Membaca tragedi Mei 1998 dalam puisi

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Membaca tragedi Mei 1998 dalam puisi
Petikan puisi-puisi dalam antologi 'Merawat Ingatan Rahim: Puisi Tragedi Mei 1998'

 

SOLO, Indonesia – Penggalan puisi berjudul Mei karya Joko “Jokpin” Pinurbo di bawah ini mengingatkan kembali potongan sejarah kelam negeri ini ketika ribuan orang tak berdosa menjadi korban kerusuhan menjelang jatuhnya penguasa Orde Baru. 

Mei, seperti nama seorang gadis Tionghoa yang tewas, adalah bulan penuh kekerasan – penembakan, penculikan, perkosaan, penjarahan, dan pembakaran. Mei adalah tragedi.

Jokpin mengabadikan ingatannya tentang peristiwa kekejian manusia Indonesia terhadap saudara sebangsanya, etnis Tionghoa, ke dalam bait-bait puisi sebagai obat amnesia. Sastrawan peraih Sastra Khatulistiwa itu, bersama 34 penyair lainnya, menyumbangkan karya mereka ke dalam buku Merawat Ingatan Rahim: Puisi Tragedi Mei 1998.

 

…Kau sudah selesai mandi, Mei

Kau sudah mandi api

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

Ketika tubuhmu hancur

Dan lebur dengan tubuh bumi

Ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

Nama dan warna kulitmu, Mei

(Mei, Joko Pinurbo, 2000)

Buku yang diterbitkan dan dicetak terbatas oleh Jejer Wadon – kelompok aktivis di Solo yang punya perhatian pada isu perempuan – dan Komnas Perempuan itu terdiri dari 64 karya. Lima di antaranya adalah puisi karya Wiji Thukul, penyair pelo dan aktivis buruh yang lantang berjuang lewat kata-kata, yang kemudian hilang menjelang demonstrasi mahasiswa besar-besaran menggulingkan Soeharto.

Seperti halnya Wiji Thukul yang menggunakan kata-kata sebagai senjata melawan tiran “momok hiyong”, para sastrawan yang terlibat dalam penyusunan antologi ini menggunakan puisinya sebagai pengingat peristiwa sekaligus penggugat negara yang selama ini dianggap abai dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) – yang semestinya tak boleh ada impunitas.

Dalam peringatan 18 tahun Tragedi Mei 1998 di Solo, kota yang pernah membara selama tiga hari 14-16 Mei 1998, puisi itu dibacakan kembali oleh para aktivis Jejer Wadon dan mahasiswa di kota Bengawan, Minggu, 22 Mei, di Jalan Slamet Riyadi, persis di samping sebuah supermarket lokal yang dulu dibakar dan dijarah massa.

“Kami ingin mengingat dengan sastra, lewat buku puisi ini, karena itu yang bisa kami lakukan,” ujar Fanny Chotimah, editor buletin Sastra Pawon dan kurator antologi puisi Merawat Ingatan Rahim.

Kasus pelanggaran HAM dalam kerusuhans Mei 1998, terutama menyangkut pemerkosaan massal, sampai saat ini masih gelap. Bahkan, negara belum sepenuhnya mengakui peristiwa itu terjadi. Sementara, kasus pemerkosaan dan pencabulan terus berulang di berbagai wilayah hari ini, yang membuat Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual.

“Puisi-puisi ini tetap relevan, apalagi kami ingin berpartisipasi ikut mendorong agar undang-undang anti kekerasan seksual segera disahkan,” kata Fanny.

Syair-syair kepedihan

Selain Jokpin, sederet nama lain ikut mengisi buku puisi ini, antara lain penyair dan cerpenis Afrizal Malna, Beni Setia, Cecep Syamsul Hari, Kurnia Effendi, rohaniawan Mudji Sutrisno, feminis Soe Tjen Marching, dan beberapa sastrawan muda dari komunitas Sastra Pawon.

Puisi Afrizal Malna berjudul Mayat Politik Ditutupi Koran Pagi yang ditulis pada 1998, bercerita tentang carut marut kehidupan sosial-politik reformasi, seperti penculikan, pemerkosaan, kerusuhan, dan pembakaran di mana-mana – rakyat menjadi tumbal kekuasaan.

Ia juga mengisahkan Wiji Thukul, seorang buruh pelitur kayu yang berjuang menumbangkan penguasa lewat puisi dengan kata-kata yang lantang: lawan!

…Antara stasiun Gambir dan Solo Balapan

Mencari penggaris untuk mengukur perlawanan

Potongan tiket kereta dan bau keringat dari perut yang kosong

Sebuah puisi antara revolusi dan masuk angin

Tas ransel mulai penuh bayangan:

Penyair dari gudang-gudang penindasan…

(Box Wiji Thukul, Afrizal Malna, 2013)

Sementara Kurnia Effendi dan Mudji Sutrsino mempersembahkan puisinya bagi para korban aktivis mahasiswa yang gugur dalam demonstrasi diterjang peluru-peluru tentara, aktivis yang diculik dan dihabisi tanpa jejak. Mereka adalah martir bagi perubahan yang nyawanya direnggut oleh penguasa yang pongah, dan tidak pernah memperoleh keadilan.

