Indonesia dan Myanmar berbagi sejarah yang sama

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indonesia dan Myanmar berbagi sejarah yang sama

ANTARA FOTO

Kedua negara dibangun oleh rezim militer yang lama menguasai hampir semua aspek kehidupan warganya

JAKARTA, Indonesia –  Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Srilanka Sir John Kotewala mengundang Perdana Menteri Myanmar (dulu disebut Burma) U Nu, PM India Jawaharlal Nehru, PM Indonesia Ali Sastroamidjojo dan PM Pakistan Mohammed Ali untuk sebuah pertemuan informal. Pertemuan itu didukung oleh kepala negara masing-masing.

Pada saat itu Presiden Indonesia Soekarno meminta PM Ali Sastroamidjojo untuk menyampaikan ide menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika dalam Konferensi Kolombo. Soekarno menggarisbawahi bahwa ide ini telah dipikirkan selama 30 tahun dan disuarakan untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan dibuktikan lewat gerakan nasional menentang penjajahan kolonialis.

Sebagai sebuah persiapan, Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan  yang dihadiri oleh wakil dari negara di Asia, Afrika dan Pasifik.  Pertemuan diadakan di Wisma Tugu di Puncak, Jawa Barat, pada 9-22 Maret 1954.  Mereka membahas ide yang dibawakan oleh PM Ali Sastroamidjojo ke Konferensi Kolombo sebagai dasar pertimbangan dari Indonesia untuk memperluas kerjasama di kawasan Asia dan Afrika.

Konferensi Kolombo digelar dari 28 April sampai 2 Mei 1954. Ide Indonesia mendapat banyak dukungan negara yang hadir, meskipun ada yang masih ragu, ide untuk memperluas kerjasama Asia-Afrika kemudian masuk dalam komunike akhir Konferensi Kolombo.

Pada bulan Agustus 1954, PM Jawaharlal Nehru mengirim surat kepada Indonesia. Dia meminta menunda penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika karena ketidakpastian keadaan dunia.  PM India itu ragu apakah konferensi akan sukses.  PM Ali membalas surat tersebut dengan berkunjung ke India pada 25 September 1954 untuk meyakinkan PM Nehru.  Hasilnya, Nehru mendukung KAA diadakan di Indonesia.

Dukungan yang sama diberikan oleh PM Myanmar U Nu pada 28 September 1954

Pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, atas undangan PM Indonesia, sejumlah perdana menteri yang hadir di Konferensi Kolombo (Myanmar, Srilanka, India, Indonesia dan Pakistan) menggelar rapat di Bogor untuk mendiskusikan persiapa KAA.  Pertemuan Bogor ini sukses memformulasikan draf agenda, tujuan dan negara mana yang harus diundang untuk KAA.

Kelima negara ini juga menjadi sponsor KAA, yang diadakan pada 18-24  April 1955.  Presiden Soekarno memilih Bandung sebagai lokasi KAA.

Kelima negara sponsor juga membentuk sekretariat bersama.  Dari Indonesia ditunjuk Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani.

Rentetan peristiwa di atas dapat diakses di berbagai artikel berkaitan dengan sejarah lahirnya Konferensi Asia Afrika.  Myanmar, yang saat itu disebut Burma, nama suku mayoritas di sana, adalah mitra terdekat yang mendukung Indonesia sejak awal.  Juga kedekatan dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, saat itu adalah penjajahan Jepang.

Pada tanggal 24 April  2015, Presiden Myanmar U Thein Sein menghadiri peringatan 60 tahun KAA di Bandung.

Kemiripan Indonesia dan Myanmar

Berbagi  kemiripan sejarah, berlanjut kemudian dalam kondisi pasca kolonialisme. Militer kedua negara mewarisi sejarah penjajahan Jepang, yang terobsesi dengan hukum, aturan main, disiplin, persatuan dan integrasi teritorial.  Hal ini menjadi dasar bagi organisasi intelijen di kedua negara untuk memastikan keberlanjutan rezim, melemahkan posisi masyarakat sipil, menguasai sumber daya ekonomi negara, melegitimasi fungsi politik tentara melalui pengecualian konstitusional.

Sebuah artikel yang dimuat di laman The Hindu menggambarkan perjalanan Indonesia dan Myanmar.

Kedua negara juga terdiri dari multietnis, yang selalu dihantui oleh potensi konflik antar suku, ras, dan separatisme.

Sebagaimana di Indonesia, nasionalisme berkembang di Myanmar.  Dalam era Perang Dunia II, di Indonesia ada tentara Pembela Tanah  Air (PETA), di Myanmar ada  Burma Independence Army (BIA).  Keduanya diasosiasikan dengan sikap anti kolonialisme Jepang, sungguh pun mereka direkrut dan dilatih oleh Jepang.

Persatuan dalam keberagaman selalu menjadi visi yang ditawarkan oleh kedua negara segera setelah berakhirnya penjajahan.  Saat itu Soeharto dan Aung San adalah pemimpin politik yang kharismatis mencoba membawa masyarakat yang heterogen hidup di bawah semboyan persatuan nasional.

