50 tahun kemudian: Mari bicara tentang Supersemar

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

50 tahun kemudian: Mari bicara tentang Supersemar

AFP

Setengah abad sejak Surat Perintah Sebelas Maret diterbitkan, masih banyak misteri yang belum terpecahkan.

JAKARTA, Indonesia –  Surat Perintah Sebelas Maret, atau biasa disingkat sebagai Supersemar, adalah surat yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini memerintahkan Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengamankan pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.

50 tahun kemudian, surat tersebut masih menjadi misteri bagi sebagian besar masyarakat, baik yang pernah belajar intens mengenai Supersemar di sekolah maupun kaum muda yang melewatkan Orde Baru. Banyak kontroversi mengenai “surat sakti” ini, mulai dari keasliannya, proses penulisannya, hingga pengaruhnya dalam pembentukan rezim baru.

Keaslian Supersemar adalah pertanyaan besar yang belum terjawab hingga saat ini. Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa saat ini tidak ada yang tahu dimana surat asli tersebut berada. Yang selama ini beredar hanyalah salinan yang disebarluaskan melalui media dan buku sejarah.

Lalu bagaimana dengan lembar utamanya? Tidak ada yang tahu.

“Tidak ada yang tahu dimana surat asli Supersemar berada. Selain itu, banyak versi yang beredar,” ujar Bonnie kepada Rappler, Rabu, 11 Maret.

“Katanya Jenderal M. Jusuf (salah satu yang hadir saat pembuatan Supersemar) punya, tapi tidak pernah dimunculkan,” ucapnya.

“Teks otentik itu penting untuk kita lihat asas orisinalitasnya. Kalau tidak ada, ya seperti sekarang, debat yang tidak ada habisnya,” lanjut Bonnie.

Ketika bukti otentik masih dipertanyakan keberadaannya dan semua saksi hidup kejadiaan sudah meninggal dunia, masyarakat hanya bisa beralih ke bukti kontekstual sebagai pendukung, yaitu penulisan sejarah.

Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Paris pada 13 November 1972. Foto oleh AFP

Bonnie, yang menjadi penyunting buku kumpulan pidato Presiden Soekarno, yakin bahwa Supersemar tidak pernah menjadi dasar pengangkatan Soeharto sebagai panglima tertinggi, apalagi presiden.

“Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966, Soekarno bilang bahwa surat Supersemar bukanlah transfer sovereignty, bukan juga authority. Tidak ada transfer kekuasaan,” ujarnya.

“Dari surat-surat (lain) yang beredar, jelas Soekarno hanya memandatkan Soeharto untuk menertibkan keadaan karena saat itu banyak demonstrasi dan menjamin pelaksanaan ajaran Bung Karno.”

“Di surat yang asli, katanya, Soeharto harus mengembalikan mandat setelah tugas selesai,” tambah Bonnie –menekankan pada ‘katanya’, karena sekali lagi, tidak ada yang tahu dimana lembar asli itu berada.

Setelah diterbitkan dan disebarluaskan, perlahan tapi pasti, Supersemar mulai menunjukan kekuatannya dan membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan,

“Soeharto cerdik. Ia tahu kalau harus ada dukungan konstitusi. Ia tidak bisa begitu saja menjatuhkan Soekarno yang pendukungnya masih kuat. Sebenarnya kalau Soekarno mau bilang ‘lawan!’, bisa saja terjadi perang saudara, tapi dia tidak mau Indonesia seperti Korea di tahun 50an,” ujar Bonnie.

“Orang-orang dekat Soekarno, terutama PKI (Partai Komunis Indonesia), sudah dipreteli, sehingga tidak sulit untuk menaikkan status Supersemar menjadi Ketetapan MPRS. Ini yang menjadi landasan politik yang kuat bagi Soeharto.”

Tak selesai di situ, Supersemar berhasil membentuk opini publik dan menjadi legitimasi kekuasaan Soeharto hingga puluhan tahun.

“Soeharto bukan produk demokrasi, tidak seperti Jokowi atau SBY yang dipilih publik. Karena itu, dia butuh opini publik. Dia menguasai koran-koran. Media menampilkan kemunculannya dan Supersemar ditampilkan sedemikian rupa sehingga terlihat sebagai pewarisan kekuasaan ala kerajaan Jawa,” jelas Bonnie.

“Ini kemudian yang diajarkan melalui pendidikan dan sampai sekarang orang masih percaya. Ini berkaitan dengan memori orang. Bahkan, kalau saya cerita ini kepada orang-orang, saya sering dikatai pendukung komunis.”

Di sisi lain, Hutomo Mandala Putra, atau biasa dikenal sebagai Tommy Soeharto, putra bungsu Soeharto, berpendapat lain. Menurutnya, tidak ada hal politis dan niat terselubung dalam penerbitan Supersemar.

“Kalau betul Supersemar dipolitisir HMS (H.M. Soeharto) untuk meraih kekuasaan, tentu saja Supersemar tidak akan diabadikan lewat nama yayasan pendidikan.”

Lalu, di tahun 2015 ini, ketika Orde Baru sudah selesai dan sudah banyak masyarakat yang melupakan Supersemar, apakah masih penting untuk membahas pertentangan ini?

Menurut Bonnie, meluruskan sejarah merupakan modal kita untuk mencegah hal yang sama terulang kembali.

“Pengalaman masa lalu kita sebagai bangsa banyak ditentukan dari pengalaman dan bagaimana kita memaknai dan menilai sejarah, serta bagaimana sejarah itu diajarkan,” kata Bonnie.

“Kalau orang tidak pernah tahu ada pemindahan kekuasaan abnormal, bicara dari segi demokrasi, kita tidak akan pernah belajar, dan bukan tidak mungkin ini terulang kembali,” pungkasnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!