Bangkit dari Tragedi Mei: Merawat ingatan atas kesuraman 19 tahun lalu

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bangkit dari Tragedi Mei: Merawat ingatan atas kesuraman 19 tahun lalu
Rappler Indonesia mengadakan acara pembacaan puisi 'Bangkit Dari Tragedi Mei 1998' pada 12 Mei 2017

 

JAKARTA, Indonesia — “Andai sang korban adalah anak, adalah istri, atau saudara perempuanmu, apakah kau terima?” 

Kutipan itu berasal dari puisi berjudul Di Manakah Nuranimu? oleh Wilson Tjandinegara. Puisi dibacakan oleh Sarasdewi, penulis dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

Ia bersama enam orang lainnya membacakan puisi pada Jumat, 12 Mei 2017. Hari itu Rappler Indonesia menyelenggarakan acara pembacaan puisi Bangkit dari Tragedi Mei 1998

Tanggal itu dipilih karena pada hari itu 19 tahun yang lalu adalah awal dari pergerakan reformasi. Para mahasiswa mulai melakukan pergerakan saat itu. Korban-korban termasuk dari kalangan mahasiswa turut berjatuhan. Puncaknya Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998. 

NURANI. Dosen FIB UI dan penulis Sarasdewi, saat membacakan puisi 'Mei' karya Joko Pinurbo. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Acara tersebut diadakan karena adanya kerisauan masih ditemukannya masyarakat, terutama generasi muda yang belum paham atau bahkan belum tahu tentang salah satu masa kelam Indonesia tersebut. 

“Kami percaya bahwa puisi merupakan salah satu alat untuk merawat ingatan tersebut,” ujar Abdul Qowi Bastian, editor dan Community Engagement Lead Rappler Indonesia. 

Ungkapkan keprihatinan lewat puisi 

Selain Sarasdewi, hadir pula Hasan Aspahani. Ia adalah penulis buku kumpulan puisi Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering yangmenerimapenghargaan Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Puisi yang dibacanya berjudul Sungai yang Mengaliri Negeri Kami. Ia tulis puisi tersebut pada 2007, sekitar 8 tahun setelah Reformasi.

“Luka kita memang belum sembuh, luka baru alangkah subur, semakin berumur, semakin tumbuh” adalah salah satu kutipan dari puisinya. 

MEI 98. Penulis dan jurnalis Hasan Aspahani membacakan karyanya yang berjudul 'Sungai yang Mengaliri Negeri Kami'. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Sebelum membacakan puisi, Hasan menceritakan bagaimana ia menjadi saksi mata korupsi dilakukan pada Orde Baru. 

Kedua anaknya yang lahir pada 1999 dan 2003 tidak tahu betul peristiwa Mei 1998. Hari itu Hasan datang membawa kedua anaknnya. 

“Mereka tidak tahu tahu Reformasi, saya sengaja aja mereka mudah-mudahan dapat sedikit gambaran tentang peristiwa yang terjadi tahun 98 itu,” ungkapnya. 

Hadir pula Clarasia Kiky, yang masih kelas 4 SD dan tinggal di Malang saat tragedi Mei 1998 terjadi. Ia mengaku berusaha memahami tragedi Mei 1998 dengan membaca puisi karangan sendiri yang berjudul Kepada Mei. 

Puisi tersebut ia tulis sebagai tanggapan kepada puisi berjudul Mei yang ditulis oleh penyair Joko Pinurbo.

“Ada banyak cara untuk kita mendapatkan informasi dan salah satunya melalui karya sastra,” kata Kiky.

KEPADA MEI. Performer Clarasia Kiky menulis puisi balasan kepada Joko Pinurbo yang ia beri judul 'Kepada Mei'. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Turut membacakan puisi, Fajar Zakhri dari komunitas 100 Persen Manusia. Ia merupakan WNI keturunan etnis Tionghoa. Saat tragedi Mei 1998 terjadi ia masih berusia sekitar 6 tahun. 

“Selama sepanjang tahun 1998 karena tinggal di Jakarta, saya kayak dipingit, tidak boleh keluar rumah. Saya mencoba mengerti kenapa saya diperlakukan begitu,” kata Fajar.

“Saya tidak mengerti konteksnya kenapa Soeharto diturunkan, kenapa para mahasiswa itu berdemo. Tetapi 19 tahun kemudian saya semakin mengerti bahwa apa yang terjadi itu adalah kebobrokan sebuah sistem yang sudah begitu lama dan memang harus terjadi”. 

Ia membacakan puisi karya Wilson Tjandinegara yang berjudul Kita Tak Boleh Berdiam Diri.

PETA. Bentara Bumi, pendiri Malam Puisi, membacakan 3 puisi karya Aan Mansyur. Salah satu puisinya berjudul 'Melihat Peta'. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Bentara Bumi, pendiri dari Malam Puisi, membacakan tiga puisi karya Aan Mansyur. Salah satu puisinya berjudul Melihat Peta

“Di puisi ini saya juga lihat bahwa Aan Mansyur berusaha bangkit dari kesakitan, kesedihan atas kejadian-kejadian 98 dengaan menulis puisi,” kata Bumi. 

Ia berusia 13 tahun dan tinggal di Bandung saat tragedi Mei 1998 terjadi. 

Putri Minangsari, salah satu pendiri komunitas Unmasked Open Mic, membacakan puisi karyanya sendiri yang berjudul 19 years on

TAK TERGANTIKAN. Pendiri Unmasked Open Mic, Putri Minangsari, membacakan puisi saduran dari penyair Perancis, Charles Baudelaire. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

How can we stop this old, this long remorse?,” adalah kutipan dari rekaannya terhadap puisi berjudul L’irréparable karya Charles Baudelaire. 

“Saduran bebas dari Bahasa Perancis dan saya ubah sedikit supaya lebih sesuai dengan apa yang terjadi di sini saat ini,” ujarnya.  

Irine Roba, anggota DPR RI komisi X yang melingkupi bidang pendikan, olahraga, dan sejarah, juga hadir. Ia berusia 14 tahun saat tragedi Mei 1998 terjadi. 

JENDERAL. Anggota DPR RI, Irine Roba, membaca karya Wiji Thukul, 'Para Jenderal Marah-Marah'. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

“Tragedi itu [Mei 1998] sebenarnya harus kita tuntaskan,” ujarnya sebelum membacakan puisi karya Widji Thukul Para Jenderal Marah-marah.

Sebagai penutup, Qowi mengatakan, puisi selain menjadi alat untuk merawat ingatan tapi juga memiliki peran penting untuk mengedukasi, terutama bagi mereka yang pada saat itu belum lahir.

Sebagaimana Wiji Thukul pernah menulis, “Kekejaman kalian adalah buku pelajaran yang tidak pernah ditulis”. Puisi pun menjadi alternatif untuk mempelajari sejarah bagi para pemuda bagi mereka yang tidak mengetahui kerusuhan 19 tahun lalu itu. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!