Menguak fakta di balik hukuman mati

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menguak fakta di balik hukuman mati
165 orang terpidana mati di Indonesia yang belum dieksekusi, 7 diantaranya perempuan

JAKARTA, Indonesia – Kampanye menolak hukuman mati menemui kendala berat di negara-negara di kawasan ASEAN.  Koalisi Untuk Menghapuskan Hukuman Mati di ASEAN (CADPA) mendata bahwa 85% orang di Indonesia setuju terhadap hukuman mati, diikuti dengan 76% Singapura dan 91% orang di Vietnam. Ketiga negara masih aktif melakukan eksekusi hukuman mati.

Dalam diskusi memperingati hari hukuman mati yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober, CAPDA juga memaparkan pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Indonesia, ternyata masih belum efektif lantaran banyak tindakan proses hukum yang belum adil.

Program Manajer Advokasi HAM ASEAN (HRWG) Daniel Awigra mengatakan, “Masyarakat percaya bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang baik dan adil. Padahal masyarakat tidak tahu cerita di baliknya,” kata Daniel dalam diskusi yang digelar di Jakarta, 14 Oktober 2017.

Menurut data per 12 Oktober 2017, CADPA mencatat masih terdapat 165 orang terpidana mati di Indonesia yang belum di eksekusi, 7 di antaranya adalah perempuan dan 42 orangnya adalah WNA. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih bersikukuh untuk melaksanakan hukuman mati kepada mereka yang tertangkap dengan kasus pembunuhan berencana, narkoba dan terorisme. 

(BACA :  Dua WNI terhindar dari hukuman mati di Arab Saudi)

Peneliti LBH Masyarakat Muhammad Afif juga menjelaskan bahwa pendampingan hukum yang bisa dilakukan kepada terpidana mati selalu terlambat. 

“Pada akhirnya, kami hanya memiliki dua opsi terakhir, yaitu Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi,” jelasnya sembari menceritakan pendampingan hukum yang dilakukan LBH kepada WNA asal Nigeria, Humphrey Ejike Jefferson atau Jeff. 

Padahal pendampingan hukum menjadi hak terpidana mati untuk melakukan pembelaan sebelum vonis tersebut disematkan kepada mereka.

(BACA : Ombudsman, eksekusi hukuman mati yang dilakukan pada 2016 tidak sesuai prosedur)

Hukuman mati tidak memutus rantai peredaran narkoba

Salah satu mantan terpidana mati yang hadir dalam diskusi, Matius Arif Mirdjaja, juga menuturkan bobroknya sistem peradilan hukum di Indonesia. “Saya pernah bawa ganja pakai bis itu sudah biasa dulu tahun 95 atau 96-an, itu aparat sudah pada tahu kok. Tiap bulan kita setoran,” jelasnya. 

Sebelumnya, Matius pernah diancam eksekusi hukuman mati karena tersandung kasus narkoba. Ia berbagi lapas di Nusakambangan dengan terpidana mati WNA Australia, Andrew Chan. Namun sayangnya Andrew dieksekusi mati oleh pemerintah RI dengan pemberitahuan 72 jam sebelum pelaksanaan eksekusi. 

Matius menambahkan bahwa ini bukan masalah sistem hukumnya saja, namun akibat moral para aparat penegak hukum yang buruk. “Bahkan ada kok bandar narkoba yang kaya, sempat terjerat hukuman mati, lalu bebas karena bayar aparat,” tambahnya. 

Padahal dengan membunuh nyawa para terpidana, tidak menyelesaikan rantai peredaran narkoba di Indonesia maupun di luar negeri. 

(CEK FAKTA : Tentang hukuman mati di Indonesia)

Pelaksana Advokasi Hukum PKNI Alfiana Qisthai menuturkan fakta di lapangan, bahwa penegakan hukum di Indonesia kerap kali bias antara pengguna dan pengedar narkoba. Kebanyakan yang ditangkap dan dipenjarakan adalah pengguna narkoba, padahal seharusnya mereka mendapatkan akses kesehatan seperti rehabilitasi. 

“Ketika pemeriksaan di kepolisian, tidak ada akses kesehatan bagi penderita yang tersiksa karena sakau, tidak ada terapi atau solusi kesehatan. Contoh lain adalah ketika pengguna narkoba yang juga penderita HIV. Hal ini bisa menimbulkan dampak kesehatan yang buruk dari penggunaan NAPZA,” ujar Alfiana.

Ia juga menambahkan bahwa pendekatan represif dari pemerintah tidak menyelesaikan masalah, karena peredaran psikotropika tidak ditindak sampai ke akarnya. “Malah pengguna yang dipenjara, ini kan jadi lingkaran setan yang tidak terputus,” ujarnya. 

Wakil Kordinator Advokasi KontraS, Putri Kanesia, yang juga merupakan kuasa hukum mantan terpidana mati, Yusman Telaumbanua  membeberkan fakta penindakan hukum dibalik hukuman mati. 

“Yusman dipaksa oleh polisi untuk mengakui pembunuhan majikannya yang tidak dilakukan olehnya, karena pelakunya kabur. Padahal umurnya masih 16 tahun pada saat itu,” ujarnya.

(BACA : Lima kasus hukuman mati yang kontroversial)

Namun karena Yusman menjadi satu-satunya saksi, polisi memaksa Yusman untuk mengaku berusia 19 tahun agar bisa diadili pengadilan dewasa. Tebak kusir ini dilakukan polisi, mengingat Yusman tidak memiliki identitas apapun, baik akta kelahiran maupun KTP.

Pelanggaran secara prinsip juga dilakukan oleh kepolisian karena mereka tidak memberikan penerjemah bahasa daerah Nias kepada Yusman (ia tidak bisa berbahasa Indonesia). “Malahan, pengacara yang disediakan pengadilan untuk Yusman menyuruhnya untuk ikut hukuman mati saja, ini kan aneh,” ujar Putri. 

Yusman akhirnya lolos dari hukuman mati karena pemeriksaan radiologi terhadap gigi dan tulang yang dilakukan KontraS dan menyatakan bahwa Yusman berusia 16 tahun pada waktu ia ditangkap polisi. 

Diskusi CADPA menyimpulkan, hukuman mati belum benar-benar bisa diaplikasikan dengan baik oleh pemerintah dan beberapa negara ASEAN yang menerapkan eksekusi hukuman mati. Penindakan hukum dan oknum aparat yang masih buruk perlu diperhatikan lebih dalam oleh pemerintah, mengingat hukuman mati masih tidak efektif untuk memutus rantai kejahatan yang sebenarnya. –Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!