Menanti hilangnya tanda strip pada kolom agama di KTP

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menanti hilangnya tanda strip pada kolom agama di KTP
Putusan MK yang diketok pada 7 November 2017 ini berimplikasi pada dibolehkannya pencantuman penghayat kepercayaan pada kolom agama di KTP dan KK

BANDUNG, Indonesia —  Itok tersenyum lebar saat diminta tanggapannya mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penghayat kepercayaan bisa dicantumkan dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).   

“Rasanya enak, senang,” kata Itok saat ditemui Rappler di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat, Selasa 28 November 2017.

Perempuan berusia 60 tahun tersebut adalah satu dari sekitar 400 orang penganut Sunda Wiwitan yang tinggal di Cigugur Kuningan, Jawa Barat.  Ibu dari dua anak ini memang tidak sepenuhnya paham, putusan MK itu akan membuka pintu bagi terpenuhinya hak-hak konstitusi bagi penghayat kepercayaan yang selama ini sulit didapat.  Yang ia pahami, kolom agama di  KTP-nya tidak akan lagi ditandai setrip (-) lagi.  

Bagi Itok, hilangnya tanda setrip menandakan hilangnya ketidakjelasan akan status keyakinannya, sekaligus menandakan sebuah pengakuan dari negara.“Senang sekali diakui pemerintah,” kata Itok dengan ekspresi lega.   

Sebagai penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, Itok telah sekian lama mengalami stigma dan diskriminasi.  Ia mengungkapkan, tidak semua penganut Sunda Wiwitan memiliki KTP dan KK lantaran terganjal aturan administrasi. 

Saat menikah pada tahun 1980,  Ibu dua anak itu pun harus beralih keyakinan agar bisa mendapat surat nikah yang sah dari negara.  Ketika itu, Itok dan suaminya menikah sebagai penganut Katolik. 

Akan tetapi, keyakinan memang tidak semudah itu berganti. Itok kemudian kembali menganut ajaran kepercayaan yang disebarkan leluhurnya: Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat. Dan tanda setrip itu kembali menghiasi KTP-nya.  Itok mengaku akan segera mengurus KTP agar tanda setrip bisa digantikan degan ‘Penghayat Kepercayaan’.

Ketua Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama, Dewi Kanti Setianingsih, mengapresiasi keputusan MK tersebut.  Perempuan keturunan langsung Pangeran Madrais ini menilai, ketok palu Hakim MK itu seperti meneguhkan kembali kehadiran negara sebagai pelindung bagi semua warganya.

“Peneguhan bahwa rel yang kami pahami sebagai negara itu harus hadir dalam perlindungan masih dalam koridor,” ujar Dewi yang saat ditemui berpakaian khas perempuan Sunda, berkebaya kuning dengan rambut disanggul cepol. 

Walaupun begitu, Dewi merasa keputusan MK itu tidak akan serta merta beres di tingkat pelaksanaannya. Jalannya masih panjang, terutama menyingkronkan kebijakan yang menjadi turunan dari putusan MK tersebut.   Tapi setidaknya, Kementerian Dalam Negeri telah memberikan sinyal akan melaksanakan putusan itu. 

Berkaca pada pengalaman sebelumnya, Dewi menyebutkan, kebijakan pemerintah pusat kadangkala tidak diterjemahkan dengan baik oleh aparat pemerintahan di daerah.   Pencantuman tanda setrip di KTP, misalnya.  Tanda itu memang tertera di kolom agama warga Sunda Wiwitan.   Tampak seperti upaya aparat untuk tidak menggiring para penghayat kepercayaan ke agama yang diakui pemerintah.  Tapi ketika dilihat di arsip kependudukan, akan ditemukan data yang berbeda. 

“Jadi sebetulnya persoalan administrasi ini, jadi kayak lemparan-lemparan bola.  Di satu sisi, ketika warganya minta hak untuk dituliskan sesuai pengakuannya, dibilang sistemnya belum ada.  Ketika sistemnya sudah ada, (bilangnya) ini kan bertahap.  Dulu kita disetrip, yah memang tidak digiring kepada salah satu agama.  Tapi di depan kita oke mengisi setrip, ternyata di databasenya, ada beberapa warga yang di-Khonghucu-kan, di-Islam-kan,  di-Katolik-kan,” tutur Dewi.

Kebijakan tanda setrip di KTP muncul setelah pemerintah menerbitkan Undang-undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk.  Di Pasal 61 ayat 2 disebutkan, kolom agama  bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi.  Namun pengosongan kolom agama yang ditandai setrip, juga berdampak panjang pada penganut kepercayaan lantaran memicu stigma dan diskriminasi. 

