Bincang Mantan: Seberapa perlukah membandingkan diri dengan orang lain?

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Seberapa perlukah membandingkan diri dengan orang lain?
"Kalau kamu terus-terusan terobsesi menjadikan semua poin dalam hidupmu sempurna atau lebih baik dari orang lain, kamu bisa melewatkan hal yang benar-benar penting dalam hidup."

JAKARTA, Indonesia— Kedua penulis kolom Bincang Mantan adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Adelia: Cemburu itu manusiawi 

It’s human to compare yourself to others. It’s human to be jealous, and no, you’re not alone in this. We are all jealous human beings.

Menurut saya, tendensi kita untuk membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain adalah hasil dari pengalaman sejak kecil. Ingat tidak pada ucapan “Lihat ke atas agar kamu termotivasi untuk jadi lebih baik, tapi lihat ke bawah agar kamu bersyukur”?

Belum lagi komentar orang tua kita (atau cuma saya?) yang entah mengapa hobi sekali membandingkan anaknya dengan anak temannya, baik langsung maupun tidak. Familiar dengan “Wah, anak Tante Tuti sudah S2 lho sekarang!” atau “Anak teman arisan mama baru saja nikah, kapan ya mama mantu..”? UGHH.

Ya begini lah hasilnya: anak-anak yang sekarang sudah di umur pertengahan 20 jadi insecure dengan pencapaian hidupnya. Mid-life crisis sudah dimulai semenjak dini, ya?

Tendensi membanding-bandingkan yang sudah dipupuk dari dulu. Diperparah dengan kondisi kita yang berada di tahapan berbeda dengan mereka yang tadinya “setara” dengan kita. Orang-orang yang dulu menempuh pendidikan di tingkatan yang sama dengan kita, eh tiba-tiba sekarang sudah ada yang jadi mahmud cantik, ada yang jadi selebgram hits bermobil mewah, ada yang jadi manajer, sementara mungkin kita masih tidak tahu mau hidup ini mau dibawa ke mana. Betul, tidak?

Aziz Ansari dan Eric Klinenberg dalam buku Modern Romance punya teori lain. Menurut mereka, anak muda zaman sekarang tidak pernah puas sama hidup atau pencapaiannya simply karena mereka punya jauh lebih banyak pilihan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, mulai dari smartphone hingga urusan jodoh.

Nah, kita jadi percaya bahwa di luar sana selalu ada sesuatu yang lebih untuk dicapai atau dimiliki, sehingga kita menolak untuk settle dengan apa yang ada di depan mata. Kita jadi lama dan ragu ketika mengambil keputusan dan terus-terusan merasa tidak puas. Akhirnya, ya enggak dapat apa-apa dan terus merasa ada yang hilang. Enggak bahagia aja terus.

Terus gimana?

Saya bukannya bilang tidak boleh membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Living in your own bubble is as dangerous as basing your life on others’ accomplishment — sama-sama enggak sehat buat mental. Tapi usahakan jangan terlalu terobsesi sama pencapaian orang lain atau ekspektasi masyarakat, deh. Enggak semua hal bisa jadi sempurna, dan kalau kamu terus-terusan terobsesi menjadikan semua poin dalam hidupmu sempurna atau lebih baik dari orang lain, kamu bisa melewatkan hal yang benar-benar penting dalam hidup.

Ada satu nasehat dari Mark Mason yang saya sangat suka tentang ini semua.

“But what if the answer isn’t to do more? What if the answer is to want less?

What if the solution is simply accepting our bounded potential, our unfortunate tendency as humans to inhabit only one place in space and time. What if we recognize our life’s inevitable limitations and then prioritize what we care about based on those limitations?

What if it’s as simple as stating, ‘This is what I choose to value more than everything else,’ and then living with it?” (dari No, You Can’t Have It All, MarkMason.net)

Kalau kamu mau baca lebih dalam tentang ini semua, coba baca buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck karyanya, deh.

Mungkin kamu masih menganggap semua yang saya tulis tadi cuma bualan dan kekeuh kalau mengurangi kecemburuan terhadap orang lain itu tidak mungkin dilakukan, atau kamu berpikir kalau dari tadi saya cuma ngoceh ngalor-ngidul. But trust me, I’ve been there. I’m still there (seperti yang saya bilang tadi, manusiawi sekali kok untuk cemburu sama pencapaian orang lain).

Kalau boleh saya kasih saran, coba buat gratitude list, deh. Tulis hal-hal baik yang kamu terima setiap hari, mulai dari hal besar seperti kenaikan gaji, hingga hal-hal kecil yang biasanya kamu lupakan, seperti kopi gratisan dari barista favoritmu atau pemberitahuan tentang serial favoritmu akan muncul minggu depan.