Beberapa sastrawan muda lainnya menyoroti relasi sosial pribumi-Tionghoa pada tahun-tahun awal reformasi. Etnis Tionghoa menjadi “bersalah” dan menanggung derita di Indonesia karena bermata sipit dan berkulit cerah. 

…Bahkan ketika aku makan dengan sendok peraturanmu

Dan minum dengan gelas undang-undangmu

Kemarahanmu tetap berarti pengampunanku

~

Lalu suatu ketika, aku tak berhak mengaku pribumi

Hingga retak aku, patah aku, pecah aku, di bulan Mei itu

Aku masih mencium bendera dua warna itu

Merah dan Putih, warna kemarahanmu yang berarti pengampunanku

(Gugat Riwayat Kawan Cinaku, Indah Darmastuti, 2013)

Etnis yang menghargai kerja keras dan ulet berdagang, selalu dianggap biang kerok mahalnya harga kebutuhan dan menanggung derita kerusuhan. Namun, sebagai kelompok minoritas, mereka dianggap warga kelas dua dan dituntut untuk selalu memaafkan. 

…Kapan terjadinya peristiwa itu

Aku ingin merunuti mula terjadinya aku

~

Lalu apa sesungguhnya kesalahan ibu 

Barangkali ibu berkulit putih dan bermata sipit

Konon itulah penyebab awal keadaan jadi sulit

Hingga rakyat-rakyat kecil terlilit dan terbelit

Oleh pelukan kemiskinan yang menghimpit

(Percakapan Usai Tragedi, Lasinta Ari Nendra, 2013)

Puisi-puisi dalam buku ini menggunakan kata-kata lugas dalam menggambarkan penderitaan, luka, dan amarah. Peristiwa kekerasan seksual dan pemerkosaan massal di sudut-sudut kota Solo tergambar jelas dalam bait-bait yang menuturkan kepedihan mendalam. 

Begitu juga cerita nasib korban yang masih hidup, mereka menanggung luka dan trauma. Darah dan air mata menjadi noda dalam sejarah kelam reformasi. Tetapi, banyak yang lupa bahwa reformasi bukan hanya soal krisis ekonomi dan suksesi. 

Seketika detik terhenti di sebuah angkot kota

Memuntahkan satu pasang kepala manusia

Masih berbusana, mata sipit, dan bernyawa

Lengkap dengan dada dan paras cantik sang dara

Mereka wanita!

Seketika berlumur keringat pria di sekitarnya

Goresan cakaran kuku di rusuk dada begitu nyata

Menghirup darah celah selangkangan kakinya

Menjadi akhir dari sehelai kain yang terbang bermula

Mencuat satu per satu tegas, tergerai ke angkasa…

(Lembar Usang Nota Wanita, Kinanthi Anggraini, 2013)

Penjarahan  terjadi hampir di seluruh toko milik etnis Tionghoa selama medio Mei. Aparat tak berkutik saat seluruh penjuru kota dijarah bersama-sama. Setelah itu, toko dibakar. Sejumlah orang yang terjebak di dalamnya meregang nyawa. Semerbak bau gosong kulit dan daging manusia tercium di jalan-jalan Kota Solo. 

Perempuan-perempuan tanpa kebaya

Telanjang kehilangan muka

Kelaminnya diperkosa

Dalam perjamuan angkara

Tubuhnya lilin pucat kesumba

Menggigil di kolong langit senja

Meratapi nasib hidup yang luka

Tersedu tanpa isak kata-kata

(Narasi Memorabilia 598, Wijang Wharek AM, 2013)

Barang jarahan adalah impian bagi setiap orang, karena inflasi tinggi semasa krisis moneter membuat mereka tak mampu beli. Apalagi barang impor, mahalnya tak ketulungan. Rupiah terus melemah terhadap dolar hingga tujuh kalinya. 

…Teriakan dan jerit kepiluan langkah kecil yang dirubuhkan

Gadis-gadis berlampion dalam gaun-gaun bersobekan

Berlarian dalam kelam

~

Membawa kegetiran dan dendam yang tak terhapuskan

Ketika yang paling suci direnggutkan atas nama perjuangan

Betapa anyir air mata mengenangnya!

(Mengenang Anyir Air Mata, Nurni Chaniago) 

Orang-orang Tionghoa pemilik toko ketakutan, menutup rapat pintu-pintunya, dan mengecat dinding luarnya dengan kata-kata “Pribumi Asli” untuk menghindari amuk massa. Sebagian menitipkan barang-barang paling berharganya di rumah saudara atau teman yang dipercaya. 

