Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan
Selama 20 tahun, Sadiman mengeluarkan uangnya sendiri dan tenaga untuk menanami Hutan Gendol. Hasilnya, dua desa terbebas dari kekeringan

WONOGIRI, Jawa Tengah – Semarak peringatan dan pesta rakyat begitu terasa di Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, sebuah desa di lereng Gunung Gendol, ujung timur Kabupaten Wonogiri. Di sepanjang jalan-jalan berbatu terpasang bendera Merah Putih, lampu hias, dan deretan boneka orang-orangan sawah yang dibuat mirip tentara pejuang. 

Di lapangan dan tanah kosong para warga terlihat riuh dalam aneka lomba. Sebagian lainnya sedang mengecat topi caping bambu di halaman rumah kepala desa untuk atribut karnaval budaya.

Di sudut lain, tempat paling tinggi dan paling ujung di desa itu, Sadiman (61) menapaki jalan sempit berbatu di tepi jurang menganga. Kakinya masih cukup kuat dan cekatan menyusuri jalur terjal naik-turun di antara rumput dan batuan. Sadiman tidak ikut bergabung dalam perayaan dengan warga lainnya. Ia memilih memaknai kemerdekaan dengan caranya sendiri. 

Hampir setiap hari ia menjelajahi hutan, jika tidak sedang mengerjakan ladangnya. Ia bertani padi, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus pohon-pohon beringin yang ia tanam di hutan atas.

“Kalau pohon yang masih kecil-kecil tidak dirawat bisa rusak dan mati,” ujarnya sembari menunjukkan beberapa pohon yang ia tanam di lereng bukit curam. 

Sejak awal 1990-an, Sadiman terus menanam bibit pohon di Hutan Gendol yang adalah hutan negara. Sampai saat ini sedikitnya 11.000 pohon — 4.000 di antaranya beringin — sudah ia sedekahkan untuk alam. Karenanya, Sadiman menjadi satu-satunya orang yang mendapat izin menanami lahan yang dikelola oleh Perhutani itu.

“Niat saya dari awal hanya ingin menghidupkan sumber air di gunung yang sudah lama kering. Saya pertama kali menanami beringin karena pohon ini bisa menyimpan cadangan air tanah,” kata Sadiman.

Kebakaran yang pernah melanda  dan penebangan pohon telah membuat hutan gundul dan mata air mati. Penduduk Desa Geneng dan Conto yang terletak di lereng selalu mengalami defisit air bersih pada musim kemarau. Sungai yang menjadi satu-satunya sumber air mengering.

Namun keadaan mulai membaik beberapa tahun lalu. Usaha Sadiman menuai hasil setelah beberapa mata air yang bersumber di Gunung Gendol kembali mengalir dan mampu menghidupi sedikitnya 3.000 jiwa. 

Bahkan di saat musim kemarau panjang, ketika wilayah Wonogiri lainnya mengalami kekeringan dan mengandalkan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, desa tempat tinggal Sadiman bebas krisis air. Setidaknya, mata air masih mencukupi kebutuhan minum dan sanitasi.

Di bagian hulu, deretan pipa paralon mengalirkan air dari mata air dan meneruskannya ke bak-bak penampungan di setiap rumah. Penduduk saat ini bisa menikmati air segar pegunungan secara gratis. Mereka cukup menyediakan dana swadaya untuk membuat instalasi pipa. 

Bagi Sadiman, kemerdekaan itu sederhana, yaitu hutan kembali hijau, mata air kembali deras dan mencukupi kebutuhan semua orang, termasuk untuk irigasi ladang.

“Memang belum semua desa bisa teraliri air. Saya ingin lebih banyak penduduk bisa menikmati air bersih,” kata Sadiman.

Kepala Desa Geneng, Tarno, menyebut Sadiman sebagai pribadi yang ikhlas karena tidak pernah berharap imbalan dari pemerintah atau orang lain dalam menghijaukan hutan. Ia mengakui upaya Sadiman telah banyak membantu warga desa menikmati air bersih.

“Dulu orang menimba air dari sumur di tepian sungai, kalau musim kemarau selalu kering,” kata Tarno. 

“Sekarang semuanya lebih mudah, setidaknya cukup air untuk kebutuhan rumah tangga sebagian besar warga desa.” 

Desa Geneng terdiri dari 839 keluarga, lebih dari 600 di antaranya mendapatkan akses air bersih dari mata air di Gendol. Sedangkan di Desa Conto, ada dua dusun yang juga memanfaatkan alirannya. 

Keberhasilan Sadiman memperbaiki hutan kini menimbulkan kesadaran bagi warga setempat tentang pentingnya pohon. Sebagian masyarakat yang dulu abai terhadap penghijauan dan menganggap usaha Sadiman sia-sia, kini mulai ikut peduli terhadap lingkungan. 