The things that you take for granted would amaze you, and soon enough, you’ll realize that you’re one lucky person — even luckier than most of other people you know.

Bisma: Untuk prestasi lihat ke atas tapi untuk materi lihat ke bawah

Saya pernah baca suatu artikel yang menyatakan bahwa salah satu ciri midlife crisis adalah adanya kecenderungan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Usia saya saat ini 25 tahun (usia terjadinya krisis tersebut) dan memang terasa betul bahwa pernyataan itu benar adanya.

Bisa dibilang saya memiliki standar hidup yang sudah baik. Tidur di kamar AC, ke kantor bebas mau naik apa, mau hang out bisa dimana saja kapan saja, bahkan kalo sakit bisa langsung ke dokter. Tapi jujur, setiap melihat Instagram dan lihat teman dengan hidup fancy-nya atau prestasi mereka, rasa tidak puas tetap ada.

Saya yakin ini dialami juga oleh sebagian besar orang termasuk kamu, iya kan?

Kalo kata Petyr Baelish, “It doesn’t matter what we want, once we get it we want something else”. Ya betul sih memang sudah kodrat manusia untuk tidak pernah puas dan ini memang perasaan yang manusiawi.

Nah yang menarik untuk dibahas adalah cara orang-orang di sekitar saya menyikapi ketidak puasan ini. Banyak lho teman yang akhirnya berusaha “nyamain” gaya hidup orang-orang sukses itu dengan makan di tempat fancy setiap weekend sampai belanja barang branded yang sebetulnya enggak perlu-perlu amat sampe gaji setiap bulan habis untuk bayar cicilan kartu kredit. 

Yang lebih parah, saya pernah dengar cerita orang yang sampe jadi social climber dengan cuma mau berteman dengan orang yang dia nilai sukses demi dapat “pengakuan” dari orang di sekitar aja. Memang sih dia berhasil kelihatan sukses, tapi sebetulnya tanpa panjat sosial pun hidup dia udah menarik.

Enggak usah gitu-gitu amat lah!! 

Saya ada di usia kalian juga, semua yang kalian rasain saya juga rasain. Been there done that. Tapi saya berhasil survive tuh di kehidupan bersosial ibu kota tanpa kartu kredit jebol dan harus bergaya seperti apa yang sebetulnya bukan saya. 

Caranya, untuk prestasi lihat ke atas tapi untuk materi lihat ke bawah. Itu!! 

Maksudnya, setiap kita lihat teman yang berhasil berprestasi wisuda di luar negeri, atau dapat pekerjaan bagus, kita boleh deh iri hati sedemikian rupa sampe meraung-raung pun boleh asal memang follow up dari perasaan iri hati kita adalah kemudian kita berjuang untuk mencapai prestasi serupa atau bahkan lebih. Bukan cuma iri aja.

Kalau lihat teman sukses ke luar negeri ya kita coba lah les persiapan IELTS atau GMAT. Lihat teman dapat kerjaan bagus ya ikutlah course atau training yang menambah kualitas diri supaya kerjaan yang oke pun datang nyari kita. Terus deh mendongak lihat ke atas selama itu membuat kita termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Sebaliknya, kalau liat orang pamer harta dan makan fancy coba lihat ke bawah. Masih banyak lho orang di luar sana yang bisa makan sebulan dengan uang kita makan fancy sekali aja. Berpuas diri lah, karena kalau yang dicari materi, enggak akan ada habisnya. Ingat,“There is always someone out there who wishes they had what you have.”

Bukannya saya against banget sama makan bagus atau barang branded ya. Asal mampu sih sah-sah aja silahkan. Yang jangan itu kita berlaku demikian cuma karena iri lihat teman kita, padahal dia mampu, sedangkan kita harus mampu-mampuin. Buat apa sih? Untuk pamer? Terus nanti ada teman kamu yang lain yang iri sama kamu. Akhirnya maksain beli barang branded juga. Dan seterusnya dan seterusnya.

Kapan bangsa ini mau maju kalau anak mudanya tukang ngutang semua? Selama semua orang melihat ke atas untuk urusan harta, tren ini akan terus berlanjut. Yuk kita coba anti mainstream sedikit dengan lihat kebawah. Supaya stop tren enggak jelas ini.

Ingat, jadilah Spongebob yang selalu bisa bersyukur meski hidupnya menyedihkan (bos pelit, teman kerja grumpy, les nyetir gagal terus. Sedih ya). Jangan jadi Nobita yang selalu iri sama berbagai mainan Suneo padahal dia punya Doraemon. Just be grateful!! —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!