Merayakan keberagaman di sekolah multikultural Bakti Karya Parigi

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merayakan keberagaman di sekolah multikultural Bakti Karya Parigi
SMK di Pangandaran ini mengajarkan 60 materi multikulturalisme dalam kurikulumnya

BANDUNG, Indonesia. — Di saat semua orang ramai menggaungkan kembali semboyan Bhineka Tunggal Ika, jauh di pelosok Pangandaran, Jawa Barat, sebuah sekolah telah mengamalkannya, tanpa banyak bicara.

Sekolah itu bernama SMK Bakti Karya Parigi yang terletak di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Sejak tiga bulan lalu, sekolah menengah kejuruan di bidang multimedia tersebut telah menerapkan sebuah konsep pendidikan yang mengedepankan keberagaman.

Murid-muridnya berasal dari beragam suku, agama, dan ras yang datang dari berbagai pulau di Indonesia. Mereka berkumpul dan mempraktikan langsung apa yang menjadi makna Bhineka Tunggal Ika, atau “Berbeda-beda tapi tetap satu”.

Salah satu muridnya bernama Ismail Rumaru. Ia datang dari Ambon, Maluku, daerah yang pernah mengalami konflik antaragama. Ismail melihat betul bagaimana perbedaan agama bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Bocah 14 tahun itu pun sempat memendam marah dan benci terhadap umat Kristiani.

“Aku sempat marah. Yang aku rasakan waktu itu, cuma karena masalah sepele dibesar-besarkan sampai bawa agama,” ujarnya ketika ditemui Rappler di SMK Bakti Karya Parigi, pada sebuah akhir pekan, Desember lalu.

Di awal sekolah, Ismail merasa kesulitan bergaul dengan teman yang berbeda latar belakang suku dan agama. Apalagi pengalaman konflik agama yang dialaminya membuat bungsu dari lima bersaudara itu membuat jarak dengan temannya yang Kristiani. Tapi lambat laun, Ismail mulai mengenal dan menyadari bahwa teman-temannya yang berbeda keyakinan ternyata tidak seburuk yang disangka.

“Ternyata asyik juga berteman dengan mereka,” ucap bocah yang bercita-cita menjadi wartawan ini.

Kekerasan dengan latar belakang perbedaan juga dialami Maria Magdalena Hingi Hera. Siswi berusia 16 tahun ini datang dari Larantuka, Flores, yang kerap terjadi kerusuhan antarkampung. Awalnya Maria ragu bersekolah di SMK Bakti Karya. Namun setalah tahu sekolah yang dituju berkonsep keberagaman, keraguan pun hilang. 

“Di sini bisa belajar banyak hal, tentang perdamaian, tentang saling menghargai. Sedangkan di kampungku, banyak tawuran antarkampung,” ungkap Maria.

Bagi Anisa Ul Amanah, melanjutkan pendidikan di SMK Bakti Karya seperti membuka dunia baru. Remaja putri asal Palembang, Sumatera Selatan, yang lahir dan tumbuh di lingkungan yang homogen ini, mulai berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda. Kesempatan itu menghilangkan prasangka buruknya terhadap orang yang berbeda agama.

“Dulu saya menganggap kalau orang-orang non-Muslim itu kaya gimana gitu. Tapi sekarang jadi beda. Enak bisa berteman dengan teman-teman yang beda agama dan suku. Tadinya takut terpengaruh keyakinannya, ternyata enggak,” ujar gadis 17 tahun itu.

Ismali, Maria, dan Anisa, hanya tiga dari 42 murid SMK Bakti Karya yang sedang menjalani program multikultural.  Selain mereka, ada siswa yang datang dari Aceh, Kalimantan Utara, dan Jawa Barat.  Mereka dikumpulkan untuk saling mengenal dan menghilangkan sekat perbedaan.

Perjalanan masih panjang

Saling mengenal menjadi materi pembelajaran pertama yang diberikan kepada para siswa di sekolah multikultural itu.  Seperti kata pepatah Tak Kenal Maka Tak Sayang, perkenalan bisa menghilangkan semua prasangka buruk dan menghadirkan pertemanan. 

“Kita yakin semakin beragam seseorang, semakin dia mengenal yang lain, mengenali perbedaan, lalu memahami perbedaan dan kemudian menghargai ketika ada orang yang berbeda dengan dirinya,” kata Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat.

