Bayi tabung untuk pasangan HIV, kenapa tidak?

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bayi tabung untuk pasangan HIV, kenapa tidak?
‘Andaikan saja cairan spermatozoa adalah ikan, sedangkan cairan ejakulan adalah airnya. Meski airnya terinfeksi oleh HIV, namun belum tentu ikannya ikut terinfeksi juga’

 

SURABAYA, Indonesia — Kebahagiaan pasangan suami-istri kurang lengkap rasanya tanpa kehadiran anak. Namun bagi pasangan dengan HIV atau AIDS, mereka harus berpikir panjang untuk memutuskan mempunyai anak. Karena jika tidak direncanakan secara matang, maka ada kemungkinan, si mungil akan dilahirkan akan terinfeksi HIV juga.

Saat ini memang ada program yang dijalankan bagi pasangan dengan HIV yang ingin memiliki anak yang sehat dan tidak terinfeksi HIV. Program ini sering disebut sebagai program Preventing Mother to Child Transmission (PMTCT). Tapi sayang, program ini belum bisa menjamin anak yang akan dilahirkan akan negatif dari HIV.

Kegelisahan itu pula yang saat ini sedang dialami oleh pasangan Lita dengan suaminya, Basri. Pasangan dengan HIV ini sudah berumah tangga sekitar lima tahun lalu. Dari hasil perkawinan ini, Basri dengan Lita sebenarnya sudah dikarunai seorang anak laki-laki.

Namun bagi Basri, kurang lengkap rasanya keceriaan di rumah apabila tanpa kehadiran anak perempuan. Basri pun sempat terpikir agar mereka berdua kembali menjalani program PMTCT untuk merencanakan kehamilan yang kedua.

Menjalani program PMTCT sebenarnya bukan hal yang baru bagi Basri dan Lita. Karena pada saat merencanakan kehamilan anaknya yang pertama, Lita dan Basri pun menjalani PMCTCT di Rumah Sakit Soedarso, Pontianak, pada 2008 lalu. 

Saat menikah salah satu dari mereka sudah divonis dokter terinfeksi virus HIV. Mereka mengaku bersyukur karena anak pertama mereka dinyatakan negatif, karena saat akan merencanakan kehamilan anaknya yang pertama, Lita dan Basri menjalani program PMTCT.

Meski sudah dinyatakan negatif HIV saat dilahirkan, namun selama lima tahun anak pertama Lita dan Basri terus dipantau. Hasilnya hingga kini tetap negatif.  Meski punya cerita sukses menjalani PMTCT, Lita dan Basri masih bimbang untuk jalani program PMTCT yang kedua kalinya.

“Meski pernah berhasil, tapi masih pikir-pikir dulu untuk kembali jalani PMTCT lagi. Karena pada kehamilan sebelumnya, ada 19 pasangan lainnya yang jalani program PMTCT juga. Tapi ternyata 11 di antara bayi yang dilahirkan dinyatakan positif HIV. Ini yang membuat saya bimbang,” ujar Lita.

Universitas Airlangga kembangkan program bayi tabung

Namun kebimbangan yang dialami Lita ini tampaknya sebentar lagi akan pudar. Saat ini, Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya tengah mengembangkan program bayi tabung bagi penderita HIV. Program bayi tabung bagi pasangan HIV diklaim sebagai pelopor bayi tabung untuk penderita HIV yang pertama di Indonesia.

Dr Dyan Pramesti, salah seorang peneliti dari ITD, menyatakan jika program bayi tabung untuk penderita HIV adalah salah satu jawaban bagi penderita HIV yang menginginkan mempunyai keturunan yang sehat, tidak terinfeksi HIV.

”Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan kita saat ini, sebenarnya kita bisa mengakomodasi keinginan para penderita HIV untuk memiliki anak kandung yang sehat”

Latar belakang program ini, kata Dyan, berawal dari kegelisahan pasangan suami-istri dengan HIV. Kata dia, sejak ditemukannya antiretroviral (ARV), kualitas hidup orang dengan HIV menjadi semakin membaik. Dari kualitas hidup semakin baik ini, para pasangan suami-istri dengan HIV kemudian bertanya apakah kini memungkinkan bagi mereka untuk mempunyai keturunan dengan cara mengandung?

“Kita melihat ternyata bisa, kok. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan kita saat ini, sebenarnya kita bisa mengakomodasi keinginan para penderita HIV untuk memiliki anak kandung yang sehat,” kata Dyan.

Selain itu, program bayi tabung untuk penderita HIV ini menjadi alternatif pilihan, karena hingga kini masih jarang fertilitas di Indonesia yang mau menerima penderita HIV. Sehingga, bagi pengidap HIV yang akan menjalani program bayi tabung, biasanya kesulitan menjalani program.

“Klinik fertilitas umum, pasangan suami istri akan jalani screening terlebih dahulu. Jika terindikasi HIV, biasanya mereka menolak,” kata Dyan.

