Mixed Martial Arts

FemFest 2017: Tantangan mendekatkan feminisme kepada millennial

Dzikra Fanada

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

FemFest 2017: Tantangan mendekatkan feminisme kepada millennial
Menjelaskan konsep feminisme bukan hal yang mudah, terlebih bagi perempuan muda. Berikut tiga tantangan untuk mendekatkan feminisme kepada millenial

 

JAKARTA, Indonesia — Sebagai generasi millennial, ada banyak hal baru yang mulai masuk ke dalam kehidupan, termasuk masalah kesetaraan gender dan feminisme. Masalah ini yang sedang banyak dibicarakan sekaligus diperbincangkan oleh para relawan feminis.

Setiap hal yang ada tentu memiliki polanya masing-masing di dalam masyarakat sosial. Ketika berbicara feminis, masih banyak ketidaktahuan di lingkungan sekitar mengenai hal tersebut. Bahkan pada akhirnya menimbulkan prasangka buruk dan konsepsi yang salah.

Kurangnya pengetahuan mengenai feminisme di masyarakat Indonesia akhirnya menjadi tantangan tersendiri bagi millennial. Mereka yang akan meneruskan untuk memperjuangkan feminisme harus mencoba menjelaskan nilai-nilai dari feminisme kepada mereka yang tidak melek pengetahuan feminisme. Hal tersebut memang bukan hal yang mudah.

Maulidia Raviola, dari organisasi anak muda Pamflet, menyampaikan tiga tantangan untuk mendekatkan feminisme kepada millennial. Ia menyampaikan hal tersebut dalam gelaran Feminist Fest 2017 yang diselenggarakan pada Sabtu, 26 Agustus, di SMA 1 PSKD, Senen, Jakarta Pusat.

Berikut tantangannya:

Mengubah stigma mengenai feminisme

Ada banyak stigma atau ciri negatif yang dilontarkan kepada para relawan feminisme. Kebanyakan dari stigma yang ada bahwa orang yang feminis berarti mereka mudah kesal dan marah-marah. Selain itu, ada juga yang memiliki pemikiran bahwa feminis berarti anti-menikah terlalu menjunjung tinggi gendernya. 

Padahal, semua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan feminisme. Ada banyak feminis yang juga menikah dengan laki-laki. Banyak juga feminis yang setiap berbicara dengan nada yang halus dan rendah. Itu semua merupakan pilihan dan kepribadian masing-masing.

Sayangnya, stigma semacam ini sudah melekat di masyarakat. Para millennial yang baru mencari tahu mengenai feminisme ditakutkan percaya terlebih dahulu dengan stigma yang ada. Memang pada akhirnya dibutuhkan penjelasan dan ngobrol bareng dengan para feminis agar menyingkirkan ciri negatif tersebut.

Tidak monolitik

Banyak masyarakat umum yang mengira bahwa feminisme itu monolitik. Hanya memiliki satu aliran, satu tujuan, satu keinginan, dan satu lainnya. Nyatanya, hal tersebut tidak tepat.

Ada beberapa aliran dalam feminisme. Setiap alirannya memiliki tujuan, keinginan, dan pemahaman yang berbeda mengenai feminisme. Seperti Feminisme Liberal yang mengartikan perempuan memiliki kebebasan penuh secara individual. Jenis ini menyatakan pula bahwa setiap manusia itu sama, baik perempuan ataupun laki-laki. Maka dari itu, perempuan bisa mengerjakan hal yang biasanya dikerjakan laki-laki.

Juga ada Feminisme Marxis. Aliran semacam ini menginginkan adanya penghapusan kelas berdasarkan gender di kalangan masyarakat. Jenis ini juga mengibaratkan laki-laki sebagai borjuis (kelas menengah ke atas), sedangkan perempuan adalah proletar (golongan paling render) yang ditindas.

Hal yang seperti ini memang harus dipelajari lebih lanjut oleh masyarakat dalam pendidikan feminisme. Namun, di Indonesia sendiri, sulit untuk mendapatkan pendidikan semacam itu. Untuk itu, ada banyak organisasi ataupun lembaga yang memberikan pendidikan feminisme kepada millennial lewat berbagai macam cara. Mulai dari media sosial, hingga mendatangi langsung lokasi mereka yang ingin belajar.

Bagian dari politik gaya hidup

Membuat feminisme sebagai sesuatu yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari memang sulit. Terlebih dengan budaya patriarki yang masih dijunjung tinggi oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Hal seperti ini juga menjadi ketakutan tersendiri bagi para millennial yang ingin masuk lebih dalam menuju dunia feminisme.

Mereka para millennial bisa menganggap bahwa menjadi feminis merupakan salah satu jalan untuk menentang budaya dalam masyarakat. Padahal, menjadi feminis tidak lebih dari menyuarakan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala macam aspek. Namun, masih banyaknya pandangan buruk yang ditujukan kepada para feminis membuat para millennial ragu. Hingga pada akhirnya mereka tidak ingin terjun menjadi feminis. 

Memang harus banyak yang memulai menjadikan feminis sebagai suatu politik gaya hidup. Seperti kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Mulai dari gaji hingga pelecehan yang banyak terjadi. Mereka yang memulai juga tentunya membutuhkan dukungan. Meskipun terlihat banyak dukungan terhadap feminisme di kota-kota besar, sayangnya belum tentu juga hal tersebut terjadi di daerah kecil. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!