Yuni Widayanti merintis sekolah gratis bagi perempuan buta aksara

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Yuni Widayanti merintis sekolah gratis bagi perempuan buta aksara
Para ibu di desa ini merasa tak perlu punya keahlian membaca dan menulis karena hidupnya hanya mengurusi ladang dan ternak

SOLO, Indonesia – Titik sedang berusaha keras menulis sejumlah kata di atas kertas. Meski beberapa kali keliru menuliskan huruf, perempuan berusia 50 tahun itu tidak menyerah. Di usianya sekarang, ia baru belajar baca-tulis aksara Latin di sela kesibukannya menggarap ladang dan mengasuh cucu.

Ia berhenti sekolah saat duduk di kelas dua SD, kemudian kawin muda di usia 15 tahun, dan mengurus anak-cucunya hingga sekarang. Titik menjalani hidup dalam kondisi buta huruf sebelum akhirnya memutuskan belajar baca-tulis sejak enam bulan lalu.

“Saya ikut sekolah di sini, sudah mulai bisa menulis dan membaca. Susahnya umur sudah tua, kadang-kadang lupa,” ujar Titik yang kini menjadi peserta didik sekolah aksara di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al Hidayah di Desa Sambirejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, yang berlokasi sepelemparan batu dari rumahnya.

“Sekarang saya tidak lagi malu belajar meski sudah tua, saya ingin pintar.”

Sekolah non-formal yang berdiri sejak 2011 itu dirintis oleh Yuni Widayanti (43 tahun), seorang guru berstatus wiyata bakti – guru non-PNS yang mengajar di Taman Kanak-kanak Sambirejo 2. Yuni mengawali semuanya seorang diri, dari mulai mencari tempat, menyediakan fasilitas, hingga mencari peserta didik.

Ia mulai tinggal di desa itu sejak menikah dengan suaminya yang merupakan petani di Sambirejo. Jiwa sosialnya tersentuh ketika mendapati kenyataan bahwa penduduk sekitar desa banyak yang masih buta huruf dan putus sekolah. 

”Saya ikut sekolah di sini, sudah mulai bisa menulis dan membaca. Susahnya umur sudah tua, kadang-kadang lupa. Sekarang saya tidak lagi malu belajar meski sudah tua, saya ingin pintar.”

Pola pikir masyarkat agraris pedesaan yang menganggap perempuan hanya sebagai pembantu suaminya menggarap ladang dan membesarkan anak, diperburuk oleh tradisi pernikahan dini, menjadi penyebab banyaknya anak perempuan zaman dulu yang putus sekolah. 

Yuni memperoleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka buta huruf di Kecamatan Plupuh waktu itu yang jumlahnya lebih dari 3.000 jiwa. Ia ingin melakukan sesuatu untuk membantu mereka agar melek aksara.

Sarjana Pendidikan bidang bimbingan dan konseling di sebuah universitas swasta di Solo itu kemudian mulai mengajarkan ibu-ibu membaca huruf sembari mereka bekerja di ladang. Misalnya, mereka mengeja kata-kata sederhana seperti “Padi” atau “Nasi”. 

Di setiap tempat, di mana ibu-ibu berkumpul, Yuni sering meluangkan waktu mengajar mereka. Ia sendiri yang mendatangi mereka, karena umumnya ibu-ibu di desa enggan datang ke rumahnya, dengan alasan malu dan takut belajar.

“Setengah mati sulitnya mengajak ibu-ibu belajar. Mereka merasa tak butuh baca-tulis karena sehari-hari hidupnya hanya mengurusi ladang dan ternak,” kata Yuni.

“Karena niatnya ingin membantu, jadi saya yang berinisiatif mendatangi dan mencari mereka. Saya ajari mengenal abjad.”

Ibu tiga anak ini kemudian bercita-cita mendirikan sekolah yang bisa mewadahi mereka, namun dengan kelas yang fleksibel tanpa terikat waktu. Ia paham bahwa para perempuan yang rata-rata usianya di atas setengah abad tidak bisa dipaksa untuk belajar baca-tulis seperti di sekolah formal. 

Kebanyakan dari mereka hanya punya waktu sore atau malam hari, itu pun jika mereka tidak malas atau lelah setelah seharian membantu suaminya bertani. Kendala utama Yuni saat merintis sekolah ini adalah sulit mencari peserta didik.

“Awalnya hanya satu orang yang datang. Itu saja kami sudah bersyukur,” ujar Yuni.

BACA TULIS. Yuni mengajar di PKBM Al-Hidayah, sekolah yang ia dirikan tahun 2011. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Untuk menarik mereka, Yuni harus menggunakan acara bertema agama, seperti pengajian, sebelum mengajarkan mereka baca-tulis. Cara itu cukup efektif mengumpulkan ibu-ibu di desa, mengingat di wilayah itu masyarakatnya homogen beragama Islam. 