Sedangkan di ITD, tak serta merta mereka akan ditolak. Karena pada dasarnya program bayi tabung untuk pasangan dengan HIV sangat memungkinkan. Namun, untuk sementara yang menjadi prioritas ITD saat ini adalah pasangan yang hanya salah satu yang mengidap HIV yaitu suaminya saja, sedangkan istrinya negatif HIV.

Karena menurut Dyan, kalau yang mengidap adalah suami, maka akan lebih mudah manajemen penanganan virusnya. Karena pada dasarnya, sperma terdiri dari cairan dan sel-sel, yang di dalamnya terdapat spermatozoa atau sel benih. “Yang mengandung virus adalah cairan ejakulannya,” ujar Dyan.

Sebagai gambaran, kata Dyan, “Kita andaikan saja cairan spermatozoa adalah ikan, sedangkan cairan ejakulan adalah airnya. Meski airnya terinfeksi oleh HIV namun belum tentu ikannya ikut terinfeksi juga”. Begitu juga dengan spermatozoa dengan cairan sperma pada penderita HIV.

Namun meski diyakini jika virus HIV itu terdapat cairan sperma dan bukan pada spermatozoa atau sel benih, namun ada pula penelitian yang menyatakan jika virus HIV itu sebenarnya juga menginfeksi spermatozoanya.  

“Namun itu penelitian yang perlu didalami lebih lanjut dan kita juga akan melakukan penelitian yang sama,” kata Dyan.

Jika pasien ini mengikuti Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB), maka sperma itu dalam bahasa mudahnya akan “dicuci” dari virus HIV. Cairannya tidak akan dipakai, dokter hanya akan menggunakan spermatozoanya saja, karena yang terinfeksi itu adalah cairannya saja.

Dari sperma yang telah “dicuci” tadi kemudian akan diobservasi kualitas spermanya. Hasil observasi ini yang akan menentukan pasien HIV akan ditolong dengan metode apa agar istri bisa hamil. Karena pada prinsipnya dalam Teknologi Reproduksi Berbantu ada tingkatannya, tergantung pada kondisi pasien.

Jika misalnya kualitas spermatozoa bagus dan jumlahnya cukup banyak —meskipun masih di bawah normal— istri juga tak terlalu banyak faktor penyulit, biasanya dokter akan menggunakan iseminasi buatan.  

“Sperma yang telah dicuci dari virus HIV tadi akan di-preparasi, sedangkan istrinya akan disiapkan juga dengan obatan-obatan yang mengandung hormon supaya sel telurnya matang lebih dari satu,” kata Dyan.

Kemudian sperma yang telah sehat tadi dimasukkan langsung ke dalam rahim istri dengan bantuan dokter. Dalam inseminasi buatan ini intinya adalah mendekatkan jarak spermatozoa dengan sel telur sasaran. Berbeda dengan hubungan seksual alami, di mana spermatozoa itu tidak dikeluarkan di rahim namun dikeluarkan depan leher rahim. Spermatozoa harus berenang untuk dapat bertemu dengan sel telur.

Selain inseminasi buatan ada pula teknik bayi tabung. Teknik bayi tabung ini dilakukan jika kualitas spermanya jelek, misalnya di bawah 10juta per cc. Jika kondisinya seperti ini, dokter biasanya akan menggunakan teknologi bayi tabung. 

Dalam proses bayi tabung ini, proses pembuahannya dilakukan di luar organ reproduksi istri. Sel telur dan sel spermatozoa yang telah disiapkan, kemudian dipertemukan dalam cawan petri. “Jadi, hingga dalam tahap pembuahan, sudah dibantu oleh dokter,” kata Dyan.

Ada pula level yang lebih tinggi lagi, yaitu intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Dalam metode ini, yang membedakan tak perlu sel sperma yang banyak. Cukup satu sel sperma yang diinjeksikan dalam sel telur. Kalau misalnya istri hasilnya hanya ada delapan sel telur yang siap untuk dibuahi, maka dokter hanya perlu delapan spermatozoa saja.

Syarat lain sebelum menjalani proses bayi tabung bagi bagi pasangan dengan HIV adalah jumlah virusnya tak boleh lebih 40 kopi per militer darah. Kemudian konsentrasi  CD 4 harus di atas 400. 

“Jadi sebelum melakukan teknologi bayi tabung ini kita akan melakukan screening dulu,” ujar Dyan.

Lalu bagaimana dengan pasangan yang istrinya juga mengidap HIV? Menurut Dyan, untuk kasus yang semacam ini diakui lebih rumit dibandingkan jika hanya suaminya saja yang mengidap HIV.

Karena dalam beberapa penelitian menyebutkan jika ternyata selain virus HIV mempengaruhi kualitas sel telur, obat-obatan ARV yang wajib dikonsumsi oleh penderita HIV ternyata juga mempunyai dampak negatif terhadap sel telur. Namun meski dianggap lebih rumit, namun Dyan optimis jika hal itu bisa diatasi dengan penelitian lebih lanjut. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!