Wahyu dan Aslima: Kesetiaan cinta dalam ketidaksempurnaan

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wahyu dan Aslima: Kesetiaan cinta dalam ketidaksempurnaan
Aslima terlahir tak sempurna. Sejak kecil, ia sering dihina dan diremehkan. Tapi bagi Wahyu, memiliki istri penyandang disabilitas bukan beban

Wahyu Nugroho mengangkat istrinya dari kursi roda, menggendongnya keluar rumah, lalu mendudukkannya di atas sadel sepeda motor yang terparkir di teras rumahnya. Pria 29 tahun itu menyalakan mesin sepeda motornya, sementara istrinya membonceng di belakang sambil memeluk erat suaminya. 

Sang istri, Aslima, tak bisa beraktivitas tanpa kursi roda. Ia terlahir tanpa memiliki kedua tungkai dan mengalami cacat pada jari-jari tangan kanannya. Sejak bayi, wanita 30 tahun itu hidup hanya dengan separuh badan. 

Kisah cinta mereka tak biasa. Wahyu merupakan segelintir dari laki-laki di dunia ini yang bersedia menerima perempuan difabel sebagai pasangan hidupnya atas dasar cinta, tanpa mempertimbangkan fisik.

“Bagi saya, fisik bukan segalanya, saya jatuh cinta pada Aslima karena kebaikan dan ketulusan hatinya,” ujar Wahyu.

Keputusannya ini membuat kerabat dan teman-teman Wahyu geleng-geleng kepala, tak percaya atas pilihan hidupnya. Bahkan, orangtua Wahyu sempat tak merestui hubungan mereka karena beranggapan bahwa memiliki istri penyandang disabilitas akan menjadi beban.

Cinta dalam sebotol air

Benih cinta mereka berawal dari sebotol air minum. Suatu hari, Wahyu berjualan kerajinan akar wangi karyanya di sebuah pasar malam di Kudus, Jawa Tengah. Pemuda asal Semin, Gunungkidul, itu melihat Aslima sedang berjalan-jalan di pasar malam dengan kursi roda.

“Bagi saya, fisik bukan segalanya, saya jatuh cinta pada Aslima karena kebaikan dan ketulusan hatinya,” kata Wahyu.

Aslima tertarik dengan kerajinan yang dijual Wahyu, mereka lalu berbincang. Aslima menyodorkan sebotol air mineral karena melihat Wahyu kegerahan dan bercucuran keringat. Selanjutnya, keduanya bertukar nomor telepon dan sering berkomunikasi.

Aslima kemudian pindah ke Yogyakarta, mengikuti pelatihan keterampilan di sebuah yayasan yang bekerja untuk penyandang disabilitas. Jarak yang semakin pendek membuat keduanya sering bertemu dan akhirnya berpacaran.

Dua tahun kemudian, Wahyu ingin menikahi Aslima tetapi hambatan terbesarnya adalah orangtuanya sendiri yang tidak setuju dengan keputusannya. Aslima tak pernah sakit hati dan menganggap wajar sikap orangtua Wahyu.

“Wajar, setiap orangtua pasti menginginkan menantunya sempurna. Saya tidak mau menikah jika tak ada restu dari orangtua calon suami saya, tetapi Mas Wahyu pantang menyerah,” kata Aslima.

Wahyu terus meyakinkan orangtuanya bahwa Aslima bukan beban baginya, dan justru sebaliknya menjadi pelengkap hidupnya. Ia terus menceritakan bahwa calon istrinya adalah perempuan mandiri yang aktivitas kesehariannya tak bergantung orang lain.

Kegigihan Wahyu untuk membangun mahligai bersama Aslima akhirnya meluluhkan hati orangtuanya. Keduanya mendapat lampu hijau dari orangtua Wahyu dan menikah di Kudus pada 17 Mei 2010. 

Pesta pernikahannya dilangsungkan secara meriah di kampung halaman Aslima. Pernikahan itu juga menggemparkan penduduk desa, karena mereka ingin tahu siapa gerangan yang meminang gadis yang pernah divonis oleh warga tak bakal menikah itu. 

Melihat Wahyu di pelaminan, banyak yang mengatakan orangtua Aslima beruntung karena ada laki-laki “normal” dan tampan yang bersedia menikahi anaknya. Namun, tak sedikit pula yang sinis dan menganggap pernikahan itu hanya mencari sensasi. Mereka memperkirakan pernikahan itu tak bertahan lama. 

Dianggap tak akan menikah

Foto pernikahan Wahyu dan Aslima pada 2010. Foto dokumentasi pribadi

Di keluarga besarnya sendiri, Aslima dianggap tidak akan pernah menikah karena akan sulit mendapat jodoh dengan keterbatasan fisiknya. Dalam pernikahan sang kakak, orangtua Aslimah didesak agar menggelar upacara Tumplak Punjen, sebuah tradisi untuk menandai hajatan terakhir seiring dengan selesainya tugas orangtua menikahkan semua anaknya.

