FemFest 2017: Mengapa perempuan perlu melek politik

Dzikra Fanada

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

FemFest 2017: Mengapa perempuan perlu melek politik
Dari 560 anggota DPR RI, baru ada 17,3% perempuan di dalamnya

JAKARTA, Indonesia — Persoalan perempuan adalah persoalan masyarakat. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mengatakan, ranah perempuan ada di seluruh lapisan urusan kehidupan, termasuk juga politik.

Sayangnya, banyak perempuan di Indonesia yang tidak ingin bahkan anti dengan urusan politik. Berbagai alasan terlontarkan, mulai dari tidak mengerti dengan hal-hal berbau politik, sampai pemikiran bahwa politik merupakan urusan bagi para kaum laki-laki saja. Hingga pada akhirnya, politik dipandang sebagai dunia yang ada di tangan laki-laki. 

“Ada banyak banyak perempuan yang terbelenggu dengan politik maskulin,” ujar Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam diskusi di acara FemFest 2017 yang digelar selama 26-27 Agustus lalu di SMA PSKD 1 Mandiri, Jakarta Pusat.

Ia menambahkan, perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR banyak terjebak di urusan finansial. Alasannya, karena uang yang dipegang atau diatur oleh suami. Padahal ada banyak cara untuk bisa mendapatkan suara.

Nihayatul mengatakan, padahal keterlibatan perempuan dalam politik sangat dibutuhkan. Terlebih dalam urusan kebijakan negara mengenai hak-hak perempuan. Ada banyak undang-undang di Indonesia yang menurutnya masih memilah berdasarkan gender—dan kaum perempuanlah yang biasanya dinomorduakan. 

Dalam kursi DPR sendiri, sudah ada kebijakan bahwa calon wakil rakyat perempuan dari suatu partai paling sedikit adalah 30 persen. Namun, hal tersebut hanyalah calon, bukan kursi tetap yang ada di DPR. 

Menurut Nita Wakan dari lembaga swadaya masyarakat Perempuan Politik, dari 560 anggota DPR RI saat ini, baru 17,3 persen saja yang merupakan seorang perempuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jumlah perempuan sebagai wakil rakyat masih minim.

Ia menambahkan, memang sulit untuk mengajak perempuan dewasa untuk masuk ke dalam dunia politik. 

“Untuk itu, kami mengarah para millennial dan mencoba mengenalkan politik lewat cara-cara millennial pula,” ujar Nita.

Perempuan politik sendiri mencoba menjadi media bagi para perempuan muda yang ingin masuk dalam dunia politik sehingga bisa ikut ambil bagian dalam partai politik atau juga menjadi wakil rakyat. Selain itu, Perempuan Politik juga mempertemukan perempuan yang ingin terjun di politik dengan perempuan yang memang sudah berkutat di ranah tersebut.

Mereka yang lebih lama berkecimpung di politik bisa memberikan berbagai pikiran juga pengalaman. Waktu emas seperti ini yang dibutuhkan para perempuan muda untuk meyakinkan diri. Meskipun budaya masyarakat di Indonesia belum seutuhkan menganggap perempuan di ranah politik sebagai hal yang lumrah, bahkan di kota sekalipun.

Nihayatul bercerita mengenai banyaknya pertanyaan yang muncul ketika perempuan masuk ke kursi DPR. 

“Jadi anggota dewan perempuan selalu dipertanyakan. [Seperti] ini baru kerja empat tahun sudah dua kali hamil, kapan kerjanya?” katanya. 

“Tapi yang laki-laki jarang dipertanyakan. Padahal anggota dewan kalau dipertanyakan bisa saja. [Seperti] ke mana ini dewan yang laki-laki, sering bolos. Enggak hamil aja bolos, gimana kalau hamil,” kata Nihayatul sambil tertawa.

Untuk itu, keterlibatan perempuan di dunia politik amat diperlukan. Hal paling mendasar untuk mulai mengajak para perempuan ini dengan pendidikan politik itu sendiri. Memberi penjelasan bagaimana sebenarnya politik dan apa saja yang harus dipersiapkan sebelum terjun. Nyatanya, banyak perempuan Indonesia yang belum mengerti mengenai dasar-dasar politik dan juga menjadikan politik sebagai sesuatu yang berkaitan kehidupan sehari-hari. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!