Refleksi IDAHOT 2017: Perjuangan melawan homofobia bukan hanya milik LGBT

Fajar Zakhri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Refleksi IDAHOT 2017: Perjuangan melawan homofobia bukan hanya milik LGBT
Sebagai kelompok masyarakat yang kerap ditindas, sudah sepatutnya LGBT memiliki rasa solidaritas yang kuat terhadap kelompok lain yang mengalami penindasan

Akhir pekan kemarin, saya dan beberapa teman menonton sebuah film Inggris dari tahun 2014 berjudul Pride yang menceritakan tentang persekutuan tidak lazim antara komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di London dan komunitas penambang di Wales Selatan. 

Pada 1984, para penambang di Britania Raya mengadakan mogok kerja sebagai protes akan kebijakan penutupan tambang yang digagas oleh Perdana Menteri Margaret Tatcher, yang dikenal dengan sebutan Si Wanita Besi. Melihat kondisi ini, seorang aktivis gaydi London bernama Mark Ashton dan kawan-kawannya memprakarsai dibentuknya Lesbians and Gays Support the Miners (LGSM), yang bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi para penambang selama masa mogok kerja tersebut. 

Ide dan niat mulia ini tentunya menemukan banyak hambatan; bagaimana para penambang yang tinggal di desa dengan segala konservatisme mereka mau menerima uluran tangan dari para gay dan lesbian ibu kota yang dianggap aneh bahkan sampah masyarakat? 

Kondisi sosial dan politik yang sama-sama merugikan kedua komunitas ini tak disangka mampu menjadi sebuah perekat dan membangun jalinan persahabatan yang sungguh menggugah dan menginspirasi.

Sebetulnya itu bukan pertama kalinya saya menonton film tersebut— saya sudah menyaksikannya dua kali sebelumnya. Namun, yang membedakan pengalaman menonton saya yang ketiga adalah kali ini saya menonton bisa dibilang dengan sepasang mata baru. 

IDAHOT dirayakan setiap 17 Mei. Selama satu hari penuh kita semua diajak untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya melawan homofobia dan transfobia.

Menonton film tersebut dengan kawan-kawan saya yang juga mengidentifikasi diri mereka sebagai LGBT, keterlibatan politis saya dalam pergerakan LGBT di Indonesia serta hak perempuan dan keikutsertaan saya dalam aksi-aksi seperti Women’s March dan demo buruh memberikan saya pengalaman menonton film yang sungguh sangat menggugah dan menginspirasi, dengan impresi yang lebih mendalam dibandingkan sebelumnya. 

Meminjam peribahasa Inggris terkenal, mungkin ini yang dimaksud dengan third time’s a charm: butuh tiga kali menonton sampai benar-benar mampu memahami dan memaknai signifikansi dan relevansi akan interseksionalitas dalam pergerakan.

Interseksionalitas ini pula yang sehendaknya mendasari perayaan International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHOT) tahun ini. 

Dirayakan setiap 17 Mei, selama satu hari penuh kita semua diajak untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya melawan homofobia dan transfobia—terlebih sepanjang 2016 kemarin wacana LGBT begitu mencuri perhatian dalam skala nasional, yang sampai membuat Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berimajinasi dengan begitu liarnya dan menyebut LGBT sebagai bagian dari perang proksi. Belum lagi seorang psikiater yang begitu entengnya mengatakan bahwa LGBT adalah penyakit jiwa, sebelum mengeluarkan permintaan maaf setengah hati

Ironisnya, konsep IDAHOT didasari oleh penghapusan LGBT dari definisi penyakit kejiwaan sesuai ketetapan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sejak saat itu sudah diperingati di hampir 120 negara di seluruh dunia. 

PRIDE. Dalam film 'Pride', aktivis gay di London memprakarsai dibentuknya Lesbians and Gays Support the Miners (LGSM) untuk mengumpulkan dana bagi para penambang selama masa mogok kerja. Foto dari CBS Films

Penyelenggarannya sendiri pertama kali diadakan pada 17 Mei 2005 dengan akronim IDAHO sebelum akhirnya menjadi IDAHOT empat tahun kemudian, sebagai bentuk penyertaan sikap anti diskriminasi terhadap kelompok transgender. Di Indonesia sendiri, perayaan IDAHOT masih relatif baru sejak kemunculannya pada 2012.

