5 puisi tentang perempuan yang perlu kamu dengar

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 puisi tentang perempuan yang perlu kamu dengar
Catcalling. Seksisme. Ekualitas. Diskriminasi. Isu-isu ini dekat dengan perempuan. Ini adalah 5 puisi yang membicarakan tentang hal-hal tersebut dan lainnya

JAKARTA, Indonesia — Katanya, menjadi perempuan di Indonesia bukanlah hal yang mudah. 

Saya menyebutkan “katanya” karena sebagai seorang laki-laki, saya tidak tahu persis bagaimana rasanya menjadi perempuan. Saya hanya bisa berempati.

Katanya, jangankan mencapai kesetaraan gender atau kesamaan hak dalam lingkup sosial maupun profesional, berjalan kaki di pinggir jalan saja sulit. Kaum perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual oleh lelaki. 

Dalam peringatan Bulan Perempuan Internasional selama Maret ini, ratusan perempuan di Jakarta mengikuti Women’s March pada Sabtu akhir pekan lalu, 4 Maret lalu. 

Mereka sedikitnya memiliki 8 tuntutan. Mulai dari menuntut toleransi dan keberagaman; menghapus kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap perempuan; penyamaan hak di berbagai bidang; hingga menghapus diskriminasi kepada minoritas.

Lagi, sebagai seorang lelaki, saya tidak bisa sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya berjuang sebagai perempuan. Tapi, saya mencoba memahami melalui karya-karya yang dibacakan oleh para penggemar puisi ini.

Berikut adalah 5 karya spoken word (sajak lisan) yang ditampilkan bukan hanya oleh perempuan tapi juga kaum pria—termasuk saya sendiri. 

The Art of Catcalling (Andy Roberts & Putri Minangsari)

Dalam karyanya yang berjudul The Art of Catcalling, pasangan Andy Roberts dan Putri Minangsari mencoba memahami apa yang membuat kaum lelaki menggoda perempuan di jalanan. 

“We are trying to understand why somebody catcall,” kata Putri sebelum memulai membacakan puisinya dalam acara Unmasked Open Mic di Jakarta. 

Melalui kolaborasi ini, Roberts dan Putri menjabarkan 5 hal seni catcalling, yang mereka bayangkan ketika kaum pria melakukan catcall kepada perempuan.

“So when a girl walks over, I’m gonna call out for her. For fun,” ucap Roberts.

Equality (Nick Yeo)

Dalam Women’s March akhir pekan lalu, bukan hanya perempuan yang turun ke jalan. Terlihat juga beberapa kaum pria yang mendukung isu-isu perempuan ini.

Ada juga lelaki yang membawa poster bertuliskan, “Laki-laki berkualitas tak takut ekualitas.” Nick Yeo, seorang pria warga negara asing, adalah salah satunya.

Ia menulis sebuah puisi berjudul Equality. Di dalam tulisannya Yeo mengatakan, “It is plain to me that some of us do not believe in gender equality

“I hate when people say, men are superior, fighters, and leaders. Women are inferior, submissive, and needless. Boys like blue, girls like pink.”

Ia memberi contoh tentang korban pemerkosaan yang malah disalahkan karena menegak alkohol dan berpakaian yang provokatif.

 “Rape victims are blamed because she drank alcohol and dressed a certain way. It was her fault and she should pay.”

Di atas semua isu perempuan, Yeo mengaku meski ia seorang pria, tapi dia adalah seorang feminis. Dan ia menganjurkan sesama laki-laki untuk ikut bersuara terhadap ketidakadilan ini.

“I am proud to be a feminist. I insist that all men speak out against this. Be it a comment or snide remarks, a harmless joke or unwanted. The fact that we ignore it is bizarre. 

“We need to speak up against inequality even if we stand alone,” ucapnya lantang.

What Makes a Man (Abdul Qowi Bastian) 

Kata orang, lelaki mempunyai ego yang tinggi. Sedikit saja dilukai, akan berujung masalah. Ada benarnya memang, tapi tidak semua lelaki berperangai seperti itu.

Spoken word poetry yang saya bawakan di acara Unmasked: Noise Worth Hearing pada Juli 2016 lalu, menyentil isu tersebut. 

Tanpa bertele-tele, What Makes a Man langsung menghujam ke pokok permasalahan, mendiskusikan kembali makna maskulinitas — sebuah isu yang jarang dibicarakan di masyarakat, baik oleh perempuan maupun para lelaki sendiri. Seakan-akan itu bukan hal yang patut dibicarakan di ruang publik.

Ide ini datang dari kejadian-kejadian mengerikan selama beberapa waktu terakhir, seperti ketika seorang pekerja seks dibunuh oleh pelanggannya karena ia menyebut pria yang menggunakan jasanya itu berbau tak sedap. 

Bukannya berkurang, namun aksi serupa makin marak terjadi. Sudah berapa kali kita dengar di berita, kasus pemerkosaan yang diikuti oleh pembunuhan di berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir? Tak terhitung.

Kadang masalahnya, ego lelaki yang terlalu tinggi menjadi penyebabnya. Yang terbaru, seorang penjaja seks lainnya dihabisi nyawanya karena ia mengatakan pria yang menidurinya seperti “king kong” karena berbulu lebat. Ada juga yang menolak untuk diajak berhubungan karena si pria “keluar terlalu cepat” saat pertama kali melebur.

Ini yang saya coba tekankan kepada para pembaca dan pendengar, bahwa menjadi seorang lelaki bukan karena kita memiliki penis. Bukan karena kita memiliki dompet tebal untuk menggunakan jasa prostitusi. Banyak hal-hal lain yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pria yang sering terlupakan.

“I am a man because when a woman says no, I stop.”

I’m That Girl Your Mom Has Always Warned You About (Raunala Maruti) 

Raunala Maruti, seorang mahasiswi Indonesia yang sedang melanjutkan studinya di Jepang, bercerita tentang pengalamannya dipandang sebelah mata oleh ibu dari pasangannya.

Perempuan, menurut persepsi masyarakat umum, harus bertingkah laku sepatutnya. Misal, tidak mengenakan pakaian yang terbuka atau minum alkohol atau merokok.  

Bukan sekali, ibu pacarnya mewanti-wanti agar anaknya tidak terlalu dekat dengan perempuan yang mendobrak norma-norma yang ada. Bisa-bisa ia dicap sebagai “terlalu liberal”.

“Well… most moms wouldn’t really want to look at me anyway.

I remembered the only time I’ve met my ex’s mom, I was in shorts.

We were 13; he was teaching me how to play the guitar on a bright sunny day

But their skin was way brighter… than mine; so I was dismissed with a snort.”  

Noise Worth Hearing (Rara Rizal)

“Bzzt… ugly! Bzzt…fat!”

Dalam puisi yang cukup menyengat ini (banyak buzzing-nya), Rara Rizal mengupas makna menjadi seorang perempuan di tengah tuntutan masyarakat.

“Are your friends telling you, you should wear a dress sometimes and put on make-up, Rara. Because for God’s sake you actually have nice features. You just don’t show them enough,” katanya. 

How can I show my features when they’re telling me to bury myself under layers and layers of drugstore make-ups?”

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!