“Dulu saya menganggap kalau orang-orang non-Muslim itu kaya gimana gitu. Tapi sekarang beda. Tadinya takut terpengaruh keyakinannya, ternyata enggak.”

Tapi untuk saling mengenal saja, menurut Ai tidak mudah. Di awal pembelajaran, siswa masih berkumpul berdasarkan daerah asal mereka. Kondisi itu disiasati oleh para guru dengan mengelompokkan mereka secara acak dalam sebuah permainan. Strategi itu berhasil.

“Contohnya Ismail, awalnya dia main berdua saja sama Sahrul, yang sama-sama berasal dari Ambon, tapi sekarang dia sudah bermain sama siapa saja,” kata Ai.

Tapi perjalanan menuju tujuan yang diharapkan masih panjang. Program multikultural ini sendiri baru diterapkan Juli 2016. Masih ada beberapa prasyarat yang harus dilalui untuk sampai pada sikap menghargai perbedaan. Prasyarat yang harus dilalui adalah pengenalan, rasa percaya diri, dan aktualisasi diri.

Mengenai kurikulum, lanjut Ai, pihaknya tetap menggunakan kurikulum nasional ditambah dengan 60 materi pokok tentang multikulturalisme. Materi itu mengacu pada 5 konsep dasar, yakni; penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, semangat berbudaya, dan semangat pembelajaran aktif.

“Kami sedang MoU [Memorandum of Understanding] dengan Universitas Atma Jaya yang akan menyusun dan mengevaluasi materi tersebut untuk diimplementasikan,” kata Ai.

Datangkan lebih banyak siswa di 2017

Kepala sekolah SMK Bakti Karya Parigi, Irpan Ilmi menuturkan, ke-60 materi multikulturalisme tidak menjadi pelajaran terpisah tapi masuk dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada. Irpan berharap, menghargai keberagaman tidak lagi sebatas teori, tapi telah menjadi sikap hidup anak didiknya.  

Karena itu, kehadiran siswa-siswi dari berbagai latar belakang suku, agama, dan ras ditujukan agar teori tentang keberagamanan bisa langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.   

“Untuk merayakan perbedaan dan merumuskan perbedaan itu bukan hal yang sebatas teori, tapi bisa diwujudkan.  Dan ketika ada satu konflik, setiap individu tidak menjadi problem maker, tetapi problem solver,” kata Irpan.

Penggagas sekolah multikultural SMK Bakti Karya Parigi, Ai Nurhidayat (tiga dari kanan bawah) bersama siswa-siswi yang berbeda latar belakang suku, agama, dan ras. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Rencananya, siswa dengan latar belakang berbeda akan kembali didatangkan dari 10 provinsi di 2017. Sehingga komposisi siswa di SMK Bakti Karya Parigi akan semakin beragam. Perekrutan calon siswa akan melibatkan para relawan di media sosial, seperti yang dilakukan pada angkatan sebelumnya. 

Namun Ai menegaskan, keberagaman yang dimaksud, bukan hanya sebatas perspektif SARA, tapi juga sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Siswa miskin maupun kaya, kata Ai, akan diterima dengan tangan terbuka dan sama-sama mendapatkan fasilitas gratis. 

Siswa yang berhasil direkrut akan mendapatkan pendidikan dan akomodasi gratis selama bersekolah. Dana berasal dari pada donator yang dikumpulkan secara online dari berbagai tempat. Saat ini sudah ada 67 orang kakak asuh yang rutin mendonasikan uangnya sebesar Rp50 ribu hingga Rp500 ribu untuk membiayai kebutuhan siswa sebesar Rp500 ribu perbulannya.

“Semua siswa itu miskin, yang kaya itu orang tuanya. Kalau ada yang bayar, ada yang enggak, kan diskriminatif. Masa di satu sisi kita meletakkan bagaimana caranya kita equal, tapi di sisi lain diskriminatif. Bahkan, seleksi pun diskriminatif,” ujar Ai sambil menyebutkan tidak ada seleksi di SMK Bakti Karya.

