Menafikan teater sebagai sesuatu yang tabu

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menafikan teater sebagai sesuatu yang tabu
Bagaimana peran perempuan dalam dunia teater Indonesia? Dan bagaimana iklim teater di Tanah Air saat ini?

JAKARTA, Indonesia — Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “tabu” sebagai sesuatu yang dianggap suci (tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya); pantangan; larangan.

Tapi menurut Rofianisa Nurdin, founder CreativeMornings Jakarta, tabu juga berarti etis atau tidaknya kita membicarakan hal-hal yang tidak biasanya dibicarakan banyak orang. 

“Banyak orang yang mengira, kita akan membicarakan tentang LGBTQ karena tema kita bulan ini ‘tabu’,” kata Rofianisa. Namun topik yang dipilih CreativeMornings—sesi kuliah untuk komunitas kreatif yang diadakan sebulan sekali—bulan ini adalah kehidupan teater Indonesia masa kini.

Menurutnya, topik ini dipilih karena iklim pementasan teater di Indonesia yang belum bersahabat dan masih butuh perhatian lebih. Selain itu, lanjut Rofianisa yang juga menjadi host acara, banyak orang tidak tahu bahwa dalam kesehariannya mereka sedang melakukan seni peran.

Seni peran dalam kehidupan sehari-hari

Hal tersebut diamini oleh kedua pembicara yang hadir pada Jumat, 17 Maret, lalu; aktivis kebudayaan Kennya Rinonce dan aktor teater Putri Ayudya.

Theatre today bukan cuma di panggung. Teater sebagai part of life. Kita berteater setiap hari,” kata Kennya yang aktif di Yayasan Laras Madya. 

“Simpati ada ketika kita mencoba memahami, empati itu ketika kita menempatkan diri ke situasi seseorang.”

Ia sudah berkecimpung di dunia pementasan seni, khususnya teater, semenjak berkuliah di Bandung. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun memberikan beasiswa kepada Kennya terkait bidangnya.

Senada dengan Kennya, Putri mengatakan, sehari-hari manusia mengambil peran tertentu. “Manusia dalam sehari-harinya berperan. Seperti CreativeMornings hari ini, kita mempunyai beragam peran. Ada yang sebagai pembicara, pendengar, pembawa acara, penyedia makanan,” ujarnya.

Putri, selain berperan di berbagai pentas teater, juga pernah membintangi film layar lebar. Salah satu filmnya adalah Guru Bangsa Tjokroaminoto yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Ia pernah menjadi bagian dari kelas akting Salihara. Pada 2011 ia juga mendapatkan gelar Putri Intelegensia. 

Putri memberi analogi: Dalam hidup ini, ada front stage dan back stage, layaknya sebuah panggung pertunjukan seni peran. Di back stage kehidupan, ada proses yang dijalani setiap manusia. Ketika di front stage kita bisa melihat hasil dari proses itu. 

“Saya menjadi pembicara di sini, saya melewati masa back stage. Berlatih dulu,” katanya.

Kennya dan Putri juga sependapat bahwa teater mempunyai unsur humanis. The greater purpose of theatre menimbulkan rasa empati,” ucap Kennnya. 

Putri menambahkan bahwa empati lebih dalam daripada simpati. “Simpati ada ketika kita mencoba memahami, empati itu ketika kita menempatkan diri ke situasi seseorang,” ujarnya. Empati, lanjutnya, membuat kita ingin berbuat sesuatu yang konkret untuk orang lain. 

Iklim pementasan

Pelaku industri teater Kennya Rinonce (kiri) dan Putri Ayudya saat menjadi pembicara CreativeMornings Jakarta pada 17 Maret 2017. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Sebagai praktisi teater yang terlibat langsung dalam seni peran, baik Putri maupun Kennya mengakui, iklim pementasan teater di Indonesia masih perlu perhatian. 

Kennya menjelaskan teater sebagai model democratic discourse dapat ditemukan di Indonesia. Maksudnya, Indonesia sudah cukup bebas memperbolehkan teater sebagai representasi realita. Kritik dan opini dapat diekspresikan lewat teater. 

Hal itu berbeda dengan kondisi ekonomi dunia teater. “Teater sebagai bagian dari revitalisasi ekonomi negara masih butuh perhatian,” katanya.

Putri menimpali, perhatian pemerintah sangat dibutuhkan untuk membangunkan kembali teater di Tanah Air. 

“Kami sadar ini proses. Dunia seni, khususnya teater, masih butuh infrastruktur. Kami berharap generasi start-up, industri teater kecil terus berkembang sehingga ada kepastian,” kata Putri. 

Meski demikian, di balik proses yang masih dijalani, kedua pembicara optimis akan masa depan teater Indonesia. 

“Saya sangat kagum dengan orang-orang di Indonesia. Banyak kantong budaya yang hidup di Indonesia walau tidak ada peran besar pemerintah. Ini membuktikan orang Indonesia tidak manja,” kata Kennya. 

Living for acting or acting for living? I think we can do both,” tambah Putri.

Dunia teater dan perempuan 

Bukan kebetulan kedua pembicara CreativeMornings bulan ini adalah perempuan. “Perempuan dalam teater di Indonesia saat ini aset yang besar,” ucap Putri.  

Namun produktivitas sejumlah perempuan dalam teater bisa berkurang ketika ia berkeluarga. “Jadi tokoh-tokoh senior di teater Indonesia bisa dibilang kurang keberagaman,” katanya lagi. 

“Saya sangat kagum dengan orang-orang di Indonesia. Banyak kantong budaya yang hidup di Indonesia walau tidak ada peran besar pemerintah. Ini membuktikan orang Indonesia tidak manja.”

Kennya memberikan perhatiannya pada peran perempuan sebagai sutradara atau koreografer di teater. 

“Terkadang perempuan hanya di bagian support system. Bagian service dan manajemen. Maksudnya bermain sebagai pemeran atau pengurus. Jarang kita punya sutradara perempuan,” ujarnya. 

Kennya sudah fokus menjadi menyutradarai pementasan sejak 1,5 tahun yang lalu. Namun ia masih dianggap ‘main-main’. 

“Label sutradara mudah sekali diberikan kepada laki-laki,” ucapnya. 

Apa itu CreativeMornings?

CreativeMornings adalah sesi kuliah untuk komunitas kreatif yang diadakan sebulan sekali.

Semua berawal dari ide seorang desainer, Tina Roth Eisenberg yang ingin merancang sesi diskusi santai menginspirasi sebelum jam kerja. CreativeMornings lahir di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, pada 2008.

Berangkat dari sebuah diskusi sederhana di pagi hari lengkap dengan kopi dan sarapan ringan, CreativeMornings melebar menjadi sebuah ritual global yang hadir di 116 kota-kota besar di dunia.

CreativeMornings Jakarta sendiri sudah diadakan semenjak Desember 2014. Acara ini diprakarsai oleh dua arsitek muda, Rofianisa Nurdin dan Wendy Pratama, yang juga didukung oleh anggota tim kreatif khusus yang terdiri dari relawan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!