‘Audio Perpetua’: Perjuangan tuna netra Filipina meraih kesempatan kerja

Nicole Curby

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Audio Perpetua’: Perjuangan tuna netra Filipina meraih kesempatan kerja
Dokumenter ‘Audio Perpetua’ mengikuti keseharian kaum pekerja tuna netra selama dua tahun, mengangkat pentingnya mempekerjakan kaum disabilitas

JAKARTA, Indonesia — Pernahkah Anda menonton sebuah film dokumenter dan merasa mengenal para tokohnya? Dan bertanya-tanya apa yang terjadi setelah itu? Apakah film dokumenter itu berdampak pada kehidupan mereka atau tidak?

Sebuah inisiatif yang berbasis di Jakarta ingin memastikan kalau sebuah film dokumenter tidak hanya meninggalkan Anda dengan perasaan senang atau sedih. Film dokumenter asal Filipina, Audio Perpetua, ingin mengubah perasaan itu menjadi perubahan sosial.

“Orang-orang memanggil saya Carol Catacutan. ‘Catacutan’ dalam bahasa Filipina berarti  menakutkan,” kata Carol, seorang penulis tuna netra asal Filipina.

“Saya selalu bilang sebaiknya Anda takut pada saya, karena saya orang yang sangat tangguh.”

Belum lama ini saya bertemu Carol di Jakarta. Saat itu dia memakai kardigan ungu muda dan senyuman hangat menghiasi wajahnya. Carol tidak nampak menakutkan.

Tapi saya bisa merasakan kalau Carol adalah orang yang pantang menyerah dan tangguh. 

Dia mengklaim sebagai satu-satunya tuna netra di Filipina yang pernah menulis skrip untuk televisi.

“Ini media yang sangat bagus, jadi seperti orang buta yang bercerita pada orang yang bisa melihat. Saya juga menulis dua novel roman dan sudah terbit. Ketika saya terlibat dengan organisasi ini, saya merasa ini seperti sebuah panggilan, sebuah misi, jadi saya berikan semuanya,” kata Carol.

Saat ini Carol mendedikasikan waktunya untuk ATRIEV, sebuah organisasi yang berbasis di Manila. Lembaga ini melatih orang-orang dengan gangguan penglihatan agar bisa memakai komputer dan teknologi lain.

Tujuannya agar mereka punya keterampilan dan bisa bekerja secara profesional. Pada akhirnya ini akan membuat mereka bisa hidup mandiri.

“Ketika kami mulai melatih tuna netra cara memakai komputer, ini membuka banyak kesempatan. Mungkin dulu Anda tidak bisa bayangkan ada programmer tuna netra, tapi sekarang kami punya programmer junior dan pengembang perangkat lunak. Mereka adalah lulusan kami. Kami punya agen call center, petugas transkrip, dan asisten virtual. Jadi peluang ini ada karena mereka belajar di ATRIEV,” ujar Carol.

Salah satu cuplikan adegan dari 'Audio Perpetua'. Foto dari Median Publicist

Filipina adalah salah satu ibu kota call center di dunia, dimana ada 1,2 juta orang bekerja di industri ini. Itu berarti ada banyak lowongan pekerjaan di bidang jasa dan teknologi.

Tapi punya keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan hanyalah rintangan pertama yang harus diatasi.

Perusahaan sering enggan mempekerjakan orang dengan gangguan penglihatan. Dan kalaupun ada yang mau, perusahaan kerap memperlakukan mereka tidak setara dengan staf lain.

Hal ini diamini oleh Ivy Baldoza, sutradara dokumenter Audio Perpetua.

“Beberapa orang tidak begitu sabar kepada orang dengan gangguan penglihatan, beberapa bahkan sangat merendahkan. Padahal mereka juga tidak mau seperti itu. ‘Anda tidak perlu menggurui saya, saya bisa melakukan pekerjaan saya.’ Jadi di sana kesulitannya,” kata Ivy.

Audio Perpetua tentang perjalanannya mengikuti para peserta di ATRIEV.

Mengapa film ini membahas tentang kaum tuna netra? Ini penjelasan produser film, Melanie Entuna.

“Selalu ada pertanyaan ke kami, mengapa kita harus mempekerjakan orang dengan disabilitas ketika bisa mempekerjakan orang-orang yang sangat mampu? Jadi film dokumenter ini penting karena kami ingin menunjukkan dan menciptakan kesadaran kalau Anda bisa mempekerjakan orang-orang disabilitas,” kata Melanie.

Setelah tiga tahun syuting dan produksi, pembuatan film dokumenter itu kini berada di tahap akhir.

 

Tapi Melanie mengaku belum puas jika hanya merilis film ini dan berharap yang terbaik.

Ivy dan Melanie bermitra dengan GoodPitch, sebuah lembaga yang berbasis di Jakarta. Ini adalah  lembaga nirlaba yang memfasilitasi pendanaan dan jaringan untuk mendorong perubahan lewat film.

“Kami ingin memberi workshop soal sensitivitas bagi orang yang bisa melihat sehingga mereka tahu bagaimana menghadapi orang dengan gangguan penglihatan. Kami ingin mendidik pengusaha cara mempekerjakan dan memperlakukan tunanetra saat berada di lingkungan profesional,” kata Melanie. 

“Kami ingin menciptakan kesadaran melalui pemutaran film terutama di sekolah-sekolah. Kami mencari dukungan teknologi dan peralatan.”

Dan Melanie memastikan para pemain film itu tetap bisa menikmati film ini. 

“Selain membuat film dokumenter, kami juga membuat deskripsi audio tentang film ini. Tujuannya: menciptakan pengalaman luar biasa bagi mereka. Dalam deskripsi audio ini, para pengisi suara menggambarkan seluruh adegan yang terjadi. Ini akan jadi pengalaman bagi mereka,” ujar Melanie.

Bagi Carol, adalah sebuah kehormatan bisa bermain di film ini. Meski dia mengaku agak aneh harus diikuti kru film selama dua tahun. 

Ini mungkin menghalangi geraknya tapi tentu saja tidak menghalangi ketangguhannya. 

“Kami selalu mengatakan kepada mereka, ‘sebaiknya kalian keluar dari jalan orang buta, jika tidak, kami akan menginjak kamera kalian. Jadi hati-hati!” kata Carol sembari tertawa. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!