Terkadang dalil agama, seperti “Kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan”, lebih manjur untuk memengaruhi mereka ketimbang ajakan secara verbal semata.

Selain minat belajar yang sangat rendah, persoalan lain yang dihadapi Yuni adalah pendanaan. Ia sadar bahwa mendirikan sekolah non-formal tak hanya menguras energi tetapi juga butuh modal tak sedikit. 

Karena melihat semangat Yuni yang secara sukarela ingin membantu memberantas buta huruf, seorang bayan (sekretaris desa) mengikhlaskan rumah yang tak ditempatinya digunakan secara gratis untuk sekolah aksara. Sementara, Yuni hanya tinggal menyediakan fasilitas dan tutor untuk membantu pekerjaannya mengajar serta membiayai operasional sekolah.

Yuni jelas tak bisa hanya mengandalkan pendapatannya sebagai guru berstatus wiyata bakti yang hanya sebesar Rp100.000 – sekarang menjadi Rp200.000 ditambah tunjangan sertifikasi tiap tiga bulan. 

Beruntung, ia dan suaminya juga mengelola ladang di desanya, yang ditanami buah dan palawija, seperti semangka, melon, dan cabai, sebagai sumber penghasilan lain. Dari hasil pertanian itulah Yuni membiayai sekolah aksara. 

“Tetapi, tak selalu bagus hasilnya. Kadang buah melon kebanjiran, cabai busuk karena curah hujan tinggi,” kata Yuni.

Dari satu orang, jumlah peserta didik meningkat. Satu per satu mulai tak malu ikut belajar, hingga sampai hari ini jumlah peserta didiknya tersebar di 16 desa. Karenanya, kelas baca-tulis tak bisa lagi terpusat di satu tempat.

Yuni, kini dibantu sepuluh orang pengajar yang berusia sebaya dengan peserta didik, berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk mengajar. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 orang dalam satu dusun.

Yuni merancang program belajar sembilan bulan. Peserta mengikuti kelas dasar selama enam bulan, kemudian diteruskan dengan kelas lanjutan dalam tiga bulan. Namun, kelas lanjutan bisa diselesaikan lebih cepat dengan mengikuti kelas intensif selama 33 jam belajar.

“Setengah mati sulitnya mengajak ibu-ibu belajar. Mereka merasa tak butuh baca-tulis karena sehari-hari hidupnya hanya mengurusi ladang dan ternak.”

Mereka yang sudah menyelesaikan kelas lanjutan akan memperoleh sertifikat Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA). Para alumni tetap melakukan pertemuan setiap bulan untuk terus mengasah kemampuan literasi, dari mulai membaca koran, buku, hingga menulis dan memahami kalimat yang lebih rumit. 

Hingga hari ini, sekolah aksara sudah meluluskan sekitar 700 orang. Meski sudah lulus, kemampuan mereka tidak sama. Ada yang baru bisa menulis kata-kata sederhana, tetapi ada juga yang sudah bisa menulis surat atau puisi. 

Mereka yang sudah lancar dilibatkan dalam penulisan di media Pijar, semacam buletin yang dikelola dan diterbitkan sendiri oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al-Hidayah untuk mendukung upaya pemberantasan perempuan buta aksara. 

Ini merupakan upaya membiasakan budaya literasi di kalangan perempuan petani pedesaan agar apa yang sudah mereka pelajari tidak gampang lenyap, mengingat keseharian mereka hampir tak bersentuhan dengan aksara.

Sekolah non-formal ini menyasar target buta aksara usia 15-59 tahun, meski kebanyakan yang menjadi peserta didik adalah ibu-ibu. Semuanya gratis, karena kebutuhan di kelas sudah disediakan oleh Yuni, dari mulai buku, pensil, hingga kacamata untuk membaca. Tak ada pungutan uang.

Berkat kerja keras tanpa pamrih mendidik masyarakat buta aksara, Yuni mendapat apresiasi dari pemerintah daerah sebagai satu dari 4 perempuan inspiratif di Sragen akhir tahun lalu. Namun, menurut dirinya, apa yang ia lakukan belum berarti karena masih banyak penduduk yang belum melek huruf.

“Masih banyak desa yang belum tertangani, dan kami terus berusaha agar satu kecamatan bisa bebas buta aksara,” ujar Yuni.

Tidak hanya memberikan pendidikan literasi, PKBM saat ini juga mengembangkan kursus kewirausahaan gratis bagi perempuan usia produktif melalui berbagai ketrampilan kerja, seperti menjahit, membatik, dan membuat panganan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!