Mencoba memahami kerusuhan Mei ’98 dari kacamata millennial

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mencoba memahami kerusuhan Mei ’98 dari kacamata millennial

ANTARA

Sejauh mana pengetahuan mereka tentang kerusuhan Mei ’98? Ada yang warga di sekitar rumahnya menjadi korban

JAKARTA, Indonesia —Ketika para mahasiswa mulai bergerak pada 12 Mei 1998 dan akhirnya Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, sejumlah masyarakat Indonesia masih terlalu muda untuk mengerti. Saat itu, mereka belum mengerti bagaimana tumbangnya Orde Baru yang dipimpin jenderal bertangan besi itu membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia.

Mereka juga belum bisa menggambarkan kekerasan yang turut terjadi di rentang waktu 10 hari tersebut. Misalnya, bagaimana ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab membakar dan menjarah toko-toko. Pelaku kekerasan ada juga yang khusus menyasar mereka etnis Tionghoa untuk disakiti, diperkosa, atau bahkan dibunuh. 

Empat mahasiswa ditembak oleh aparat pada 12 Mei 1998. Sejumlah aktivis yang memperjuangkan Reformasi turut hilang di periode waktu tersebut. Ada dugaan kuat bahwa mereka diculik

Kekerasan yang terjadi pada Mei 1998 dianggap tragedi bagi sejumlah pihak. Sejumlah nama yang diduga sebagai otak di balik tragedi itu sudah muncul ke permukaan. Namun belum ada tindakan serius dari pemerintah untuk menelusuri, mengungkap, dan mengadili para pelaku. 

Selain itu usaha untuk membuat makin banyak orang paham peristiwa Mei 1998, termasuk tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya, juga dilakukan. 

Komik Di Bawah Bendera Reformasi dibuat untuk mempermudah pembelajaran mengenai peristiwa Mei 1998 dan Reformasi. Pembelajaran yang dimaksud khususnya di ruang kelas, antara guru dan murid. 

Sekolah memang menjadi salah satu tempat penyebaaran pemahaman mengenai peristiwa Mei 1998. Jovi Carina Handoko yang baru saja lulus dari salah satu SMA di bilangan Jakarta Utara mengaku mengetahui peristiwa Mei 1998 dari sekolah, orangtua, dan pemberitaan media. 

Ketika ditanya tentang apa yang ia ketahui tentang peristiwa Mei 1998, perempuan kelahiran 1999 itu coba menjawab. “Peristiwa Mei ’98 itu yang ada krisis ekonomi saat masa Orde Baru. Lalu ada demo mahasiswa hingga empat mahasiswa Trisakti meninggal, ditembak,” kata Jovina. 

Netta Anggraini menghabiskan masa kecilnya di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Lahir pada 1997, ia masih berusia 9 bulan ketika peristiwa Mei 1998 terjadi. 

“Waktu kecil aku tanya [ke orang tua], kalau di peristiwa itu ada kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Kekerasannya seperti perempuan yang diperkosa terus ada yang dibunuh atau dibakar. Aku enggak tahu alasannya kenapa. Pas di SMP atau SMA itu baru mengerti ternyata demi pergantian presiden,” kata Netta ketika ditanya hal yang sama. 

Ia kini mempelajari sinematografi di salah satu universitas di Kabupaten Tangerang, Banten. Saat proses belajar mengajar, sempat dibahas film-film mengenai peristiwa Mei 1998. Ia juga belajar bagaimana film dapat dibuat untuk advokasi atau menyadarkan penontonnya tentang suatu iu.  

Ketika peristiwa Mei 1998 terjadi, Wenny Mulyadi masih menikmati masa kecilnya sebagai murid Taman Kanak-kanak. Namun ia mengaku ingat samar-samar bagaimana api melahap toko keluarganya yang berada di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejumlah orang di lingkungan tempat tinggalnya juga turut jadi korban. 

Pengalaman itu mendorong ia untuk membuat penelitian untuk skripsi strata satunya. Topik yang diambil yaitu resiliensi korban peristiwa Mei 1998. 

“Resiliensi artinya kemampuan seseorang bangkit kembali setelah mengalami suatu peristiwa traumatik atau bencana. Saya ingin melihat apa potensi itu [bangkit kembali] ada di dalam diri manusia atau ada faktor-faktor lain yang memengaruhinya,” kata perempuan yang lahir pada 1995 itu. 

Setelah mewawancarai sesama penyintas peristiwa Mei 1998, Wenny bisa menyimpulkan bahwa mayoritas responden pesimis dalang kekerasan akan terungkap dan diadili. 

“Mayoritas hanya berharap kejadian serupa jangan sampai terulang lagi. Mengingat ‘kondisi sekarang’, kan, mereka takut itu bisa terjadi lagi,” ujarnya merujuk kepada meningkatnya tindakan diskriminasi kepada kaum minoritas, khususnya etnis Tionghoa, pada masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. 

Wenny mengatakan, sekarang ini pun pemerintah terkesan mengulur-ulur pengungkapan. Memang, menurut teori psikologi yang ia pelajari, kondisi psikologis para penyintas belum pasti lebih baik bila pelaku diadili. Namun ia menekankan pentingnya keadilan yang merupakan hak para penyintas. Akankah itu terwujud? Wenny hanya bisa berharap. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!