Hari Nelayan Nasional: Getirnya hidup dalam jurang kemiskinan

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Nelayan Nasional: Getirnya hidup dalam jurang kemiskinan

ANTARA FOTO

Para nelayan di Pantura Jawa ada yang terbelit hutang, ada yang beralih menjadi pengantar turis

SEMARANG, Indonesia — Sang surya hampir terbenam, tapi Santi Supriyatin masih menunggui dagangannya di tepi Kampung Tambakmulyo, Kota Semarang, Jawa Tengah. Ragam ikan segar berjejer di atas lapaknya yang terbuat dari anyaman bambu.

Bersama para ibu nelayan, Santi tampak bersusah payah berjualan di pinggir jalan. Dagangannya sedari siang tak kunjung dijamah pembeli.

“Sekarang kondisinya sepi sekali, beda dengan dahulu harga-harga masih murah sehingga orang sering beli ikan. Ini saja pengusaha restoran enggak mau beli dari kita. Mereka sukanya memesan kepada para supplier,” kata Santi kepada Rappler yang menemuinya di Kampung Tambakmulyo, pada Rabu, 5 April.

Di tengah himpitan ekonomi, ditambah lagi perubahan cuaca yang tak menentu benar-benar membebani hidupnya. Jika dulu penjual ikan jadi primadona tersendiri bagi warga Tambakmulyo, kini kondisinya sangat kontras.

Ia mengatakan jumlah pedagang ikan semakin berkurang. Santi yang telah berjualan ikan sejak usia 10 tahun mengaku tak bisa berbuat banyak dengan situasi tersebut. 

“Warga di sini serba sulit. Saya kadang sampai menangis kalau seharian tidak ada yang laku, Mas,” kata perempuan 26 tahun itu.

“Sekarang kondisinya sepi sekali, beda dengan dahulu harga-harga masih murah sehingga orang sering beli ikan. Ini saja pengusaha restoran enggak mau beli dari kita. Mereka sukanya memesan kepada para supplier.”

Seperti kehidupan warga lainnya di kampung nelayan, ia jarang menikmati hasil berlimpah. Alih-alih bernasib baik, ia justru menanggung kerugian bahkan tak jarang ditipu pembeli—sebuah kisah naas dalam peringatan Hari Nelayan Nasional yang jatuh setiap 6 April.

“Saya pernah ketipu orang yang beli menggunakan uang palsu. Itu ruginya sangat besar sampai saya harus berhutang ke tetangga biar bisa jualan lagi,” cetusnya.

Setali tiga uang dialami Sukijah, pedagang ikan lainnya. Ia mengatakan jeratan hutang membuatnya kelimpungan. Kondisinya makin runyam setelah hasilnya hampir tak pernah balik modal. Ia kini terpaksa gali lubang tutup lubang.

Sukijah sekali memborong ikan dari nelayan habis Rp300 ribu dan ia jual lagi seharga Rp20 ribu-Rp30 ribu per kilogram.

“Modalnya enggak pernah kembali. Malah nombok. Lagipula kan harga ikan tahun ini menurun. Tapi kalau enggak jualan ikan, kasihan anak-anak mau makan apa nanti,” ungkapnya. 

Ia sejak lama menghidupi anak-anaknya seorang diri setelah suaminya meninggal pada 2006 silam.

Sukijah lantas membandingkan situasi yang berbeda pada 10 tahun lalu. Saat itu, para nelayan mampu menggapai kejayaan karena hasil tangkapan di lautan begitu melimpah. Tiap berjualan saja, Sukijah bisa untung Rp 50 ribu per kilogram.

Ia menuding kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang pemakaian cantrang malah memperburuk kehidupan nelayan. 

“Lihat saja banyak yang kesulitan nyari ikan. Kalaupun dapat, hasilnya sedikit banget,” ujarnya.

Beralih jadi jasa pengantar turis

Sepinya situasi pelayaran di laut lepas akhirnya membuat para nelayan dari Kabupaten Kendal berpindah haluan ke sisi utara pantai Semarang.

Suyatno, salah satunya. Pria bertubuh gempal itu saat ditemui Rappler sedang bersiap melaut pukul 20:00 WIB malam. Ia biasanya menjaring ikan seriding, teri, dan sedikit udang. Lokasi yang ia pilih berada dekat dermaga Pelabuhan Tanjung Emas.