“Beberapa dusun mulai kompak ikut mendukung usaha Pak Sadiman karena mereka sudah melihat hasilnya,” kata Tarno.

Mencari bibit pohon

Pekerjaan Sadiman sebagai petani dan pencari rumput untuk ternak memang tidak menjanjikan banyak materi, bahkan mungkin jauh dari cukup. Namun, ia rela mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli bibit pohon beringin, sedikit demi sedikit.

Harga bibit beringin yang berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 cukup mahal baginya. Untuk menyiasati kendala biaya, awalnya ia mencangkok pohon di hutan untuk memperoleh bibit secara gratis. Namun cara ini butuh banyak usaha dan waktu.

Ia kemudian mengembangkan usaha bibit cengkih di halaman rumahnya untuk dijual dan ditukarkan dengan bibit beringin. Sepuluh bibit cengkih bisa ditukar dengan satu bibit beringin ukuran satu meter.

Sadiman menanam dan merawat pohon-pohonnya dengan serius. Ia membeli sendiri pupuk untuk mendukung pertumbungan tanaman, membuat tulisan larangan penebangan pohon di hutan, dan menyiapkan beberapa kader pemuda untuk peduli merawat hutan.

“Saya selalu mengajak anak muda untuk menanam pohon dan melarang menebangnya. Pohon menopang hidup kita, menyediakan air bersih dan menahan erosi dan banjir,” kata Sadiman.

Saat ini, Sadiman masih membutuhkan sekitar 20.000 bibit pohon lagi untuk ia tanam agar hutan lebih hijau, sekaligus meningkatkan debit air sehingga bisa dinikmati lebih banyak penduduk. Ia juga bisa menerima donasi selain bibit pohon beringin, asal berupa tanaman kayu keras yang berakar kuat.

Sadiman sudah mengajukan permintaan bibit ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada bantuan sama sekali. Beberapa kali ia menerima sumbangan dari perseorangan sebagai penghargaannya merawat hutan, tetapi tidak pernah masuk kantong pribadinya.

“Pak Sadiman itu kalau dikasih uang Pak camat, bupati, atau siapa saja, semuanya dibelikan bibit pohon, tak pernah untuk kebutuhan pribadi dia,” ujar Rahmat, warga desa sekaligus tetangga yang mengagumi semangat petani tua itu.

Sadiman mengurus bibit cengkeh yang ia akan digunakannya untuk ditukar dengan bibit pohon beringin. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Pantang menyerah

Pekerjaan Sadiman bukanlah tanpa kesulitan. Tidak semua pohon yang ia tanam tumbuh begitu saja. Banyak yang rusak, mati, atau dipangkas orang untuk makanan kambing, namun ia tak gampang menyerah dan terus menanam bibit baru.

Bahkan ada juga pohon yang dicabut orang yang tidak setuju lahan yang disewa untuk merumput, ditanami pohon oleh Sadiman. Beberapa kali ia terpaksa mengumpulkan uang untuk membayar sewa lahan agar ia bebas menanami pohon.

“Saya bayar sebagai ganti rumputnya agar saya bebas menanami pohon tanpa diganggu,” kata Sadiman.

Dari rumah menuju hutan, Sadiman harus berjalan kaki 3 kilometer karena tak memiliki sepeda, motor, maupun alat transportasi lainnya. Karenanya, ia bisa pulang-pergi ke lereng gunung membawa bibit pohon untuk ditanam dua kali sehari.

Sadiman sadar bahwa penghijauan adalah pekerjaan jangka panjang yang hasilnya baru bisa dinikmati dalam hitungan tahun. Karenanya, menghijaukan hutan tidak hanya butuh kesabaran, melainkan juga usaha yang terus berkesinambungan.

“Penghijauan tidak hanya menanam bibit saja, tetapi juga menjaganya agar tumbuh menjadi pohon besar dan mencegah penebangan,” ujar Sadiman.

Melihat usaha Sadiman yang gigih dalam memulihkan hutan, masyarakat setempat menobatkannya sebagai salah satu tokoh inspiratif lokal di bidang lingkungan. Bupati Wonogiri Danar Rahmanto ingin mengusulkan Sadiman ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerima penghargaan Kalpataru atas pengabdiannya terhadap hutan dan mata air.

“Dulu mata air ini tidak ada, setelah ditanami pohon-pohon besar kembali deras, bahkan saat kemarau,” kata Danar.

Namun, Sadiman tidak terlalu peduli dan berharap penghargaan. Sebab, tujuannya menanam pohon adalah melestarikan hutan dan mata airnya untuk kehidupan masyarakat, bukan mencari popularitas.

Justru yang ia harapkan saat ini adalah bibit pohon baru siap tanam. Tertarik membantu? — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!