Aung San adalah ayah dari Aung San Suu Kyi, kini penasihat negara Myanmar, dan pemimpin partai politik yang berkuasa di sana.

Militer Indonesia lahir pada tahun 1945 untuk mendukung perjuangan revolusi, dibentuk sebagian besar oleh anggota PETA, yang direkrut dari elemen nasionalis oleh Jepang pada 1943.  Militer berperan penting dalam perang revolusi, yang juga mewariskan keetidakpercayaan terhadap kemampuan politisi sipil. 

Baik di Myanmar maupun Indonesia, militer memegang peran penting dalam meraih kemerdekaan, merasuk dalam semua kehidupan bangsa, dan mengkonsolidasikan posisinya dengan menguasai administrasi pemerintah, sektor bisnis dan mendirikan partai politk yang didominasi militer

Di pihak Myanmar, tentara mereka dibentuk oleh elemen yang beragam.  Di era kolonisasi Inggris, tentara Myanmar didominasi rekrutmen dari etnis minoritas terutama Karen.  Dalam perang dunia II, ketika para nasionalis Myanmar bergabung dengan tentara yang dilatih Jepang (BIA), yang awalnya berperang bersama tentara Negeri Samurai, banyak etnis minoritas bergabung dan berperang untuk kepentingan sekutu.

Ketika pecah konflik kekerasan komunal antara warga etnis Burma dengan suku Karen, pemimpin militer Myanmar disingkirkan. Jenderal Ne Win mengambilalih komando.  Komposisi etnis memberikan jalan bagi etnis Burma untuk mendominasi, sementara etnis minoritas yang melawan situasi ini menjadi sasaran operasi utama militer Myanmar.

Sama dengan di Indonesia, negara terdiri atas berbagai suku, mengalami perang sipil pada tahun 1950-an dan tentara didominasi suku Jawa.

Di Myanmar, turbulensi politik yang dipicu oleh konflik antar suku menyusul perjuangan memerdekaan diri pada April 948.  Pada tahun 1958 PM U Nu mundur, dan tentara mengambilalih  pemerimtahan.  Pemilu diadakan tahun 1960, dan parpol yang didukung militer kalah.  Militer melakukan kudeta dua tahun kemudian dan mengakhiri demokrasi parlemen,  Jenderal Ne Win naik ke tampuk kekuasaan.

Di Indonesia, terjadi demokrasi parlemen, yang diikuti pemberlakuan demokrasi terpimpin oleh Soekarno, dan dilanjutkan pemerintahan yang didukung rejim militer dipimpin Soeharto.

Dwifungsi

Tahun 1950-an, Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution muncul dengan ide “Jalan Tengah” untuk kekuatan tentara, mengkombinasikan antara peran konvensional mempertahankan negara dengan partisipasi di pemerintahan.  Setelah Soekarno jatuh, ide ini diformulasikan dalam bentuk diwifungsi ABRI, dan dijalankan di semua level pemerintahan.  Di Indonesia ada Golkar, sebagai wajah sipil dari rezim militer Soeharto,  Di Myanmar ada Asosiasi Solidaritas  Persatuan Pembangunan  yang didirikan tentara pada 1993, yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Solidiratas Persatuan Pembangunan (USDP) yang ikut pemilu 2010. 

Tahun 2008, warga Myanmar dipaksa ikut referendum yang hasilnya adalah legititmasi kekuasaan militer, parlemen, dan pemerintahan.

Perbedaan antara kedua negara

Di Indonesia keterlibatan militer dalam bisnis berlangsung bertahap, seraya konsolidasi politik.  Di Myanmar, itu terjadi seketika.  Hampir semua aset swasta diambilalih oleh perusahaan yang dikelola oleh tentara.  Para pengusaha  lama, yang sebagian besar dari etnis Tionghoa dan India, lari menyelamatkan  diri ke luar negeri, begitu juga para cerdik pandai Myanmar.

Sebelum kudeta pada 1962, Myanmar pernah menjadi salah satu negeri dengan standar kehidupan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dengan penduduk yang terdidik.  Setelah militer berkuasa, hanya elit mereka yang memiliki akses ke pendidikan formal.

Perbedaan lain yang juga penting, rezim militer di Indonesia kemudian membuka diri terhadap ekonomi pasar bebas dunia melalui peran teknokrat dan kerjasama internasional.  Sementara rezim di Myanmar masih curiga kepada dunia luar.

Kebebasan pers di Indonesia juga lebih baik dibandingkan dengan di Myanmar.

Kedekatan antara kedua negara melalui elit pelaku sejarah, dan pemimpin, menjadi latar-belakang mengapa Indonesia memiliki tempat istimewa bagi rezim di Myanmar.  Akses yang lebih baik, termasuk membantu warga Muslim Rohingya.

Myanmar belakangan belajar banyak dari Indonesia dalam memulai era demokrasi politik.

Tapi Indonesia juga perlu belajar dari apa yang terjadi di Myanmar saat ini, agar tidak mengulanginya di negeri Pancasila.

Karena kekuasaan di manapun, kapanpun, punya watak yang sama.  Ingin langgeng, dengan segala cara – Rappler.com

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!