“Berangkat malam, pulangnya 04:00 WIB pagi nanti. Setahun ini cuacanya jelek, kalau pas untung dapat 2-3 kuintal, hasilnya dibagi sama pemilik perahu, ya bisa buat makan sehari-hari,” kata warga Kampung Bandengan RT 03/II Kendal itu, sembari menenteng galon air minum sebagai bekal melautnya.

Biasanya ada tiga orang yang menemaninya melaut. Tiap malam ia setidaknya menghabiskan 15 liter solar. 

“Doain saja, Mas, semoga saya dapat banyak ikan biar besok Jumat bisa pulang ke rumah,” kata Suyatno.

Sementara itu, nelayan-nelayan di perairan Jepara terpaksa beralih profesi agar dapurnya tetap mengepul. Mereka rata-rata melayani jasa perahu wisata ketimbang mencari ikan di laut.

Saat memasuki awal April 2017 misalnya, nelayan Jepara seakan berlomba menggaet wisatawan yang ingin melancong ke Kepulauan Karimunjawa. 

“Kadang masih cari ikan, tapi kalau pas lagi ramai wisatawan, saya ikut mengantar sampai ke Karimunjawa,” kata Saiful Arif, seorang nelayan setempat.

“Bolak-balik nganterin turis bisa dapat Rp100 ribu. Agak mendingan ketimbang susah-susah nyari ikan namun hasilnya sedikit,” ujarnya.

Nelayan mengeluhkan peraturan penggunaan cantrang

JARING CANTRANG. Sejumlah nelayan tradisional masih menggunakan modifikasi jaring "trawl" seperti cantrang saat menangkap ikan. Foto oleh Seno/Antara

Sedangkan menurut Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan (PPNI) Masnuah, para nelayan saat ini hidup dalam jurang kemiskinan. Pemerintah, katanya, jelas punya andil menyengsarakan nelayan, lantaran dalam Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015, ia menyebut pemerintah hanya melarang pemakaian cantrang tanpa memberi solusi nyata di lapangan.

“Padahal, banyak nelayan yang terlanjur memakai cantrang sudah terikat hutang bank. Kalau disuruh ganti alatnya, maka mereka modal dan ganti rugi dari mana lagi,” kata Masnuah.

Cantrang adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan 2 panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. 

Saat ini penggunaan jaring cantrang oleh nelayan di Jawa Tengah, khususnya di Pantura Jawa, semakin marak, karena dianggap paling efektif untuk menghasilkan tangkapan yang banyak.

Rata-rata ukuran mata jaring cantrang yang digunakan adalah 1,5 inci, di mana hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri bahwa ukuran mata jaring cantrang yang diperbolehkan berukuran lebih dari 2 inci. 

Kecilnya ukuran inilah yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian ikan karena ikut menjaring ikan muda yang masih berpotensi untuk tumbuh dan bertelur.

Permen No. 2 Tahun 2015 resmi mulai diberlakukan pada 1 Januari 2017. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, seluruh alat tangkap yang biasa digunakan, termasuk cantrang, telah ditetapkan statusnya sebagai terlarang.

Namun Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar mengatakan, pemberlakuaan Permen tersebut diberi kelonggaran hingga 6 bulan ke depan.

“Kita beri waktu toleransi selama enam bulan ke depan. Selama waktu tersebut, diharapkan pengguna alat tangkap, khususnya cantrang, bisa segera melakukan penggantian,” kata Zulifcar. 

Dalam periode tersebut, Zulficar mengatakan, pihaknya akan melakukan pendampingan.

Meski demikian, prakteknya di lapangan, nelayan merasa jadi buron di lautan lepas karena kerap diuber-uber oleh personel polisi air dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ia menganggap hal itu tak ada bedanya dengan sekelompok perompak.

“Mereka [nelayan] kadang dimintai ikan atau transferan uang tanpa tahu apa kesalahannya. Tahun 2015, saya temukan banyak kasus seperti itu,” kata Masnuah.

Beberapa nelayan asal Kabupaten Rembang, Juwana serta Batang, ditemukan telah disandera petugas di Makassar. Ia berpendapat apa yang dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan praktek pungli di laut.

“Imbasnya tentu pasokan ikan kian berkurang kemudian merugikan pabrik pengolahan ikan,” ujar Masnuah.

Karena itulah, ia berharap pemerintah lebih jeli dalam mengambil kebijakan yang bersinggungan dengan nelayan. Ia menyarankan pemerintah memberikan opsi terbaik agar mampu meningkatkan taraf hidup para nelayan Indonesia. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!