Ketika hampir digelar, sang ibu akhirnya memutuskan menolak Tumplak Punjen, karena ia ingin tetap membesarkan hati anak bungsunya meskipun ia sendiri tak yakin bahwa Aslima kelak akan menemukan jodohnya.

“Ibu saya tidak ingin mendahului takdir karena jodoh itu urusan Tuhan,” kata Aslima.

Aslima sudah kenyang cemoohan orang atas kondisi fisiknya, dari sejak duduk di bangku SD hingga SMA. Tetapi ia tak pernah marah dan menyesali garis hidupnya. Sebaliknya, perempuan yang selalu ceria dan suka bercerita itu semakin tegar dan menganggap cacat badannya bukan halangan, tetapi tantangan hidup untuk ditaklukkan.

“Saya sering diberi uang oleh orang yang merasa iba di jalan. Saya selalu menolak, karena hidup saya bukan untuk dikasihani,” ujar Aslima.  

Pikiran positif dan sikap hidupnya yang optimistis kemudian membuat Aslima memiliki banyak kawan. Ia sering diundang sebagai motivator dalam berbagai acara di Yogyakarta untuk bercerita tentang pengalaman hidupnya yang pahit di masa lalu —terlahir tak sempurna, dihina, diremehkan, lalu dipaksa bekerja sebagai pengemis di pasar oleh kerabatnya sendiri— dan cara menghadapinya.

Hidup mandiri

Sejak menikah, Wahyu dan Aslimah memutuskan tinggal terpisah dari kedua orangtua mereka. Keduanya kini tinggal di sebuah rumah di kawasan Kaliurang, Sleman.

Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Aslima juga ingin hidup seperti keluarga normal dan berperan sebagai istri pada umumnya, melayani suami, mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

“Istri saya tak ada bedanya dengan perempuan lain yang badannya lengkap. Ia bisa melakukan semua pekerjaan sendiri,” ujar Wahyu.

“Wajar, setiap orangtua pasti menginginkan menantunya sempurna. Saya tidak mau menikah jika tak ada restu dari orangtua calon suami saya, tetapi Mas Wahyu pantang menyerah,” kata Aslima.

Aslima menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa pembantu, dari mulai membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Ia tidak ingin keterbatasan fisiknya menghalanginya beraktivitas seperti perempuan lain.

Ia juga meminta Wahyu untuk mengajari membuat kerajinan akar wangi agar bisa membantu pekerjaan suaminya. Wahyu kini memiliki dua lapak kerajinan dan cinderamata di Dusun Kinahrejo, Cangkringan, sepelemparan batu dari bekas rumah juru kunci Merapi Mbah Maridjan, yang kini menjadi salah satu destinasi wisata Lava Tour Merapi. 

Aslima sering menemani suaminya berjualan. Namun sejak anak keduanya lahir, ia hanya sesekali menjaga kiosnya karena lebih sibuk mengasuh kedua anaknya.

Pasangan setia

Wahyu, di mata Aslima, adalah laki-laki setia. Ia tak malu ke mana-mana menggendong istrinya di punggung, ketika tidak memakai kursi roda. Baginya, ketidaksempurnaan fisik istrinya bukanlah aib. 

Terkadang, kesabaran Wahyu luntur ketika ada orang yang mencemoohnya. Aslima lah yang kemudian meredam emosi suaminya dan mengingatkan agar ia tak usah peduli dengan penilaian orang.

Aslima berjualan di kios souvenir miliknya di Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Ketika di rumah, Wahyu juga tak jarang membantu kesibukan rumah tangga. Ia mengasuh kedua anak perempuannya —semuanya terlahir sempurna— terutama si sulung yang sangat dekat dengannya. 

Banyak orang yang menganggap Aslima adalah perempuan beruntung karena dinikahi pria yang normal dan setia. Namun, bagi pasangan ini, mereka berdua merasa sama-sama beruntung karena bisa saling memiliki. 

“Kami saling melengkapi. Saya melengkapi Mas Wahyu dan begitu juga Mas Wahyu melengkapi kekurangan saya,” kata Aslima.

Pasangan ini saling memercayai. Aslima tidak pernah khawatir suaminya akan berpindah ke lain hati atau mendua, begitu juga Wahyu terhadap istrinya. 

Di antara mereka tak ada rahasia lagi, tak ada privasi, dan tak ada urusan yang disembunyikan. Telepon seluler keduanya bisa diakses dengan bebas oleh pasangannya, bahkan akun media  sosial yang mereka miliki hanya satu, yang dijawab secara bergantian oleh Aslima dan Wahyu.

“Setelah menikah, tidak ada lagi aku atau kamu. Hanya ada satu, kita,” kata Wahyu.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!