Anak muda jadi petani dan petambak, kenapa tidak?

Dzikra Fanada

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Anak muda jadi petani dan petambak, kenapa tidak?
Menjadi petani dan petambak juga merupakan pilihan karier bagi dua anak muda Indonesia ini, meski awalnya sempat ditentang orangtua

 

JAKARTA, Indonesia — Ada berapa anak muda yang berpikir untuk menjadi petani di kemudian hari? Hingga saat ini, rofesi petani masih dipandang sebelah mata karena dianggap materi yang dihasilkan kecil dan tidak cukup menghidupi kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap harinya masyarakat membutuhkan pangan untuk mengisi perut.  

Kesempatan kerja di bidang pertanian sangat terbuka bagi generasi muda. Terlebih dengan potensi alam Indonesia yang subur dan baik. Jika ditambah anak muda yang memiliki pemikiran yang baru dan semangat tinggi, maka bidang pertanian di Indonesia bisa menuju ke arah yang lebih baik. 

Dua anak muda yang memiliki semangat untuk mengembangkan potensi alam Indonesia adalah I Gede Artha dari Bali dan Iqo dari Lampung. Mereka membagikan kisahnya dalam acara Indonesia Climate Change 2017 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Keduanya diundang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Oxfam Indonesia untuk bercerita perjuangan yang mereka hadapi selama ini.

Artha merupakan petani yang masih kuliah di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, jurusan Agribisnis. Ia merupakan Duta Petani Muda 2016 yang terpilih dari 514 peserta.

Artha sendiri sudah tertarik untuk bertani sejak SMP. Meskipun sempat dilarang oleh orangtuanya karena dianggap menjadi petani merupakan pekerjaan yang tidak memadai, tetapi ia bisa menjelaskan kepada kedua orangtuanya mengenai semangatnya untuk bertani.

Setelah mendapatkan izin, akhirnya Artha memilih untuk membudidayakan jamur tiram di kampung halamannya, Karangasem, Bali. Ia mempekerjakan beberapa orang di kampung halamannya untuk membantu Artha menanam dan mengembangkan bisnis jamurnya secara organik.

“Kalau saya pulang kampung itu enggak ada yang seumuran, kebanyakan yang merantau. Dari sana lah saya berpikir, kalau orang tua yang bertani, pengetahuan yang bisa dibilang masih terbatas dan teknologi yang masih terbatas. Jadi ini kesempatan saya untuk kembali ke kampung untuk mengembangkan desa, mengembangkan pertanian,” ujar Artha.

Bisnis yang diberi nama “Gede Jamur” ini diharapkan bisa membawa inspirasi kepada anak muda lainnya untuk bertani. Artha yang memang kuliah di jurusan agribisnis mempunyai keinginan untuk menerapkan teknologi di dunia pertanian. 

Untuk itu, ia juga berharap kedepannya ada banyak anak muda yang kembali ke kampung halaman untuk bertani dan menghapus pemikiran mengenai bertani merupakan hal kuno dan tidak kekinian. “Saya ingin menularkan spirit-spirit pertanian itu, utamanya ke generasi muda,” ujar Artha.

Semangat yang sama juga ingin ditularkan oleh Iqo, seorang perempuan penggerak anak muda untuk kembali bertambak udang di Bumi Dipasena Sejahtera, Rawa Jitu Timur, Tulang Bawang, Lampung. 

Sebelumnya, Dipasena dikenal sebagai penghasil udang terbesar seasia tenggara. Namun, sejak 2011, kepopuleran udang Dipasena turun sejalan dengan tutupnya salah satu perusahaan yang mengurus pertambakan tersebut. 

Sebagai perempuan yang lahir dan besar di Dipasena, ia tidak ingin kampung halamannya ditinggalkan begitu saja ketika sedang terpuruk. Untuk itu, ia membangun Forum Mahasiswa Dipasena di tempat ia kuliah saat ini, Universitas Polinela di Lampung. Forum tersebut merupakan perkumpulan orang-orang dari Dipasena yang memiliki tujuan untuk membangkitkan kembali Dipasena.

“Di situ [Forum Mahasiswa Dipasena] kita benar-benar bikin suatu forum yang membahas bagaimana caranya kita, generasi muda, buat membangkitkan lagi, menghidupkan lagi Dipasena tercinta kita,” kata Iqo.

Untuk mewujudkan tujuannya, forum ini telah membuat berbagai kegiatan seperti penanaman bakau secara serentak untuk memperbaiki kualitas air. 

“Semua udang dari perusahaan itu sempat dibuang ke sungai, sehingga sungai itu, sudah seperti tidak ada airnya, sudah udang semua gitu,” kata Iqo.

Keadaan sungai yang sempat tak layak membuat para warga Dipasena memilih untuk pindah dari kawasan tersebut untuk “menyelamatkan diri”. Namun, Iqo dan kawan-kawannya mencoba untuk menularkan semangat mereka untuk kembali menambak udang di Dipasena. Alhasil, ia terus mencoba untuk memperbaiki kondisi air terlebih dahulu.

“Orangtua saya sempat melarang dan kami bahkan hampir pindah. Tapi saya terus berikan mereka pengertian dan penjelasan seperti “Masa tinggal pas lagi senang-senangnya saja, pas lagi kayak gini masa pindah” dan syukurnya mereka mengerti,” kata Iqo. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!