5 puisi Wiji Thukul yang masih relevan hingga sekarang

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 puisi Wiji Thukul yang masih relevan hingga sekarang
Film tentang Wiji Thukul, ‘Istirahatlah Kata-Kata’, mulai tayang di bioskop 19 Januari 2017

JAKARTA, Indonesia — Sulit untuk memilah hanya 5 dari ratusan puisi karya penyair Wiji Thukul. Aktivis buruh ini telah menciptakan ratusan sajak yang bertemakan tentang kerakyatan.

Dalam puisi-puisinya, ia mengupas kehidupan rakyat kecil yang hidup di bawah kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru. Rasa-rasa pahit kemiskinan dan penderitaan terasa begitu pilu terurai melalui untaian kata yang Wiji tulis.

Ia berbicara dengan bahasa sederhana, yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang awam sekalipun yang bahkan belum pernah berkenalan dengan puisi. Ia bernyali dan jujur dalam mengungkapkan apa yang ia lihat, dengar, ucapkan, dan rasakan.

“Hanya ada satu kata: Lawan!” mungkin menjadi penggalan kalimat yang paling terkenal dari karya Wiji dan sering digunakan oleh kaum buruh dan kelompok marjinal saat menyuarakan aspirasi mereka. 

Wiji, seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh subversif oleh pemerintah Orde Baru, hinggap dari satu tempat ke tempat lain, pada masa-masa awal sebelum Reformasi. Ia meninggalkan istrinya, Sipon, beserta kedua anaknya yang masih kecil, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. 

Kisah pelarian dan persembunyiannya dari cengkeraman militer ditayangkan melalui film berjudul Istirahatlah Kata-Kata (yang judulnya diambil dari salah satu karya Wiji). Film besutan sutradara muda Yosep Anggi Noen ini mulai ditayangkan di sejumlah kota di Indonesia mulai hari ini, Kamis, 19 Januari.

Kepada Rappler ia mengatakan, film ini adalah sebagai pengingat utang negara. Bahwa masih ada sejumlah warga negara Indonesia yang belum kembali sejak jatuhnya Orde Baru belasan tahun silam. Bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan kasus yang belum selesai ini.

Menyambut rilisnya film Istirahatlah Kata-Kata, Rappler kemudian menyortir 5 puisi Wiji Thukul yang menjadi favorit penulis: 

Puisi untuk adik

apakah nasib kita akan terus seperti

sepeda rongsokan karatan itu?

o… tidak, dik!

kita akan terus melawan

waktu yang bijak bestari

kan sudah mengajari kita

bagaimana menghadapi derita

kitalah yang akan memberi senyum

kepada masa depan

 

jangan menyerahkan diri kepada ketakutan

kita akan terus bergulat

 

apakah nasib kita akan terus seperti

sepeda rongsokan karatan itu?

o… tidak, dik!

kita harus membaca lagi

agar bisa menuliskan isi kepala

dan memahami dunia

Wiji Thukul dan aktivis HAM Munir Thalib dalam sketsa warna karya Dewi Candraningrum dalam pameran di Yogyakarta, Maret 2015. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Di bawah selimut kedamaian palsu

apa gunanya ilmu

kalau hanya untuk mengibuli

apa guna baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu

di mana-mana moncong senjata

berdiri gagah

kongkalikong

dengan kaum cukong

di desa-desa

rakyat dipaksa

menjual tanah

tapi, tapi, tapi, tapi

dengan harga murah

apa guna baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu

WIJI THUKUL SANG SASTRAWAN. Film 'Istirahatlah Kata-Kata' menampilkan sisi humanis dari seorang Wiji Thukul: rasa takut, cemas, dan rindu keluarga. Foto dari @FilmWijiThukul

Peringatan

jika rakyat pergi

ketika penguasa pidato

kita harus hati-hati

barangkali mereka putus asa

kalau rakyat bersembunyi

dan berbisik-bisik

ketika membicarakan masalahnya sendiri

penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat berani mengeluh

itu artinya sudah gasat

dan bila omongan penguasa 

tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang

suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

dituduh subversif dan mengganggu keamanan

maka hanya ada satu kata: lawan!

Foto pernikahan Sipon dan Wiji Thukul menghiasi dinding rumah. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

(tanpa judul)

kuterima kabar dari kampung

rumahku kalian geledah

buku-bukuku kalian jarah

 

tapi aku ucapkan banyak terima kasih

karena kalian telah memperkenalkan

sendiri

pada anak-anakku

kalian telah mengajar anak-anakku

membentuk makna kata penindasan

sejak dini

 

ini tak diajarkan di sekolahan

tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

kepada kita semua

setiap hari di mana-mana

sambil nenteng-nenteng senapan

 

kekejaman kalian

adalah bukti pelajaran

yang tidak pernah ditulis

 Aktris Marissa Anita berperan sebagai Sipon, istri aktivis Wiji Thukul, dalam film 'Istirahatlah Kata-Kata'. Screenshot dari trailer di YouTube

Hari itu aku akan bersiul-siul

pada hari coblosan nanti

aku akan masuk ke dapur

akan kujumlah gelas dan sendokku

apakah jumlahnya bertambah

setelah pemilu bubar?

pemilu oo… pilu, pilu

bila hari coblosan tiba nanti

aku tak akan pergi ke mana-mana

aku ingin di rumah saja

mengisi jambangan

atau menanak nasi

pemilu oo… pilu, pilu

nanti akan kuceritakan kepadamu

apakah jadi penuh karung beras

minyak tanah

gula

atau bumbu masak

setelah suaramu dihitung

dan pesta demokrasi dinyatakan selesai

nanati akan kuceritakan kepadamu

pemilu oo… pilu, pilu

bila tiba harinya

hari coblosan

aku tak akan ikut berbondong-bondong

ke tempat pemungutan suara

aku tidak akan datang

aku tidak akan menyerahkan suaraku

aku tidak akan ikutan masuk

ke kotak suara itu

pemilu oo… pilu, pilu

aku akan bersiul-siul

memproklamasikan kemerdekaanku

aku akan mandi

dan bernyanyi sekeras-kerasnya

pemilu oo… pilu, pilu

hari itu aku akan mengibarkan hakku

tinggi, tinggi

akan kurayakan dengan nasi hangat

sambel bawang dan ikan asin

pemilu oo… pilu, pilu

sambel bawang dan ikan asin

—Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!