Derita pengrajin bulu mata palsu di Purbalingga

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Derita pengrajin bulu mata palsu di Purbalingga
Buruh plasma di sentra bulu mata Purbalingga hanya dibayar sekitar Rp200 hingga Rp400 dari setiap pasang yang dibuat, jauh di bawah UMK daerah tersebut

PURBALINGGA, Indonesia — Sudah delapan tahun ini Kuswati bekerja sebagai buruh plasma pengrajin bulu mata palsu.

Matahari baru merangkak naik. Kabut dingin masih menyelimuti langit desa di lereng Gunung Slamet di Desa Panusupan, Rembang, Purbalingga. Namun Kus, panggilannya, sudah mengawali rutinitasnya di pagi hari.  

Ia duduk di kursi sofa sambil membungkukkan leher. Kedua kakinya sibuk mengikat dan merentangkan benang pada dua buah paku yang tertancap di sebuah meja kecil di hadapannya.

Ia mengambil seikat rambut yang ia dapat dari pengepul, lalu mengurainya per helai dengan sangat teliti. Tatapan Kus penuh konsentrasi saat memasukkan setiap helai rambut yang ia tekuk sejajar ke lubang jarum, lalu menarik dan merentangkannya.

Perempuan berusia 24 tahun itu mengerjakan aktivitas rumit tersebut dengan kedua kakinya. Jemari kakinya kini sudah lincah merajut bulu mata berukuran lembut.

“Awal berlatih sempat putus asa, karena setiap kali ditarik rambutnya dengan kaki, lepas. Dulu sehari hanya bisa buat satu pasang bulu mata,” kata Kus kepada Rappler saat dikunjungi di rumahnya.

“Awal berlatih sempat putus asa, karena setiap kali ditarik rambutnya dengan kaki, lepas. Dulu sehari hanya bisa buat satu pasang bulu mata.”

Kus adalah penyandang tuna daksa di desa terpencil yang jauh dari akses kota. Ia dilahirkan tanpa kedua tangan di tengah keluarga petani yang berkekurangan.

Di desanya, tidak ada lapangan pekerjaan lain selain bertani dan bekerja sebagai buruh plasma rambut dan bulu mata palsu, seperti dijalani kebanyakan perempuan di desanya.

Ia pun terpaksa menekuni pekerjaan yang sebetulnya berat dilakoni dengan keterbatasan fisiknya.

“Saya iri lihat teman-teman saya yang bisa bekerja dan membantu orangtua. Saya hanya ingin mandiri dan membahagiakan orangtua saya,” kata Kus yang terpaksa putus sekolah saat duduk di kelas 3 SD.

Karena keterbatasannya, Kus hanya mampu mengerjakan sekitar 70 persen proses pembuatan bulu mata. Ada bagian pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan kedua kakinya.

Tugas ibunya, Ruswati, yang juga seorang buruh plasma, adalah menyempurnakan pekerjaan anaknya sehingga kerajinan Kus bisa disetor ke pengepul.

Sayangnya, upah Kus tidaklah seberapa. Ia hanya dibayar Rp200 dari setiap pasang bulu mata yang berhasil ia buat. Dalam sehari, Kus mampu membuat 20 pasang mata.

Upah Kus lebih kecil dari buruh plasma lain karena hasil pekerjaannya dianggap belum sempurna.

“Sehari saya hanya dapat Rp4.000 dari upah buat bulu mata,” katanya.

Lebih menyedihkan lagi, ia tak mengenal hari libur. Kus bekerja selama 10 jam setiap hari, mulai pagi pukul 08:00 WIB hingga senja kala Maghrib tiba.

Nasib buruh plasma lain di Desa Panusupan tak kalah memprihatinkan. Rianti, misalnya, terpaksa bersedia menerima upah kecil atas pekerjaannya karena tidak punya alternatif pekerjaan lain yang lebih baik.

Meski jasanya dibayar murah, ia mengaku bersyukur bisa membantu suaminya menafkahi keluarga.

