Sosok di balik manusia patung di Kota Tua

Dzikra Fanada

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sosok di balik manusia patung di Kota Tua
Menghidupi diri dari mematung. Apa suka duka Emon menjadi manusia patung Soekarno?

 

JAKARTA, Indonesia — Kota Tua menjadi salah satu lokasi wisata yang paling ramai dikunjungi di Jakarta, terutama ketika hari libur. Tua-muda, lelaki-perempuan, mereka berbondong-bondong ke tempat bersejarah ini untuk menghabiskan waktu.

Banyak gedung-gedung bekas kantor pemerintahan pada masa silam—ketika Jakarta masih disebut Batavia—yang kini disulap menjadi museum, beberapa di antaranya ada Museum Fatahillah, Museum Batik, hingga Museum Seni Rupa dan Keramik.

Para pengunjung yang datang ke Kota Tua bukan hanya berwisata, tapi di sana mereka juga bisa belajar, mengenal secara visual tentang bangunan dan suasana Jakarta tempo dulu. 

Banyaknya pengunjung yang mampir ke Kota Tua ini juga dijadikan sebagai lahan pencari rezeki bagi sebagian masyarakat. Ada yang menjajakan jasa sewa sepeda cantik, ada juga patung manusia. Para patung manusia ini biasanya berjejer di berbagai titik masuk menuju Taman Fatahillah, yang dikelilingi museum-museum tadi. Mereka mematung selama berjam-jam di sana dengan kostum yang khas.

Berhubung Kota Tua merupakan salah satu tempat wisata sejarah di Jakarta, para patung ini pun juga mengenakan kostum bertemakan pahlawan. Ada Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, dan para pahlawan lainnya.

Uniknya lagi, dari awalnya patung pahlawan, mereka berinovasi dan mengembangkan kreativitas hingga ada manusia patung Noni Belanda, Nyi Roro Kidul, hingga vampir dari Tiongkok.

Menghidupi diri dari mematung

Emon bersiap sebelum mematung selama 8 jam di Kota Tua. Foto oleh Dzikra Fanada/Rappler

Emon beranjak dari rumahnya ketika matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Sejak pagi ia menyiapkan peralatan untuknya mematung selama lebih dari delapan jam di Kota Tua.

Sebelum mematung, Emon sudah menyiapkan segalanya mulai dari kostum, perlengkapan kostum, hingga make-up. Seluruh peralatan yang ia gunakan, ia buat sendiri.

“Saya belajar dari manusia patung yang sudah lebih lama. Mereka kasih tahu cara-caranya. Gimana buat baju, buat make-up,” kata Emon kepada Rappler, di sela istirahatnya menjadi patung.

Sehari-hari ia menjadi patung Bapak Proklamator Bangsa, Soekarno. Perlengkapannya cukup sederhana dan tidak ribet; kemeja, jas, celana, dan kopiah hitam. Yang membedakan, ia mengecat seluruh kostumnya dan juga dirinya (termasuk kulit dan wajah) dengan pylox berwarna emas.

Untuk make-up wajah, Emon mencampurkan berbagai bahan seperti cat, pylox, bedak, dan bahan khusus supaya cocok dipakai di kulit. 

“Enggak pernah gatal sampai sekarang. Atau masalah kulit lain gitu belum pernah juga. Aman-aman saja,” aku Emon.

Biasanya, Emon datang ke lokasi ia mematung sekitar jam 08:00 WIB menggunakan sepeda dari kediamannya di Slipi, Jakarta Barat. Begitu sampai, ia langsung bersiap di belakang sebuah pohon besar, dekat dengan lokasinya mematung.

Persiapannya dilakukan dengan cepat karena pengunjung mulai berdatangan, meskipun waktu masih menunjukkan pukul 8:15 WIB. Untuk akhir pekan, menurut Emon, memang biasanya lebih ramai. Bahkan sejak pukul 06:00 WIB sudah ada banyak pangunjung datang untuk berolahraga.

Saat mematung, Emon biasa hanya bergerak ketika ada pengunjung yang ingin berfoto. Dengan berbagai gaya yang pengunjung minta, atau spontanitas saja.

Untuk menarik pengunjung, Emon menyiapkan berbagai tulisan menarik. Pengunjung bisa memilih tulisan apa yang diinginkan dan dipegang ketika untuk berfoto.

Emon menaiki sepeda ontel demi menarik perhatian pengunjung Kota Tua. Foto oleh Dzikra Fanada/Rappler

Sebagai patung, rupiah dari mereka yang sudah berfoto bersama merupakan patokan rezekinya. “Saya enggak mau mematok harga. Seikhlasnya saja mereka mau bayar berapa,” ucap Emon.

Meskipun banyak kabar yang mengatakan penghasilan para patung ini lebih dari Rp satu juta per hari, sepertinya berbeda dengan apa yang terjadi. Beberapa pengunjung memang memberikan uang ketika selesai berfoto, tapi banyak juga yang tidak memberikan apapun.

“Ada sampai Rp200 ribu. Kalau Sabtu-Minggu sampai Rp200 ribu. Kalau hari-hari biasa paling Rp100 ribu lebih lah,” kata Emon ketika ditanya mengenai penghasilan.

Uang yang ia dapat tidak dibelanjakan sesuka hati, melainkan ia tabung untuk menyekolahkan sang adik yang masih duduk di bangku SMP. keingin Emon hanyalah satu, agar adiknya yang tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat, memiliki masa depan yang lebih baik.

Sebelum menjadi patung, Emon merupakan pedagang di daerah Slipi. Namun, kerasnya persaingan menjadi pedagang membuat Emon harus kehilangan pekerjaannya. Untungnya, seorang teman memperkenalkan patung kepada Emon.

“Mungkin saya masih pengangguran kalau tidak ada dia,” ujar Emon. Setelah mendapat pekerjaan baru sebagai patung, Emon bekerja setiap hari penuh semangat juga penuh tawa bersama patung lainnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!