Mengapa kesenjangan pendidikan di Jawa dan Papua begitu tinggi?

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa kesenjangan pendidikan di Jawa dan Papua begitu tinggi?
Menurut seorang mahasiswa Papua, kurikulum pelajaran SMA di daerahnya setara dengan pelajaran SMP di Jawa, itupun diajarkan oleh guru dengan kompetensi seadanya

SOLO, Indonesia — Lisye Elsina Kareni tak bisa menyembunyikan ekspresi kegembiraannya saat mengikuti wisuda sarjana di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, akhir April lalu. 

Gadis asal Serui itu hampir tak percaya dirinya menjadi sarjana kedokteran pertama di antara 1.500 mahasiswa penerima beasiswa Afirmasi Pendidikan Dikti (Dikti) yang diberikan khusus bagi anak-anak asli Papua sejak 2012.

Lisye ingin mematahkan stigma negatif mahasiswa Papua yang menimba ilmu di kampus-kampus di Pulau Jawa yang identik dengan jarang masuk kelas, selalu tertinggal, gemar demonstrasi, dan sering berakhir dengan kegagalan menyelesaikan program kuliah. Ia justru membuktikan sebaliknya, lulus dari Fakultas Kedokteran UNS – salah satu fakultas kedokteran terakreditasi A di Indonesia – hanya dalam tujuh semester dengan IPK 3,22.

Namun, perjuangan itu tidak mudah. Lisye harus belajar tiga kali lebih keras dari teman-temannya. Ia merasa paling tak tahu apa-apa ketika pertama kali masuk fakultas. Sekalipun berasal dari SMA favorit di Jayapura, ia baru sadar bahwa kurikulum yang diajarkan di sekolahnya sudah usang dibanding sekolah-sekolah di Jawa.

“Saat orientasi, saya kaget, teman-teman saya pintar semua, tahu nama-nama tulang dan organ tubuh secara rinci,” kata Lisye saat berbincang dengan Rappler menjelang Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei.

“Ternyata ada di pelajaran biologi SMA. Sementara di Papua, kami hanya belajar tumbuh-tumbuhan, belum sampai anatomi tubuh,” ujarnya lagi.

Ia mengakui, sempat kelimpungan pada masa-masa awal. “Saya benar-benar seperti anak SD tersesat di fakultas kedokteran. Saya belajar dari nol lagi.”

Akibatnya, tiga semester pertama ia merasakan kesulitan dengan kurikulum yang diajarkan di fakultas dan nyaris patah arang. Namun keinginannya untuk menjadi dokter di Papua berhasil menyemangatinya untuk mengejar ketertinggalan.

“Saya akhirnya berbaur dengan mahasiswa dari daerah lain, tidak malu bertanya, dan fokus belajar lebih keras dari teman-teman saya,” ujar perempuan yang berencana mengambil spesialisasi dokter anak itu.

Masalah umum yang dihadapi mahasiswa Papua, menurut Lisye, adalah kesulitan beradaptasi dengan kurikulum dan kultur lokal di Jawa. Ketika kesulitan belajar, mereka merasa inferior, takut bertanya, enggan berbaur, tinggal dan berkumpul hanya dengan teman-teman Papua – yang membuat mereka gagal maju.

Beruntungnya, di Kota Solo tidak ada asrama mahasiswa khusus Papua, Aceh, dan Minang sebagainya seperti halnya di kota besar lain. Asrama kampus UNS menampung mahasiswa berbagai daerah dan mahasiswa asing, sehingga suka atau tidak mereka harus belajar berbaur.

Seperti Lisye, kesulitan belajar juga dialami Afsya Nelce Kemeray. Mahasiswi semester delapan jurusan psikologi UNS yang berasal dari Sorong ini juga kaget ketika pertama kali masuk bangku kuliah. Pada semester awal, ia terpaksa berusaha keras beradaptasi dengan banyaknya tugas mata kuliah dan presentasi – sesuatu yang baru baginya.

“Sebenarnya, saya sangat butuh semacam pembimbing di awal perkuliahan, karena proses adaptasinya terlalu berat bagi pelajar dari Papua seperti kami,” kata Afsya.

