Netizen untuk Negeri: Melawan hoax dengan konten positif

Amru Sebayang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana masyarakat Indonesia mencoba melawan kabar bohong?

 

JAKARTA, Indonesia — Setiap kali ada kontestasi politik, hoax atau berita bohong menjejal dimana-mana. Pemerintah mengimbau masyarakat waspada dengan hoax karena ia mampu merusak Kebhinekaan Indonesia. Alhasil, segala sekrup masyarakat secara tidak langsung diwajibkan memverifikasi berita yang mereka terima.

Akan tetapi, mengingat jumlah kabar bohong yang begitu banyak, mengeceknya satu per satu tentulah bukan pekerjaan mudah. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah menjejalkan pula berita positif untuk menenggelamkan hoax. Dengan cara ini, hoax akan mati dengan sendirinya karena telah kehilangan “konsumen”.

Keyakinan semacam inilah yang melatarbelakangi Bhayu Mahendra beserta kawan-kawannya mendirikan komunitas Netizen untuk Negeri, sebuah komunitas yang berisikan netizen-netizen yang aktif menyalurkan opini positif melalui jejaring sosial mereka, terutama di Facebook. 

“Kami pure masyarakat biasa, meski di dalamnya [Netizen untuk Negeri] juga ada dosen, pegawai asuransi, dan beragam profesi lainnya,” Ujar Bhayu dalam wawancara dengan Rappler.

Berdirinya komunitas ini dilatarbelakangi oleh keresahan setiap anggotanya terhadap konten negatif yang terus muncul di internet. Awalnya, mereka secara perorangan melawan konten tersebut dengan memberi konten tandingan. 

“Kami sudah melakukan perlawanan isu [negatif]. Kami bantah [konten negatif]. Namun, lama-kelamaan kami merasa terlalu individual.

“Kemudian kami berkumpul. Kami sepakat untuk membuat sebuah gerakan perlawanan yang lebih terorganisir. Cara perjuangan yang kami gunakan adalah dengan menyebarkan konten-konten positif, terutama melalui tulisan,” kata Bhayu. 

“Orang percaya dengan hoax karena berpengetahuan minim, sehingga ketika orang yang mereka percaya mengatakan apapun, mereka bisa dengan mudah percaya.”

Menurut komunitas ini, hoax bukan saja memecah keberagaman secara makro, tapi secara mikro, hoax juga mengalihkan perhatian setiap individu. 

“Saat ada hoax seputar Pilkada, sebenarnya ada isu lain yang tak kalah penting, seperti petisi Papua ingin merdeka. Akan tetapi, tidak ada masyarakat sipil yang membahasnya secara serius ataupun melawannya,” tutur Bhayu. 

Dalam menyikapi maraknya hoax, langkah membuat konten tandingan tentulah langkah yang berisiko karena memungkinkan hujatan dari mereka yang tertandingi kontennya. Bhayu dan kawan-kawannya bahkan pernah menerima berbagai hujatan karena ini, meski demikian mereka tidak terpengaruh.

“Kami diserang mereka [penyebar hoax]. Kami dicecar, mulai dari inbox Facebook hingga WhatsApp. Kami dibilang anti-Islam, kafir, dan segala macam. Tapi lama-kelamaan kami terbiasa dengan itu,” ujar Bhayu. 

Mendapat  hujatan semacam itu sangatlah wajar karena setiap anggota Netizen untuk Negeri menggunakan nama asli dalam akun Facebook mereka. 

“Supaya apa yang kami tulis bisa lebih dipertanggungjawabkan,” tutur Bhayu. 

Komunitas ini tidak mendapat sumber dana dari manapun kecuali iuran anggota, pun mereka tidak mendapat keuntungan materiil. Satu-satunya insentif yang mendorong Netizen untuk Negeri terus berkarya adalah kesadaran bahwa mereka tidak sendiri mempertahankan Indonesia yang berbhinneka. 

“Ini untuk kepuasan batin bahwa kami bersama-sama mempertahankan Indonesia yang berbhinneka,” katanya.

Menurut Bhayu, hoax muncul dari ketidaktahuan. Mereka yang minim pengetahuan bisa dengan mudah terjerat hoax karena terlalu memercayai orang-orang di sekitar mereka. 

“Orang percaya dengan hoax karena berpengetahuan minim, sehingga ketika patron mereka, orang yang mereka percaya, entah guru ataupun teman yang lebih senior, mengatakan apapun, mereka bisa dengan mudah percaya,” tutur Bhayu.

Oleh sebab itu, arah perjuang Netizen untuk Negeri tersalur dalam dua segmentasi, yaitu publikasi dan edukasi. Publikasi dengan cara menyebar konten tulisan di berbagai media dan edukasi dengan cara memberikan pendidikan dasar ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan Indonesia yang berbhinneka dan toleran. 

“Kami ingin membuat gerakan literasi, tapi itu masih rencana jangka panjang,” kata Bhayu.

“Untuk rencana jangka pendek, kami ingin membuat website sendiri yang isinya adalah opini kami, dan untuk jangka panjang kami ingin membuat situs fact checking,” ujarnya.

Pun menurut Bhayu pemerintah bisa ikut serta mendukung gerakan Netizen untuk Negeri. “Tapi kami tidak perlu bantuan finansial, dukungan berupa materi ajar dan pemateri pun sudah sangat membantu bagi kami,” ucap Bhayu.

Jikapun harus memberi saran kepada netizen-netizen muda, Bhayu merangkumnya dengan sangat sederhana, yaitu bangga pada Indonesia, hasilkan karya yang positif, dan fokus pada bidang yang ditekuni. 

“Yang muda bisa membuat karya mandiri dan lebih baik lagi jika bisa berjejaring di komunitas. Dan fokuslah pada bidang masing-masing. Persoalan bangsa terjadi karena orang-orang yang tidak berada pada bidangnya sering kali ikut berkomentar dalam berbagai hal,” katanya.

Komunitas Netizen untuk Negeri sangat aktif berdiskusi di grup Facebook mereka: Netizen untuk Negeri. Anggota di grup ini mencapai 559 orang dan salah satu agenda rutin mereka adalah mengadakan kopi darat. Ketika ditanya mengapa kopdar?  

Bhayu menjawab, “Orang kita senang rame-rame,” katanya seraya tersenyum. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!