Berbeda dari Kus, dari setiap pasang bulu mata yang ia buat, Rianti mendapatkan upah dari pengepul sebesar Rp440.  Dalam sehari, ibu satu anak ini rata-rata bisa membuat 30 pasang bulu mata. Dengan demikian, rata-rata perhari Rianti hanya menerima upah Rp13.200.

“Upah itu saja sudah naik dari sebelumnya. Sebelumnya di bawah Rp400 per pasang bulu mata,” kata Rianti.

Kuswati lincah merajut bulu mata dengan kaki. Gadis 24 tahun itu tidak memiliki tangan sejak lahir. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Alih-alih mendapatkan upah layak, para buruh bulu mata tidak memeroleh jaminan sosial atau asuransi kerja dari pihak yang memerkerjakan mereka.

Pola hubungan industrial pada sistem kerja yang dianut buruh plasma ini tidak jelas. Rianti bahkan tidak mengetahui, ia bekerja kepada siapa sesungguhnya. Ia tak tahu produk bulu mata karyanya disetor kepada siapa atau dijual ke mana.

Para buruh plasma di desanya selama ini hanya berurusan dengan pengepul yang setiap seminggu sekali mengambil hasil pekerjaan dari para pengrajin.

Rianti juga mengeluhkan ketiadaan Tunjangan Hari Raya (THR) sebagaimana diperoleh oleh buruh di perusahaan bulu mata di kota.

“Tidak ada jaminan sosial dan tidak ada THR. Tapi kalau hasilnya kurang bagus, barang dikembalikan dan tak dibayar,” katanya

Tak punya payung hukum

Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pelatihan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Purbalingga, Tukimin, mengatakan terdapat sedikitnya 15 ribu pengrajin bulu mata yang tersebar di berbagai kecamatan di daerah tersebut.

Ia membenarkan, upah yang diperoleh buruh plasma itu jauh di bawah Upah Mininum Kerja (UMK) Kabupaten Purbalingga yang saat ini mencapai sekitar Rp1,5 juta per bulan.

Mereka juga tidak memeroleh jaminan sosial sebagaimana karyawan reguler perusahaan.

“Memang upah yang mereka dapat jauh dari kata layak,” kata Tukimin.

Ia mengaku dilematis. Di satu sisi, pihaknya prihatin melihat nasib ribuan buruh plasma yang memeroleh upah tak layak dari pihak yang memerkerjakan mereka. Namun di sisi lain, pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk mengangkat nasib para buruh plasma.

Ketiadaan payung hukum untuk melindungi hak buruh plasma jadi kendala bagi pemerintah untuk melangkah. Buruh plasma tidak terikat target waktu dan hasil kerja layaknya karyawan reguler. Hubungan industrial mereka juga tidak jelas sehingga menyulitkan pemerintah untuk memediasi permasalahan mereka dengan pihak terkait.

“Tidak teridentifikasi apakah mereka bekerja pada PT atau individu. Sebab sekarang juga sudah banyak bulu mata yang beredar di pasaran, bukan hanya ekspor,” ujar Tukimin.

Purbalingga dikenal sebagai salah satu sentra penghasil rambut dan bulu mata terbesar di dunia. Data dari Disnakertrans Purbalingga, sedikitnya terdapat 32 industri besar bulu mata palsu di daerah tersebut, 22 di antaranya adalah usaha Penanaman Modal Asing (PMA) dan 10 lainnya merupakan perusahaan pribumi.

Produk bulu mata palsu Purbalingga juga diekspor ke berbagai belahan dunia, antara lain benua Eropa dan Amerika. Sejumlah produsen kecantikan dunia dan selebritas dunia menggunakan produk tangan perempuan desa di Purbalingga.

Penyanyi Amerika Serikat, Katy Perry, pun disebut pernah menggunakan produk Eyelure, varian produk PT Royal Korindah, perusahaan bulu mata tertua di Purbalingga. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!