PH collegiate sports

Belajar kerendahan hati dari pedagang Pasar Senen yang kiosnya terbakar

Amru Sebayang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pasca kebakaran yang melahap beberapa blok di Pasar Senen, Jakarta, para pedagang mencoba bertahan hidup di pinggir jalan

Pak Sinaga, salah satu pedagang yang kiosnya terbakar di Pasar Senen, sedang menceritakan letak kios-kiosnya di gedung yang terbakar. Foto oleh Amru Sebayang/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Menjelang pukul 11 siang di area Pasar Senen, Jakarta Pusat, trotoar jalan sudah terisi penuh dengan berbagai lapak dagangan. Para pedagang yang tadinya berjualan di kios di salah satu pasar tertua di Jakarta itu terpaksa menyalin kiosnya menjadi lapak kaki lima pasca musibah kebakaran pekan lalu.

Pasar yang didirikan pada 30 Agustus 1735 oleh seorang tuan tanah bernama Yustinus Vinck ini telah mengalami berbagai pergantian nama. Dengan umur tua, pasar ini juga menjadi saksi berbagai peristiwa sejarah, termasuk sejarah kebakaran yang tak asing bagi pasar yang terletak di salah satu simpangan tersibuk di ibu kota itu.

“Kalau yang sekitarnya [dari blok I sampai blok VI], saya rasa sudah beberapa kali kebakaran. Tapi yang ini [blok I dan II] baru dua kali setahu saya,” kata salah seorang pedagang, Pak Sinaga, kepada Rappler, Rabu, 25 Januari. Ia 

Pak Sinaga merupakan satu dari ratusan pedagang Pasar Senen yang harus merelakan lahan dan barang dagangannya ludes diterkam amukan si merah pada Kamis lalu, 19 Januari. Ia mengaku telah merantau selulus SMA dari Medan, Sumatera Utara, dan mulai bekerja di Jakarta sejak 1985. Sedangkan membuka kios di Pasar Senen baru dimulainya pada 1998.

“Saya sudah melanglang buana ke mana-mana di Jakarta ini. Terakhir ini saya di Senen,” ujarnya.

‘Bisnis barang bekas seperti beli kucing dalam karung’

Pedagang Pasar Senen terpaksa menggunakan bahu jalan sebagai lapak dagangan karena kios mereka habis terbakar. Foto oleh Amru Sebayang/Rappler

Di antara kerumunan pedagang yang menjajal trotoar jalan sebagai lapak, Pak Sinaga terbilang berbeda. Ia sedang menjaga barang bekas kiriman yang dijadikan stok untuk dagangannya di area dalam Pasar Senen. Sementara itu, kios tempat ia berjualan di trotoar dijaga oleh kawan-kawannya.

“Sekarang ini, kan, masalah perut. Kalau sudah ada tempat penampungan yang layak, tidak akan kami berdagang di sana [bahu jalan]”, akunya.

Di sela pembicaraan dengan Rappler, telepon genggam Pak Sinaga berdering. Sembari menerima panggilan, ia mengeluh dengan nada tinggi, “Sudah kena musibah kena musibah lagi pula!” 

Ternyata telepon itu dari, katakanlah, agen pakaian bekas yang ia jual. Pak Sinaga tidak senang dengan pakaian basah dan lembap yang ia sebut “busuk” itu. 

“Memang, bisnis seperti ini sama seperti beli kucing dalam karung,” katanya.

Tidak banyak yang sadar bisnis barang bekas begitu menguntungkan. Pak Sinaga membuktikannya dengan memiliki 5 kios di blok I dan II Pasar Senen, tempat ia biasa berdagang. Kelima kios ini merupakan hasil dari modal usahanya yang sebelumnya. Tetapi sehabis kebakaran pekan lalu, tidak ada barang yang terselamatkan. 

“Habis semua, habis,” ujarnya. 

Rugi Rp1 miliar

Spanduk berisikan tuntutan pedagang kios yang habis terbakar kepada Pemerintah Daerah Jakarta. Foto oleh Amru Sebayang/Rappler

Pun beberapa hari sebelumnya, pedagang Pasar Senen telah menyampaikan petisi kepada perwakilan DPR RI dan Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede yang melihat lokasi kejadian. Namun Pak Sinaga mengaku tidak berharap terlalu tinggi. 

“Enggak kupikirin itu,” ucapnya singkat, ketika ditanya tentang aspirasi yang disampaikan para pedangang kepada pemerintah dan wakil rakyat.

Usaha Pemerintah Daerah sebenarnya tidak bisa dianggap nol. Ada ikhtiar yang telah dilakukan untuk membuka lapak baru bagi para pedagang. Salah satunya dengan menyediakan ruang baru di lantai 5 dan 6 di blok V Pasar Senen. 

“Tapi ya, mau bagaimana? Capek orang mau naik ke sana pakai tangga darurat. Kalau ada eskalatornya, kita enggak masalah. Mendingan kita buka lapak di kaki lima ini,” ujarnya.

Tentu berjualan di tempat baru dengan kemungkinan tidak dilirik pelanggan adalah pertaruhan besar. Apalagi ketika si empunya toko baru saja mengalami kerugian yang bukan main. 

“Satu kios baru saya tahan Rp180 [juta], sedangkan saya punya 5 kios. Ini [kalau ditotal] saya bisa rugi sampai Rp1 miliar,” katanya.

“Kalau untuk yang punya, [angka tersebut] enggak besar. Kalau buat yang enggak punya, sangat besar.”

Kendati mengaku merugi begitu besar, Pak Sinaga masih berpikir sewajarnya. Ia tahu Pemerintah Daerah tidak mungkin memberikan kompensasi sebesar itu dalam bentuk materi. 

“Saya hanya berharap ganti rugi materi sepersepuluhnya saja. Jadi, dari Rp1 miliar itu, hanya seratus juta,” katanya.

“Tapi itu pun tak akan kesampaian karena ada yang rugi modal sampai Rp10 miliar di sini,” tambahnya sambil terkekeh. 

Mencoba bersabar

Seorang pedagang menyelamatkan barang-barangnya dari lokasi Blok I dan Blok II Pasar Senen yang terbakar. Foto oleh Widodo S. Jusuf/Antara

Kehilangan lapak, apalagi berkisar hingga ratusan juta, membuat napas sesak. Akhirnya Pak Sinaga dan para pedagang lainnya mencari akal untuk tetap berjualan di bahu jalan. Rebut-rebutan lahan sesama pedagang pun tidak terhindarkan. 

“Kalau kondisi seperti ini, bisalah saya geser sedikit [lahan lapak] supaya yang lain kebagian,” katanya.

Selain menerima musibah yang menimpanya dengan lapang dada, Pak Sinaga memperlakukan orang-orang yang menjaga kiosnya dengan hati besar. Ia selalu menyebut mereka sebagai “teman”, bukan pegawai. Padahal, ia menanggung seluruh modal, mulai dari pakaian hingga lapak.

“Kalau pakai istilah ‘pegawai’, berarti saya sudah pakai jas, pakai dasi. Saya enggak pakai istilah itu,” katanya. 

Sejarah panjang Pasar Senen bisa dilihat dalam buku-buku sejarah, tetapi tentang mereka yang sabar menahan cobaan untuk bangkit kembali sambil, entah disengaja atau tidak, merendahkan hati jarang ditemui. 

Sembari duduk di depan spanduk protes bertuliskan, “Orok merah terbungkus kafan putih ini bernama Indonesia”, kami melanjutkan obrolan sembari membicarakan nama belakang kami. Kali ini tanpa alat rekam ataupun buku catatan. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!