“Masalah umum yang dihadapi mahasiswa Papua adalah kesulitan beradaptasi dengan kurikulum dan kultur lokal di Jawa. Ketika kesulitan belajar, mereka takut bertanya, enggan berbaur, tinggal dan berkumpul hanya dengan teman-teman Papua.”

Di daerah asalnya, kurikulum pelajaran SMA kira-kira setara dengan pelajaran SMP di Jawa, itupun diajarkan oleh guru dengan kompetensi seadanya. Tak ada tugas, tak mengenal presentasi, dan tak tahu cara belajar mandiri. Sebaliknya, sekolah di Jawa jauh lebih unggul dari sisi kurikulum, kualitas guru, dan fasilitas sekolah.

 “Di Papua, SMA masih pakai kapur dan papan. Di sini sejak SD sudah pakai proyektor dan laptop,” ujar Afsya.

Sekalipun sempat keteteran, Afsya bersyukur bisa meneruskan pendidikan di Jawa yang kualitasnya lebih baik dari di tanah kelahirannya. Namun, ia ingin agar pemerintah memperbaiki kesenjangan pendidikan dan memperluas akses sekolah agar Papua tak selamanya tertinggal.

“Akses pendidikan masih belum merata di Papua. Tidak semua anak bisa sekolah seperti di Jawa,” kata mahasiswi yang bercita-cita berkarir di bidang psikologi klinis itu.

Piter Yikwa, mahasiswa semester enam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, adalah salah satu contoh anak Papua yang pernah merasakan betapa akses pendidikan di Papua belum merata. Penerima beasiswa Afirmasi Dikti ini mengakui pendidikan di Papua masih terbelakang meskipun sudah lebih dari setengah abad Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Piter pernah mengenyam pendidikan SMP di Kabupaten Puncak Jaya, di mana ia harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai sekolahnya dengan berjalan kaki. Bersekolah di Papua harus berjuang karena sekolahnya masih jarang, tidak segampang di Jawa.

“Saya berangkat jam 7:00 pagi, sampai di sekolah jam 9:00,” ujar mahasiswa asal Nabire itu.

Akses pendidikan diperparah dengan kualitas guru yang masih rendah. Menurut Piter, guru di daerahnya kurang memiliki kompetensi dalam hal pengajaran dan keilmuan selain juga jumlah sumber daya manusianya yang kurang. Kualifikasi guru SMA kebanyakan hanya lulusan D3, dan sangat sulit mencari sarjana yang bersedia menjadi guru.

Di sekolahnya dulu, Piter belajar dengan materi seadanya. Kurikulum sekolahnya sudah ketinggalan, dan tidak pernah diperbarui mengikuti perkembangan. Pelajaran yang diterimanya semasa SMA tak lebih maju dari kurikulum SMP di Jawa.

Selain itu, tradisi lokal di pedalaman yang tidak terbiasa dengan sekolah diakui Piter menjadi salah satu penyebab rendahnya motivasi belajar bagi anak-anak mereka. Anak-anak di Papua biasanya mengikuti kebiasaan orang tuanya – tidak bersekolah. 

Piter sebenarnya sudah terdaftar di Universitas Cendrawasih, Jayapura. Namun ia memutuskan untuk pindah ke Jawa begitu ia dinyatakan mendapat beasiswa Afirmasi Dikti. Ia ingin memperoleh pendidikan berkualitas sebagai bekal untuk menjadi seorang guru kelak.

“Di sana, setiap kali demo, kampus dipalang, jalan ditutup, kuliah libur berhari-hari, mahasiswa tak bisa belajar di kampus,” ujar pendukung fanatis Persipura Jayapura yang bercita-cita mendirikan sekolah bagi anak-anak Papua yang belum mendapatkan akses pendidikan itu.

Piter sendiri juga mengalami gagap budaya dan sempat kebingungan dengan metode belajar di bangku kuliah ketika pertama kali masuk. Tetapi karena motivasinya sangat kuat, Piter tidak menyerah dan terus belajar untuk membuat pengetahuannya setara dengan teman kuliahnya. 

“Motivasi belajarlah yang membuat saya bisa mengejar ketertinggalan,” ujar Piter.

Ketiga anak muda Papua itu sepakat bahwa persoalan kesulitan adaptasi di kampus-kampus di Jawa bersumber dari kesenjangan kualitas pendidikan di Tanah Air, sekalipun Indonesia sudah 71 tahun merdeka.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!