Hanya 10% warga Pangandaran yang mengecap keberagaman

Program multikultural di SMK Bakti Karya Parigi digagas oleh sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas Sabalad. Mereka prihatin dengan kondisi di daerahnya yang masih hidup dalam keterkungkungan. Ai menyebutkan, hanya 10 persen warga Pangandaran yang mengecap bangku kuliah di luar daerah, sementara sebanyak 85 persen tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan sisanya kuliah di daerah pinggiran. 

“Artinya, yang merasakan lintas agama, lintas budaya, lintas suku hanya 10 persen, sementara 85 persennya tidak merasakan itu. Dia tinggal di kampung-kampung dengan keterkungkungannya,” kata Ai yang ikut menggagas program multikultural.

“Dulu di sini, yang lewat Katolik atau Kristen atau Hindu saja jarang ada, sekarang tiba-tiba tinggal di sebuah kampung  yang agamanya berbeda. Dan ini menimbulkan reaksi yang cukup keras.”

Kondisi itulah yang menurut Ai menyebabkan masyarakat yang antiperbedaan dan takut terhadap perbedaan. Sikap tersebut sempat diterima Ai dan kawan-kawan saat membuka kelas multikultural. Warga setempat yang mayoritas Muslim itu sempat menolak kedatangan siswa-siswi dari luar daerah tersebut, terutama siswa dengan latar belakang agama yang berbeda. 

“Dulu di sini, yang lewat Katolik atau Kristen atau Hindu saja jarang ada, sekarang tiba-tiba tinggal di sebuah kampung  yang agamanya berbeda. Dan ini menimbulkan reaksi yang cukup keras,” ungkap Ai.

Namun momen hari kemerdekaan menjadi salah satu penyelamat. Siswa-siswi kelas multikultural dilibatkan dalam kegiatan Agustusan sehingga mereka dikenal oleh warga setempat. Sekat perbedaan pun terbuka.

“Ada pertandingan main bola, anak-anak dari Ambon, Flores, ikut main, orang enggak tau lah yang penting mainnya bagus, jadi banyak pendukungnya. Upacara Agustusan, timnya teman-teman yang luar pulau.  Jadi masyarakat juga merasa memiliki,” ujar pemuda 27 tahun itu.

Mengenalkan siswa dari berbagai daerah itu menjadi tugas yang diemban pihak SMK Bakti Karya Parigi.  Karena menurutnya, masyarakatlah yang akan menjadi pelindung siswa-siswi luar pulau itu untuk belajar dan berinteraksi sambil mengenalkan budaya setempat.

Selain momen Agustusan, siswa-siswi kelas multikultural juga diperkenalkan ke murid-murid sekolah dasar. Siswa-siswi dari luar pulau itu datang ke sekolah dasar sambil mengkampanyekan gerakan membaca.

“Sebetulnya tujuannya untuk mengenalkan mereka. Eh, ini berbeda lho dan kalau berbeda pun enggak masalah, asyik kok. Responsnya juga luar biasa. Orang-orang di SD kan kaget lihat orang Flores. Sampai dikerumunin minta foto bareng, kaya orang asing.  Padahal sebangsa,” tutur Ai.

Diapresiasi akademisi

Program multikultural di SMK Bakti Karya Parigi mendapat acungan jempol dari para akademisi. Salah satunya Wakil Rektor I Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Juliana Murniati. Dekan Fakultas Psikologi ini menilai SMK Bakti Karya Parigi memberikan ruang yang sangat besar bagi keberagaman. Dengan konsep tersebut, sekolah hasil swadaya masyarakat ini telah merespon apa yang menjadi persoalan bangsa saat ini

“Sekolah dengan konsep seperti ini harus diperkuat dan dilipatgandakan di tempat lain, karena persis sekarang ini persoalan negara kita terkait soal keberagaman,” ujar Murni saat mengunjungi SMK Bakti Karya. 

Menurut Murni, SMK Bakti Karya Parigi tidak hanya mengajarkan teori tapi juga praktik tentang keberagaman dengan mempertemukan orang-orang yang berbeda. Sekolah ini, lanjut Murni, sudah pada jalur yang tepat untuk merespons persoalan bangsa.

“Apa yang dilakukan sekolah ini konkret berkontribusi pada anak-anak bangsa, bukan pada hari ini saja, tapi untuk sekian tahun yang akan datang,” kata Murni. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!