Dewi mencontohkan, nasib seorang pelajar kelas 3 SMK yang ditolak perusahaan tempatnya magang karena kolom agama di KTP-nya hanya diisi setrip.  Padahal anak itu telah pergi jauh ke luar kota untuk melaksanakan tugas akhir dari sekolahnya itu.

“Ini kan sebuah pemasungan hak yang asasi.  Dan ketika majelis hakim menjelaskan hak beragama itu hak yang alami yang tidak bisa diberikan oleh negara, bukan pemberian negara, ini yang penting ditekankan.  Jadi, karena bukan pemberian negara, maka tidak ada istilah agama yang diakui atau tidak diakui.  Ini yang menjadi spiritnya putusan ini,” ujar perempuan 42 tahun ini.

Pro kontra putusan MK

Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KTP dan KK yang diatur dalam Pasal 61 Ayat 1 dan 2, serta pasal 64 ayat 1 dan 2 UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.  

Putusan MK yang diketok pada 7 November 2017 ini berimplikasi pada dibolehkannya pencantuman penghayat kepercayaan pada kolom agama di KTP dan KK.  

Hal ini juga berarti, penganut aliran kepercayaan dipandang setara dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk 6 agama lainnya yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak konstitusinya terkait administrasi kependudukan.

Keputusan ini disambut gembira, tidak hanya oleh para penghayat kepercayaan, tapi juga sejumlah pihak yang ikut memperjuangkan hak kesetaraan bagi semua warga negara Indonesia ini.

Seperti yang diungkapkan Ellen Pitoi dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika.  Perempuan berkacamata ini mengucapkan syukur atas terpenuhinya hak para penghayat kepercayaan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia ini.

“Selama 17 tahun kami ikut berjuang untuk hak-hak konstitusi seluruh agama lokal yang ada di Nusantara, saya bersyukur,  akhirnya MK bisa memutuskan semua agama leluhur bisa mencatatkan kepercayaannya di kolom agama karena itu sudah hak sebagai warga negara,” kata Ellen.

Ellen mengaku selama memperjuangkan hak konstitusi para penganut aliran kepercayaan, ia ikut menutup kolom agama di KTP-nya dengan selotip, meski dia menganut Katolik.  Itu dilakukannya demi ikut merasakan stigma dan diskriminasi yang dialami penghayat kepercayaan.

“Dari tahun 2014, kolom KTP, saya tutup sama selotip. Jadi tidak kelihatan saya ini sebagai agama apa.Yang saya rasakan, di saat saya mau check in di bandara,  mereka  lihat-lihat,  kok ibu gak beragama yah.  Aku langsung jawab, emang harus tahu? Saya membayangkan itu juga yang dirasakan oleh saudara-saudara kami yang agama lokal ini,” beber Ellen.

Rasa syukur yang sama juga diungkapkan Nia Sjarifudin dari Unit Kerja Kepresidenan Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP).  Dia mengatakan, putusan MK tersebut perlu ditaati dan patut dijalankan.

“Karena itu bagian dari upaya-upaya kita mengoptimalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dan komitmen kita terhadap empat konsensus kemerdekaan kita,” ujar Nia.

Untuk membantu mensosialisasikan putusan itu, UKP PIP berkolaborasi dengan Sunda Wiwitan menggelar acara sosialisasi hasil judicial review MK mengenai kolom agama di KTP kepada aparat dinas terkait di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, 27-28 November 2017.

Tapi, keputusan MK tersebut juga mengundang penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Seperti dilansir oleh sejumlah media, MUI menolak dengan alasan penambahan agama lain pada KTP berpotensi merugikan bangsa dan negara karena dapat memicu polemik.

MUI juga menegaskan UU Nomor 24 tahun 2013 yang hanya mengakui 6 agama, harus dipertahankan.  Sementara, aliran kepercayaan bukan agama sehingga tidak boleh ditulis pada kolom agama di KTP.

Menanggapi penolakan itu, Dewi mengatakan sikap pro dan kontra lumrah terjadi dalam setiap keputusan.  Namun Dewi meminta semua pihak menghormati putusan hukum apalagi yang diputuskan lembaga hukum tertinggi.

“Anggaplah saudara-saudara kami, MUI, masih butuh waktu untuk mengenali persoalan kami. Kami yakin, ketika semua orang itu landasannya beragama itu adalah menghormati kemanusiaan, maka tidak ada alasan penganut agama manapun untuk bisa menghambat hak-hak kemanusiaan yang lain,” ujarnya legowo.  —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!