Sebotol shampo di balik kaca

Depan rumahku

Selalu membuatku penasaran

Ingin sekali kuhirup aromanya

 

Kata si Ling, wanginya tak ada yang menandingi

Entahlah, orang tuaku tak pernah membelikannya

Mungkin esok pagi, akan kubeli shampo itu

 

Pagi ini, ya, seharusnya ini masih pagi

Tapi gulita membuatku sangsi

Itik-itikku kembali ke kandang, menambah keyakinanku

 

Asap-asap tebal membumbung tinggi

Orang-orang berhamburan keluar

Kulihat mereka memecah kaca toko Tan Tjik Ling

 

Kaki kecilku reflek berlari

Tak ada yang boleh mengambil shampo si Ling

Kubawa shampo itu ke rumah

Ayahku marah

 

“Kembalikan, barang jarahan tak boleh masuk rumah ini”

Tapi aku terlalu takut keluar, mereka semakin brutal

Membakar apapun dan sibuk berteriak “Hidup Pribumi!”

(Sebotol Shampo, Impian Nopitasari)

Feminis Jejer Wadon dan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum, menjelaskan latar belakang buku puisi yang mengambil judul Merawat Ingatan Rahim. Ia menyebut sastra dipilih menjadi media untuk menyadarkan ingatan publik tentang tragedi Mei.  

…Koran-koran pun ikut membakar kedamaian pagi

Hari itu

Hari yang ditunggu tiba

Soeharto lengser

Wajah ayahku sumringah

Matanya nanar

Akan kebahagiaan dan rasa haru

Terbebas kekejaman Orde Baru

~

Berbeda dengan perempuan muda itu

Yang lahir dalam masa Repelita ketiga

Baginya reformasi ialah

Jam tangan warna pink

Merek G-Shock Casio

Made in Thailand

Hadiah dari seorang residivis

(Aku Ketika Mei Sembilan Delapan, Fanny Chotimah, 2013)

Menulis puisi adalah merawat ingatan atas pelecehan, penyiksaan, penganiayaan, kebrutalan, dan kepedihan. Puisi yang ditulis dengan empati akan menghantarkan pelajaran seni, sastra, dan sejarah yang penting bagi Indonesia, mendidik generasi mendatang. Karena, perkosaan tak akan pernah bisa dibenarkan atas nama apapun.

…Ayahku baru pulang dari pasar

Membeli dempul sebagai cat dasar

Di atas caping untuk dibawa ke pasar

~

Lihat,

Toko Cina dibakar

Toko Cina dijarah

Ini sedang reformasi

Semua toko dicat Pribumi

Untung toko cat masih sepi

Ayahku bisa membeli dengan ngeri…

(Reformasi, Ngadiyo)

“Rahim perempuan adalah lokasi tempat merawat peradaban. Ketika perempuan diperkosa, rahimnya mencatat pedihnya, ketika perempuan dianiaya, rahimnya mendokumentasi, menyimpan sekaligus merawat lara,” kata Dewi.

…Sinar matamu menghidupkan mayat berpembuluh

Di parasmu tampak ukiran-ukiran bibit lelaki ke sepuluh

Yang membuatku kembali merasakan guguran peluh

Hingga aku tak sanggup berdiri dan hanya bersimpuh

Tak kuasa menolak dan berbuat banyak, aku lumpuh!

~

Sementara saat membedaki lehermu sore ini

Seolah tanganku bergerak mencekik sendiri

Saat menyisiri rambutmu yang wangi

Serasa ingin kujambak dan segera kupangkasi…

(Suamiku Tragedi Mei, Kinanthi Anggraini, 2013)

“Puisi adalah rahim di mana ingatan tragedi Mei 1998 dirawat, ingatan yang pedih, yang perih, yang tak boleh terulang di masa akan datang,” lanjut Dewi.

Negara yang abai terhadap sejarah, kata dia, akan melahirkan generasi-genarasi yang abai pula. Karenanya, para aktivis terus mendorong pemerintah untuk mengakui tragedi Mei 1998.  

Sayangnya, Solo masih tertinggal jauh dari Jakarta soal respon pemerintah daerah terhadap para korban dan keluarganya yang menuntut pengakuan. Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama membangun situs memorial Pondok Rangon sebagai bentuk pengakuan negara dan pengingat tragedi Mei 1998. Sebaliknya, Pemerintah Kota Solo belum menunjukkan itikadnya untuk mewujudkan prasasti serupa.

Beberapa tahun lalu, sejumlah pihak sudah mengusulkan desainnya, di antaranya adalah patung berupa jarik, kain batik perempuan, yang terbakar. Tetapi, rencana ini kandas, karena Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo, yang menginginkan nama dan alamat ditulis dalam prasasti, selalu berdalih tak punya data.

Namun, para aktivis perempuan justru mengatakan sebaliknya, soal data korban kekerasan dan pelanggaran HAM adalah sepenuhnya tanggung jawab negara – pemerintah yang berkuasa yang harus mencari dan mengusutnya. Karena, dalam konstitusi, melindungi segenap bangsa adalah kewajiban utama negara. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!