Sudah 27 tahun sejak pertama kali dicanangkan. Kini semangat IDAHOT semakin menjadi relevan, bukan hanya di Indonesia, namun juga secara global. Yang membedakan, kali ini perjuangan melawan homofobia dan transfobia bukan hanya menjadi perjuangan kelompok LGBT, namun juga kelompok perempuan yang menuntut kesetaraan gender, perusahaan global bahkan dari kelompok agama

Layaknya tergambar film Pride, kelompok buruh di Indonesia pun menunjukkan solidaritasnya dengan kelompok LGBT. Sebaliknya, pergerakan LGBT tidak hanya seputar memperjuangkan hak-hak kesetaraan untuk kelompok LGBT saja. 

Saya dan kawan-kawan LGBT lain juga turut terlibat dalam perlawanan petani Kendeng melawan pabrik semen, demo buruh atau yang teranyar, mendukung pembebasan Ahok dan dihapusnya pasal penistaan agama. 

Keterlibatan kami bukanlah semata-mata ingin menggalang dukungan, apalagi menyusupi atau mengkooptasi pergerakan lain seperti yang mungkin ada di benak banyak khayalak ramai. Sebagai kelompok masyarakat yang secara historis kerap ditindas karena sebuah kualitas yang lahiriah, yaitu seksualitas dan gender, saya merasa bahwa sudah sepatutnya LGBT di mana pun memiliki rasa solidaritas yang lebih kuat terhadap kelompok-kelompok lain yang juga mengalami penindasan sistematis, baik secara sosial, budaya, ekonomi maupun politik. 

Ada satu kutipan dari karakter Mark Ashton dalam Pride yang membekas bagi saya. Dalam salah satu adegan di mana LGSM mengunjungi langsung para penambang di Onllwyn, Wales Selatan, Ashton berkata, “Aku tak pernah mengerti, apa gunanya mendukung hak kelompok gay tapi tidak mendukung hak-hak orang lain? Atau mendukung hak buruh tapi tidak mendukung hak perempuan? Itu tidak masuk akal bagiku.” 

Meskipun di awalnya LGSM mengalami resistensi yang cukup besar, Ashton bersikukuh kepada rekan-rekannya bahwa mereka memiliki niat yang baik dan LGSM tidak akan bersembunyi, melarikan diri, atau merasa bersalah karena menjadi diri mereka sendiri dalam menjalankan niat tersebut. Bagi saya, ini adalah semangat yang layak menjadi landasan perayaan IDAHOT sekarang dan seterusnya.

Dalam semangat tersebut, ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi terhadap IDAHOT 2017. Tahun ini, di samping diskusi publik, Arus Pelangi juga mengadakan kegiatan unik bertajuk TweetaThon atau Tweet Marathon yang mengedepankan tema Aware, Accept, Speak Up! atau Kenali, Terima, Suarakan! sebagai bentuk kampanye. 

Selama satu hari ini, mulai dari jam 10 pagi hingga 9 malam Arus Pelangi dan beberapa host lainnya akan berbagi informasi dan cerita seputar IDAHOT lewat tagar #IDAHOT2017 dan #IDAHOT2017ID. 

Rangkaian kegiatan ini diharapkan menjadi sebuah forum belajar bagi semua akan pentingnya pemahaman akan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender dan ketubuhan (sexual orientation, gender identity & expression and body – SOGIEB) serta penolakan segala bentuk stigma, kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT bukan hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. 

Karena pada akhirnya, keberagaman adalah sesuatu yang manusiawi dan patut dirayakan alih-alih ditindas. Dengan merayakan keberagaman, kita merayakan kemanusiaan secara seutuhnya dan berbanggalah menjadi seratus persen manusia. —Rappler.com

Fajar Zakhri adalah seorang analis media dan penerjemah berbasis di Jakarta. Penggiat musik, puisi dan aktivisme, sehingga kerap secara ironis menyebut dirinya sendiri sebagai “ikon pergerakan”. Baginya, the personal is political.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!