Indonesia

Bernostalgia dengan lagu lawas di Museum Musik Indonesia

Eko Simpati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bernostalgia dengan lagu lawas di Museum Musik Indonesia
Museum Musik Indonesia di Malang menjadi rumah bagi pernak-pernik tembang lawas yang berusia puluhan tahun.

MALANG, Indonesia — Mata Dina Mariana berkaca-kaca. Tangannya mengelus piringan hitam keluaran 1978 berjudul Ayo Bergoyang. Album yang dikeluarkan saat dirinya berusia 6,5 tahun ini berisi 10 lagu. Piringan hitam ini menjadi kenangan bagi karir bermusiknya selama ini dari 58 album yang dikeluarkan.

“Wajah masih imut, ya,” kata Dina menunjuk sampul piringan hitam di Museum Musik Indonesia (MMI) di Jalan Nusakambangan, Kota Malang, pada Selasa, 7 Februari, lalu. 

Dina memulai bernyanyi sejak 1973, dari panggung ke panggung. Hingga memulai rekaman untuk lagu anak-anak dan terakhir mengeluarkan album pada 2008.

“Bersyukur masih ada yang mengoleksi. Piringan hitam hilang semua saat pindahan,” katanya. 

Dia mengaku sedih, tak bisa menyelamatkan piringan hitam yang dikumpulkan selama ini melalui perburuan yang panjang. Total ada 30 album piringan hitam yang hilang. 

“Dikumpulkan, saya beli dari sejumlah radio yang tutup. Terenyuh, sedih, dan terharu,” ujarnya sambil menahan tangis. 

Dina menandatangani piringan hitam itu dan sejumlah pita kaset lawas yang dikoleksi MMI. Tandatangan dibubuhkan di atas kertas sampul kaset dan piringan hitam.

“Dikumpulkan, saya beli dari sejumlah radio yang tutup. Terenyuh, sedih, dan terharu,” kata Dina Mariana sambil menahan tangis. 

“Foto cover ini di Malaysia,” kata Dina sambil menunjuk salah satu sampul album piringan hitam. Saat itu, dia membeli pakaian dan sepatu di Malaysia untuk sesi pemotretan itu. Selain untuk pemotretan sampul album, saat itu dia juga tengah melakukan sesi pemotretan untuk majalah di Malaysia.

Dina mengunjungi MMI bersama pelantun tembang lawas lainnya, Yayuk Suseno dan Sandro Tobing. Mereka melihat beragam koleksi piringan hitam, pita kaset, cakram padat, yang masih terawat sekaligus berfoto dengan pita kaset dan piringan hitam.

“Bangga banget, saya sendiri tak punya. Di sini koleksinya komplit,” kata Yayuk.

Ia berharap para seniman dan musisi tanah air mengapresiasi koleksi MMI, sekaligus berkontribusi untuk menambah koleksi. Yayuk berjanji akan menyumbang sejumlah baju dan aksesoris yang pernah dipakai saat show.

“Bisa disimpan untuk kenangan-kenangan,” ujarnya. 

Dia memegang pita kaset album pertamanya berjudul Telaga Biru. Album itu dikelurkan 1982 dengan dibimbing drummer Koes Plus, Muri.

Produser Malaysia belajar ke MMI

Poduser musik asal Malaysia, Datin Seri Sina Ghazy, turut mengaku kagum MMI bisa mengoleksi banyak album lawas. Sementara di Malaysia, menurutnya, belum ada museum musik yang dikelola secara serius. Selama ini hanya mengandalkan dana pribadi dan dikelola swadaya.

“Belum ada museum musik yang koleksinya selengkap MMI,” kata Datin.

Ia mengatakan bakal mengajak para seniman musik Malaysia untuk belajar mengelola museum musik ke MMI, sekaligus menjadi contoh merawat dan menjaga koleksi pita kaset dan piringan hitam berusia 70 tahunan.

“Bagus MMI. Terharu. Di Malaysia tak seperti ini,” katanya. 

(Kiri ke kanan): Dina Mariana, Sandro Tobing, Sylvia Saartje dan Yayuk Suseno berfoto bersama di Museum Musik Indonesia. Foto oleh Eko Simpati/Rappler

Produser musik yang juga berbisnis properti ini berharap berdiri museum serupa di Malaysia. Dia juga akan menyumbangkan sejumlah koleksi milik artis Malaysia ke MMI. Alasannya musisi Malaysia juga sempat mengeluarkan album yang cukup populer di Indonesia. 

“Kita serumpun, banyak artis yang dulu juga rekaman di Indonesia,” katanya. 

Untuk kembali mengingatkan artis lawas, Datin akan mengajak Dina Mariana dan Yayuk Suseno untuk bernyanyi di Malaysia. Lagu mereka, kata Datin, dulu dikenal luas masyarakat Malaysia.

Digitalisasi musik lawas

Ketua MMI Hengki Herwanto menyebutkan sekitar 21 ribu item koleksi museum tersebut terdiri dari kaset, piringan hitam, majalah, instrumen musik, poster, tiket, dan alat pemutar piringan hitam. Sekitar 80 persen merupakan kaset dan piringan hitam. 

Yang terlawas merupakan piringan hitam dari luar negeri produksi 1923 dan piringan produksi studio rekaman pertama Lokananta 1965.

“Selama enam bulan sudah 14 ribu lagu yang digitalisasi, dari total 180 ribu judul lagu,” kata Hengki. 

Pengunjung bisa mendengarkan lagu melalui sambungan internet di situs MMI. Namun lagu itu tak bisa diunduh dan dibagikan demi alasan hak cipta.

Menurut Hengki, setiap tahun lebih dari seribu orang yang berkunjung ke museum. Para pengunjung berasal dari sejumlah kota besar di Pulau Jawa. Mereka datang untuk sekadar melihat koleksi atau melakukan penelitian.

Bahkan, sejumlah mahasiswa datang untuk mencari data dan melakukan penelitian. Mulai mahasiswa jurusan desain grafis, sejarah, marketing, dan hingga budaya yang sedang menyusun skripsi.

“Ada yang membuat film dokumenter sampai mencari sumber data soal musik,” katanya. 

MMI berdiri 2016. Sebelumnya bernama Galeri Malang Bernyanyi sejak 8 Agustus 2009. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!