SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia – Salah satu rangkaian acara Social Media Week (SMW) Jakarta 2017 yang relevan dengan salah satu permasalahan masyarakat Indonesia adalah Hoax Busters : How To Spot Fake News.
Digelar pada Selasa (12/09/17) di @ America, Mall Pacific Place, SMW berkaca pada perilaku masyarakat Indonesia yang masih memiliki pengetahuan minim terhadap kategorisasi sebuah berita hoax. Karena tak dapat dipungkiri, arus informasi yang begitu derasnya mengalir di tengah kita, membuat berita hoax terselip dan membuat kita rancu.
Disambut oleh Alexia Branch, selaku Juru Bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat pukul 15.30, acara ini dilanjutkan dengan pemaparan dalam mengidentifikasi hoax dari Rappler Indonesia serta panel diskusi. Agar lebih jeli dalam menelaah berita, Hoax Busters juga sukses memberikan pencerahan tentang jenis-jenis hoax, konsekuensi dalam membuat dan menyebarluaskan konten hoax serta kiat-kiat untuk menghadapinya.
“Pada abad ke-19, padahal hoax sempat menipis akibat paham yang menyatakan bahwa jurnalisme itu seharusnya objektif dan mulai ada etika-etika dalam berjurnalisme. Jadi tidak boleh asal membuat berita. Tapi dengan adanya media sosial, sekarang hoax kembali marak,” ujar Produser Media Sosial Rappler Indonesia, Karina Maharani.
Panel diskusi Hoax Busters yang kali ini dimoderatori oleh Mochammad Achir selaku Executive Producer SCTV, mendatangkan berbagai pembicara seperti Karina Maharani, Produser Media Sosial Rappler Indonesia, Astari Yanuarti selaku perwakilan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) dan Miss Internet Indonesia 2017 Marsya Gusman.
“Pertumbuhan pemakai internet di Indonesia yang mencapai 170 juta orang dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ternyata tidak disertai dengan literasi media sosial,” ujar Astari.
“Bahkan masyarakat yang ber-pendidikan tinggi sekalipun, tidak menjamin bahwa mereka mampu membedakan berita hoax. Literasi media sosial ini dibutuhkan untuk masuk ke kurikulum pendidikan Indonesia,” tambahnya.
Panel diskusi yang disertai dengan sesi tanya jawab ini juga mengungkap, bahwa materi dari literasi media sosial kedepannya perlu disesuaikan dengan target audiens. “Akan berbeda pengetahuannya ketika kita menyampaikan kepada ibu-ibu PKK. Mereka lebih aktif mendapatkan berita di Whatsapp ketimbang karyawan kantoran. Untuk karyawan, pembahasaan dan pengetahuan-nya juga tentu berbeda,” ujar Astari.
Berpikir kritis dan menghindari pemikiran sumbu pendek, juga menjadi kunci utama masyarakat untuk melakukan penyaringan informasi-informasi yang beredar di dunia maya, terutama di media sosial. “Lakukanlah filtering, security dan pemanfaatan internet untuk hal yang positif,” ujar Marsya.
Membaca berita dengan seksama sebelum meng-klik share juga jadi bahan pertimbangan kita agar lebih cerdas dalam mengakses informasi di internet. Jangan diam saat grup keluarga atau teman di Whatsapp terkena wabah hoax, jadilah pengguna yang cerdas untuk membasmi hoax!—Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.