Merawat Candi Borobudur dengan tidak duduk di stupa

Wirawan Perdana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merawat Candi Borobudur dengan tidak duduk di stupa

ANTARA FOTO

Berita wisatawan duduk di stupa Candi Borobudur membuat penulis geram. Tapi alih-alih menghujat, lebih baik melihat secara garis besar apa yang bisa kita semua lakukan

 

Membaca berita tentang wisatawan yang duduk di stupa Candi Borobudur, yang padahal sudah terpampang tulisan “Dilarang Duduk”, membuat hati saya teriris-iris sebagai umat Buddha. 

Saya sedih dan geram, mengingat stupa adalah simbol suci untuk mengenang keluhuran Buddha Gotama, Guru Junjungan dalam agama Buddha. Setelah Buddha Gotama mangkat, stupa didirikan sebagai bangunan untuk menyimpan abu kremasi beliau. 

Beberapa tahun kemudian, stupa didirikan sebagai simbol penyebaran agama Buddha. Tentu duduk di stupa bisa mengurangi keluhuran simbol agama Buddha ini. 

Namun, saya coba berpikir jernih. Bisa saja para wisatawan kelelahan setelah mendaki candi dan ingin “numpang” duduk sebentar di stupa, tanpa memedulikan larangan duduk di atasnya.

Perlu diketahui bahwa pada 2016 lalu, sebuah iklan minuman berenergi sempat dituntut oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) untuk meminta maaf karena menampilkan tayangan aktor yang melompati stupa di Candi Borobudur. 

Kejadian ini menunjukkan betapa bermaknanya stupa dalam agama Buddha. Terlebih lagi, stupa yang merupakan bagian dari Candi Borobudur merupakan situs warisan dunia, sekaligus sebagai bangunan bersejarah yang menunjukkan perabadan bangsa Indonesia, yang harus kita rawat dan lestarikan bersama. 

Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang berkunjung ke sana pada akhir Juni lalu mengatakan, Candi Borobudur merupakan simbol toleransi Indonesia. Maka dari itu kita, sebagai masyarakat Indonesia, harus merawatnya dengan baik.

OBAMA. Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama melambaikan tangan saat mengunjungi Candi Borobudur. Foto oleh Anis Efizudin/Antara

Daripada menggerutu dan berkoar-koar menyalahkan mereka yang alpa dan duduk di stupa, saya malah berharap agar pihak pengolola Candi Borobudur bisa lebih sigap lagi dengan kejadian seperti ini. Pihak pengelola harus berani menegur dan memberikan pemahaman kepada wisatawan yang duduk di stupa, bahwa stupa adalah objek yang sakral dalam agama Buddha. 

Hal ini tentu lebih efektif ketimbang memperkarakan wisatawan yang mungkin tidak tahu makna stupa dan duduk di atasnya. Selain bisa memicu disintegrasi, memperkarakan seseorang tanpa memberikan pemahaman, tentu bukanlah hal yang bijaksana. 

Tak hanya sebatas tidak duduk di atas stupa saja, wisatawan seharusnya menumbuhkan kesadaran untuk merawat kebersihan candi dengan tidak buang sampah sembarangan. Pasalnya, selain sebagai objek wisata, Candi Borobudur juga kerap digunakan sebagai objek ibadah umat Buddha, khususnya pada hari raya Waisak dan Asadha. 

Terlebih saat ini, sejak 6 hingga 8 Juli 2017, tengah berlangsung Tipitaka Chanting untuk memperingati Hari Asadha. Maka dari itu, baik wisatawan maupun pihak pengelola harus berperan aktif dalam menjaga keagungan, ketertiban, dan kebersihan kawasan candi. 

Kita tentunya menginginkan objek ibadah kita masing-masing tetap bersih dan dihargai, bukan? Sudah saatnya kita menjadi wisatawan yang cerdas. 

Bacalah larangan dan ketentuan ketika berkunjung ke sebuah tempat wisata. Apabila sudah tertera dilarang duduk, tidak sepantasnya kita malah mencuri-curi untuk duduk. 

Marilah kita bersikap bijak dan cerdas ketika berwisata di salah satu candi terbesar di dunia ini, maupun di destinasi wisata lainnya. —Rappler.com

Wirawan Perdana adalah mahasiswa jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!