi. Harus hitung efek jangka panjang dan dampak komunal, negara harus responsif dengan langkah tegas untuk hentikan impunitas,” kata Yuni.

Upaya lewat jalur hukum seperti yang dilakukan oleh koalisi merupakan langkah awal untuk menghapus kekerasan berbasis gender di internet. Masyarakat memang masih harus banyak belajar, melihat bagaimana pelapor pun tetap menerima ancaman di Twitter.


Jadi, kapan perempuan bisa merasa aman saat di dunia nyata, ataupun di dunia maya? 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!