Anak muda lintas agama belajar toleransi di Semarang

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Anak muda lintas agama belajar toleransi di Semarang
Peserta berharap pertemuan anak muda lintas agama digelar secara berkelanjutan untuk memperkuat kerukunan

SEMARANG, Indonesia – Terik matahari yang menyengat Jawa Tengah pada Minggu, 17 September, tidak menyurutkan langkah Joyce Beaton untuk menyusuri lorong-lorong kawasan Kota Lama di Semarang.

Joyce, yang datang dari Malawi, sebuah negara di Afrika, tampak bersemangat ketika mengikuti kegiatan bertajuk Peace Train di Kota Lumpia bersama puluhan rekannya.

Dia mengaku kegiatan itu merupakan pengalaman pertamanya berkumpul dengan anak muda dari agama lain. 

“Seumur hidup baru pertama kali ikut jalan-jalan bersama teman-teman (dari keyakinan lain). Kegiatan ini membuka pikiran saya. Dulu saya berpikir orang Muslim membenci orang Kristen dan sebaiknya. Ternyata itu salah,” kata perempuan 20 tahun tersebut saat berbincang dengan Rappler.

Ia mengatakan anggapan orang tentang konflik yang mendera umat Muslim dengan Kristiani selama ini juga salah. Apa yang ditunjukan warga Semarang, kata Joyce, justru membuka matanya,  “Semua orang, tak memandang agama, golongan, maupun ras, mereka mampu berbaur satu sama lain,” kata Joyce.

“Semua menyatu, tidak membedakan agamanya. Makanya, saya gembira karena bisa berinteraksi dengan umat Hindu, Muslim maupun Buddha di kota ini,” katanya. 

Baginya, hubungan yang harmonis antara umat beragama bisa memperkuat sikap toleransi, khususnya antara umat Kristiani dan Muslim.

Seorang perempuan Kristen lain, Bohlokoa Lesesa asal Kerajaan Lesotho, mengutarakan pendapat yang serupa. Ia menyebut acara Peace Train bisa mempererat hubungan antar umat beragama.

Dia berharap kegiatan yang sangat baik ini bisa digelar secara berkelanjutan agar mampu memperkuat kerukunan di kalangan anak muda.

Program Peace Train merupakan rangkaian acara selama dua hari yang digagas berbagai komunitas agama. Panitia acara mengajak 28 anak muda mengunjungi Semarang naik kereta api dari Jakarta.

Ketua Dewan Adat Raja Ampat Papua Manuwir Paul Mayor terlihat hadir di tengah peserta Peace Train.

Ia menilai Kota Semarang sangat indah. Sebab, masih banyak gedung bersejarah yang terawat dengan baik. Ini tentunya cukup bagus untuk digunakan sebagai rujukan sejarah Bangsa Indonesia, kata Paul.

“Seharusnya pemerintah kota memberi perhatian khusus kepada pegiat budaya melalui alokasi dana dari APBD. menganggarkan APBD kota. Agar kita bisa memperkuat nilai-nilai adat untuk menumbuhkan lagi budaya yang ada di Kota Lama,” tambahnya.

Kunjungi kelompok minoritas

Setyawan Budy, Koordinator Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) yang turut mendampingi para peserta mengaku begitu antusias saat menunjukan corak keragaman budaya yang berdampingan erat dengan tempat peribadatan lokal.

Para peserta berasal dari berbagai kelompok agama termasuk Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Baha’i, Sikh, Sapta Darma serta Kapribaden untuk mengunjungi tempat-tempat ibadah.

“Kita tunjukan toleransi di Semarang berjalan cukup baik. Meskipun kita berbeda tetapi masih mau berjumpa dengan orang yang beda agama. Sehingga mereka bisa belajar pola-pola pendekatan satu sama lain,” ungkap Budy.

Ia pun tak segan mengajak peserta acara berdialog dengan komunitas agama yang masih dianggap minoritas. Mulai berdialog dengan jemaat Ahmadiyah di Masjid Nusrat Jahan, dengan umat Buddha Theravada, jemaat Kristen Unitarian Indonesia, umat Parisada Hindu Dharma Indonesia hingga GPIB Immanuel Blenduk dan Gedung Rasa Dharma yang jadi markas Khonghucu Pecinan Semarang.

“Dengan berkenalan bersama teman Ahmadiyah maupun jemaat Kristen Unitarian, harapan kami bisa semakin memperkuat rasa toleransi agar perlu tahu juga bahwa kaum minoritas masih bisa membuka diri, mau bergaul dengan lingkungan sekitarnya,” katanya.

“Kami juga ingin peserta mengalami proses belajar mengelola perbedaan, berkampanye, dan menuliskan pengalaman perjumpaannya. Kami nanti akan mengadakan acara serupa di kota lainnya yang bisa dijangkau lewat kereta dengan melibatkan sebanyak mungkin pemuda lintas agama,” sahut Frangky Tampubolon, penggagas acara Peace Train.

Sedangkan, Haryanto Halim, seorang tokoh Khonghucu di Pecinan, berpendapat jika pertemuannya dengan anak muda lintas agama tersebut patut disyukuri demi menunjukan keragaman umat yang ada di Semarang.

Kebetulan dirinya pada Minggu pagi sedang menggelar ritual King Ho Ping. Sehingga pas rasanya dijadikan ajang untuk mengusung misi perdamaian tanpa disekat oleh agama.

“Andaikata Tuhan lihat acara ini pasti dia tersenyum kok. Tuhan kan orangnya santai, humoris. Jika semua orang sembahyang di klenteng juga enggak ada masalah. Kita tidak melecehkan tapi menghormati hubungan antar manusia. Karena sikap tersebut sama saja wujud menghormati Tuhannya,” cetus Haryanto. – Rappler,com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!