Merawat jejak stasiun tertua Semarang di tengah gempuran abrasi

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merawat jejak stasiun tertua Semarang di tengah gempuran abrasi
Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Semarang mengakui, kampung Spoorland sebagai lokasi stasiun pertama Indonesia

 

SEMARANG, Indonesia — Ngatiyem tiba-tiba membuka lebar-lebar daun jendelanya saat Rapper menyambangi rumahnya di Kampung Spoorland, Kelurahan Tambaksari, Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu siang itu.

Sejurus kemudian raut mukanya begitu ramah saat mempersilakan masuk ke dalam rumah. Tak ada yang istimewa pada ruang tamunya, kecuali beberapa kusen yang semakin berkarat.

“Saat pertama kali saya datang tahun 1954 silam, hanya ada hamparan besi-besi rel kereta api. Tetapi karena kena banjir rob, maka ini terpaksa diuruk sampai lima meter,” kata Ngatiyem sembari menunjukan tegel hitam di ruang tamunya.

Di usia yang sudah menapaki angka 76 tahun, ingatannya sangat tajam tatkala menceritakan awal mula dirinya menghuni lahan bekas stasiun Semarang Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS). Semarang NIS, begitulah nama stasiun tersebut berdiri jauh sebelum hari kemerdekaan Indonesia tiba.

Ngatiyem mengaku menyimpan sejuta kenangan masa lalu pada bangunan tersebut. Ia tahu persis bagaimana gejolak alam hampir menenggelamkan stasiun tertua di Bumi Nusantara itu.

“Stasiun Semarang NIS menyimpan sejarah panjang dalam pergulatan jasa perkeretapian Indonesia. Di stasiun itulah, pemerintahan kolonial Belanda menggantungkan roda perekonomiannya.”

Mendiang suaminya yang bernama Suyono saat itu bekerja sebagai masinis kereta barang. Keretanya setiap hari wara-wiri di Stasiun Semarang NIS untuk menurunkan ragam hasil rempah yang diangkut dari barat Jakarta.

Rumah yang ia tempati sekarang merupakan gudang barang Stasiun Semarang NIS. Ornamen-ornamennya masih melekat dalam memorinya sampai saat ini. Jika tempo dulu stasiunnya menghadap ke selatan, kini letaknya ia ubah jadi ke utara.

“Ini masih ada bekas lengkungan jendelanya. Lalu di luar ada besi interior stasiun. Tembok dan atapnya masih asli kayak dulu. Tidak ada perubahan sama sekali meski kadang harus tambal sulam biar saat hujan tidak bocor,” katanya sembari menghela napas dalam-dalam.

Ia berpendapat merawat jejak stasiun tertua lebih penting ketimbang memikirkan egois pribadi. Baginya, sejarah panjang Stasiun Semarang NIS lebih berharga seperti yang sudah disampaikan almarhum suaminya.

“Suami berpesan agar ‘ndak usah neko-neko. Jalani apa adanya. Toh bangunan ini bukan milik saya. Jika akan diambil lagi oleh PT KAI, saya ikhlas, lha wong saya cuma numpang tanpa merubah apapun di sini,” akunya merujuk kepada PT Kereta Api Indonesia.

Ngatiyem tak sendiri tinggal di bekas Stasiun Semarang NIS. Di lokasi yang sama terdapat 35 kepala keluarga. Mereka kebanyakan anak keturunan pegawai stasiun yang lama purna tugas. Bekas bangunan stasiunnya dibuat sekat-sekat agar mampu menampung semua anggota keluarga.

Praktis, sejak suaminya meninggal, ia sudah 55 tahun menempati lahan tersebut. Sejak saat itu, janda pegawai kereta ini rutin diberi uang pensiunan dari PT KAI. Saban bulan, rekeningnya terisi Rp1,5 juta.

“Doa yang selalu dipanjatkan kepada Tuhan selalu memberikan anugerah rezeki berlimpah. Saya sangat bersyukur akan hal itu. Setiap hari saya tinggal bersama anak saya yang terakhir,” ujar nenek 16 cucu dan 7 putra tersebut.

Urat nadi perekonomian di masa lampau

Stasiun Semarang NIS memang menyimpan sejarah panjang dalam pergulatan jasa perkeretapian Indonesia. Di stasiun itulah, pemerintahan kolonial Belanda menggantungkan roda perekonomiannya. Rangkaian kereta barang kala itu sibuk berbenturan untuk mengirimkan barang dari daerah Cepu hingga ujung Tegal.

Tak jauh dari situ terdapat pula depo loko barang. Bahkan, hanya selemparan batu juga masih menyisakan bangunan Stasiun Semarang Goedang yang berhenti beroperasi pada 2006. Di dekatnya ada pula Stasiun Kemijen, yang konon dipakai untuk naik turun para penumpang.

“Hanya saja, mayoritas jejak sejarah stasiun itu sudah hancur di dalam air rob dan tambak. Lalu lokasinya jadi rumah padat penduduk,” kata Tjahjono Rahardjo, seorang peneliti kereta api dari komunitas Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Semarang.

Tjahjono memastikan rel Stasiun Semarang NIS sudah lenyap. Padahal, semula terdapat bentang rel dari jalur Semarang-Solo-Yogyakarta selebar 1435 mm. Namun mengingat kesulitan keuangan di masa lampau, akhirnya lebar rel kereta dipersempit hanya 1067 mm. 

Butuh campur tangan pemerintah

Tjahjono mengatakan, dari tiga stasiun tua, kini hanya menyisakan dua jejak bangunannya. Sedangkan satunya lagi sudah tergerus abrasi. Saking lamanya, ia pun harus memakai perangkat Global Positioning System (GPS) demi mendapatkan titik lokasi Semarang NIS.

Sayangnya, pemerintah daerah tak merespon dengan baik penemuan bangunan stasiun bersejarah tersebut. PT KAI tak mengakomodirnya ke dalam ruang historia Museum KAI. Alasannya karena belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Sehingga kawasannya yang kini berupa perkampungan padat penduduk masih terabaikan. 

“Tapi sudah untung KAI sudah mengakui bahwa Semarang NIS sebagai stasiun pertama di Indonesia,” ungkapnya.

Ia menganggap PT KAI semestinya jeli untuk menetapkan Semarang NIS sebagai destinasi cagar budaya. Mengingat begitu besar peranan stasiun tersebut dalam perkembangan perkeretaapian di Tanah Air.

Sejak IRPS menerbitkan hasil penelitian Semarang NIS, Balai Arkeologi Nasional akhirnya meneliti lebih lanjut kawasan Spoorland dan mengakui kampung Spoorland sebagai lokasi stasiun pertama Indonesia.

“Paling lokasinya dipertahankan agar tidak semakin rusak. Lagian bisa dibangun monumen Kereta Indonesia. Supaya orang tahu, oh ini toh stasiun pertama di Nusantara,” katanya.

Sedangkan Ngatiyem berharap pemerintah Indonesia lebih memperhatikan nasib para janda  pensiunan pegawai PT KAI. Uang pensiunan memang perlu, katanya. Namun sebaiknya diberi santunan supaya beban hidupnya berkurang.

“Apalagi banyak yang hidupnya susah setelah suaminya meninggal. Belum lagi yang kena gusur,” kata Ngatiyem. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!