Tiga Tahun Jokowi-JK: 5 PR di bidang hukum dan HAM

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tiga Tahun Jokowi-JK: 5 PR di bidang hukum dan HAM
Dari penuntasan kasus HAM, intoleransi, hingga konflik agraria

JAKARTA, Indonesia – Di balik tiga tahun masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, publik masih menunggu gebrakan dan janji-janji Jokowi-JK terkait penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). 

Walaupun keduanya telah melakukan berbagai terobosan hukum, namun beberapa kasus krusial terkait HAM belum memantik nyali dari keduanya. Berikut lima pekerjaan rumah atau PR Jokowi-JK yang harus dituntaskan sesuai janji politiknya, menjelang Pilpres di tahun 2019.

Penuntasan kasus HAM berat

Pelanggaran HAM berat masa lalu masih menjadi tuntutan banyak pihak. Pemerintah dan Komnas HAM belum cukup berani untuk menyelesaikan satu persatu kasus tersebut. 

Perkembangan penyelesaian yang monoton dan belum optimal menjadi PR bagi komisioner terpilih untuk melakukan pembenahan.

Walaupun pemerintah telah membentuk tim gabungan yang terdiri dari Kejaksaan Agung (Kejagung), Komnas HAM, TNI, POLRI dan Kemenko Polhukam, proses pengungkapan masih dinilai lamban. 

Bahkan Jaksa Agung, M. Prasetyo sempat berjanji bahwa Kejaksaan bisa menempuh jalur rekonsiliasi untuk mengusut kasus ini. Mereka berkomitmen untuk mengusut kasus pelanggaran HAM, walaupun alat bukti tidak dapat ditemukan.

“PR kita adalah pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Mas Munir. Ini juga perlu diselesaikan,” ujar Presiden Jokowi di Istana Merdeka, pada 22 September 2016.

Hingga kini, berbagai bentuk protes dan demo masih dilakukan oleh sejumlah aktivis, seperti aksi Kamisan yang terus menagih janji Presiden Jokowi untuk mengusut kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Diskriminasi dan Intoleransi

Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat terhadap agama dan keyakinan di Indonesia masih belum mendapatkan upaya optimal dari Pemerintah. 

Menurut riset Setara Institute, dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK masih terjadi 197 peristiwa dengan 236 tindakan pelanggaran kebebasan beragama pada tahun 2015. Diikuti dengan 91 peristiwa dan 113 pelanggaran kebebasan beragam yang masih terjadi sejak Januari-September 2016.

Bahkan pada kebijakan diskriminatif yang dicatat oleh Komnas Perempuan pada Agustus 2016, terhadap 421 kebijakan yang tidak melibatkan atau menyudutkan perempuan. Tak hanya itu, kasus intoleransi beragama serta kelompok-kelompok tertentu masih menjadi masalah.

Penegakan Korupsi masih tebang pilih

Sebagian pihak menilai, pemberantasan korupsi masih dilakukan secara tebang pilih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun Presiden Jokowi memiliki komitmen untuk memberantas korupsi ini dalam janji politiknya, namun hukuman korupsi masih belum menimbulkan efek jera bagi para koruptor.

“Saya rasa tidak usah bolak-balik saya sampaikan bahwa kita mendukung penguatan KPK,” jelas Presiden Jokowi pada 16 Oktober 2017. Presiden Jokowi bahkan menilai, bahwa ada pihak yang tidak menyukai penegakan hukum korupsi ini. 

Namun ia bersama pemerintah tidak akan berhenti untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Walaupun upaya seperti pembentukan tim saber pungli, Operasi Tangkap Tangan (OTT) sudah dilakukan, namun praktik korupsi masih tidak memberikan efek jera.

Presiden Jokowi juga perlu melakukan penguatan melalui Perpres dan Inpres untuk melakukan pencegahan tindakan korupsi, seperti upaya e-budgeting, e-planning dan e-procurement untuk  instansi atau lembaga pemerintahan. Melalui sistem ini, Presiden Jokowi bisa memangkas tindakan praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum.

Konflik agraria atau pertanahan

Konflik yang terkait dengan pertanahan ini berkaitan erat dengan kepemilikan lahan para pemilik korporasi. Pemerintah Jokowi-JK belum menindak tegas konflik pertanahan ini, padahal berdasarkan laporan Komnas HAM selama 3 tahun terakhir, pengaduan masyarakat terhadap Korporasi/Perusahaan menempati peringkat kedua setelah POLRI. Bahkan pada tahun 2014, terdapat 1127 pengaduan terhadap perusahaan-perusahaan yang meliputi sengketa sumber daya alam dan tanah.

Selama ini masyarakat juga merasa korporasi terlalu dekat dengan pemerintah. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan korporasi atau perusahaan-perusahaan yang bersekongkol agar bisa mendapatkan lahan tanah yang luas.

Maka dari itu, kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan perusahaan terindikasi korupsi tersebut harus diselidiki lebih dalam oleh Pemerintah dan KPK.  

Penguatan mekanisme perlindungan pembela HAM

Kekerasan kepada pembela atau aktivis HAM belum mendapatkan perlindungan yang optimal dari Pemerintah dan pihak Komnas HAM. 

Penguatan baik dari sisi sumber daya masyarakat (SDM) dan pendanaan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan perlindungan kepada mereka. Padahal, pembela HAM menjadi tokoh yang berperan penting untuk menguak kasus-kasus HAM di Indonesia.  

Faktanya, ancaman kekerasan terhadap pembela HAM perempuan memang lebih banyak terjadi daripada pembela HAM laki-laki. Tak hanya dari segi fisik, namun secara psikologis mereka kerap dikucilkan atau dicemooh sepanjang hidupnya. 

Contohnya kekerasan psikologis yang dialami para anggota Gerwani, mereka hingga saat ini masih dikucilkan baik dari lingkungan sosial maupun keluarga sedarah sendiri. —Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!