Komunitas penyayang kucing Yogyakarta berhasil bebaskan terpidana UU ITE

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas penyayang kucing Yogyakarta berhasil bebaskan terpidana UU ITE
Fatkhurrahman melunasi denda Rp5 juta hasil dari donasi selama berkat unggahan di laman Facebook komunitas Jogja Domestic Cat Lovers

 

YOGYAKARTA, Indonesia — Satu siang itu, Fatkhurrahman bergegas menuju Kantor Kejaksaan Negeri Sleman. Pemilik 15 kucing itu membayar lunas denda sebesar Rp5 juta, bagian dari vonis hakim yang harus dijalani—selain 6 bulan hukuman percobaan. 

Uang tersebut adalah hasil donasi dari anggota komunitas Jogja Domestic Cat Lovers (JDCL), yang terkumpul selama dua hari sejak pengumuman donasi diunggah pada dinding akun Facebook komunitas itu.

“Teman-teman komunitas banyak memberi support. Mereka bahkan siap ikut donasi ketika sidang sedang dalam tahap tuntutan dan jaksa menuntut saya satu tahun penjara dan denda Rp10 juta,” kata Fatkhurrahman ketika ditemui di kediamannya, beberapa waktu lalu. 

Fatkhur sebelumnya terjerat pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah mengeluhkan pelayanan klinik hewan tempat kucingnya mendapatkan perawatan medis namun berujung pada kematian, di dinding Facebooknya. 

“Setelah bayar denda, tinggal menjalani hukuman percobaan, wajib lapor selama 6 bulan. Sampai sekarang belum mulai, saya masih menunggu perintah kapan mulainya,” katanya. 

Vonis di Pengadilan Negeri Sleman diterima tanpa banding karena Fatkhur kuatir akan menerima vonis yang lebih berat jika banding. 

“Sekarang kan sedang tren seperti itu [kriminalisasi menggunakan UU ITE], jadi mending tidak banding daripada hukumannya semakin berat,” akunya. Denda pun dibayar lunas pada 31 Agustus 2017 lalu. 

Kucing mati sepanjang terbelit kasus

Pagi itu, Fatkhur bangun setelah Bela, Ilu, Mbok Niten, dan Katy ribut meminta makan. Empat ekor kucing betina dan belasan kucing domestik atau kucing kampung yang lain berlarian di kamar tidur Fatkhur. Sebagian bersembunyi dan tidur di atas kepala Fatkhur hingga remaja berusia 21 tahun itu terbangun dari tempat tidurnya. 

Matras panjang ditutup selimut yang menyatu dengan lantai. Hampir tujuh tahun terakhir, Fatkhur lebih banyak tidur di atas matras bersama belasan kucingnya. Beberapa kasur empuk dari kapuk atau gabus terdahulu tak bertahan lama, rusak dikoyak cakar kucing atau pesing setelah ditandai dengan kencing para kucing. 

“Katy ini pasangannya Si Boy yang mati setelah dirawat di klinik itu [Naroopet]. Kalau Bela ini kami temukan dengan kondisi kaki luka dan berbelatung di tepi jalan. Kakinya enggak berfungsi lagi yang depan,” katanya. 

Nama Bela disandang setelah seorang teman memanggil kucing betina itu dengan panggilan Bela, kependekan dari Belatung.   

Si Putih, Mbok Niten, Bantet, dan Ilu punya kisah yang tak kalah tragis dengan Bela. Si Putih ditemukan di pasar dengan kondisi penuh luka di badan dan nyaris buta. Mbok Niten si kucing tremor ditemukan sedang berjalan sempoyongan dengan kondisi perut buncit sedang hamil, sedangkan Ilu susah berjalan karena matanya buta. Ada pula Leon, seekor kucing Persia yang terluka parah setelah loncat dari boncengan motor pengendara di jalan raya. 

Semua kucing yang dibawa pulang sebagian besar dalam kondisi sakit dan butuh perawatan. Selama menjalani kasus, Fatkhur mengingat, ada sejumlah kucing yang mati karena tak terawat.

“Ada beberapa kucing bayi yang butuh didot susu setiap dua jam sekali mati. Tiga kucing dewasa juga mati. Mereka mati saat kita tinggal ikut sidang. Sidangnya dari pagi sampai sore, kadang sudah nunggu lama tapi kemudian dipending lain hari,” ujar penjaga warnet itu. 

Sidang berlangsung sekitar 6 bulan, sejak Maret 2017, setelah hampir setahun Fatkhur mengunggah status keluhannya di Facebook pada Februari 2016 kemudian berurusan dengan kepolisian serta kejaksaan setempat.

Kemudian siang itu, kerumunan kucing terlihat mengelilingi semangkuk makanan di ruang tengah rumah kontrakan Fatkhur. Setiap hari, setidaknya Fatkhur membutuhkan 2 kg pakan kucing untuk belasan kucing domestiknya. Juga 25 kg pasir setiap tiga hari sekali untuk toilet kucing. 

Jika kucing sedang sakit, setidaknya dibutuhkan uang Rp500 ribu untuk menebus obat. 

“Kalau dokternya, sejak peristiwa itu kami sudah menemukan dokter hewan yang sosial juga, tapi untuk obatnya kami harus nebus. Dia baik sekali. Satu kucing kami kakinya putus dirawat sampai tiga bulan di kliniknya. Kami tidak akan sanggup jika itu harus membayar,” kata Indra, rekan Fatkhur. 

Menurutnya, jika mengandalkan pendapatan dari warnet saja, kebutuhan kucing tidak akan tercukupi. 

“Tapi buktinya ada saja rezekinya, jadi pas butuh buat berobat kok ya pas ada uangnya,” katanya. 

Fatkhur kemudian bergegas membuka pintu ruangan tak jauh dari ruang tengah. Seekor kucing ribut mencakar daun pintu memaksa ingin keluar. 

“Ini ruangan khusus kucing titipan. Ruangannya disendirikan dan perawatannya juga beda. Kami sendirikan untuk mengurangi resiko tertular kucing kami yang lain,” katanya. 

Adopsi kucing

Belasan kucing yang diselamatkan di pinggir jalan dan pasar serta tempat publik yang lain dirawat dan dibesarkan bukan untuk disimpan sendiri. Fatkhur secara rutin memposting foto kucing yang sehat dan sudah bisa diadopsi di laman Facebook komunitas JDCL. 

“Kalau kucing sudah siap kami lakukan open adoption, foto kucing kami unggah kemudian jika ada yang tertarik kami wawancara dan survey serta mengisi formulir adopsi,” katanya. Dalam formulir terdapat klausul pemilik wajib melakukan sterilisasi pada kucing atau mengganti biaya jika kucing sudah disterilisasi.

Sejumlah hal kadang membuat Fatkhur resah ketika melepas kucing adopsi. Dia kuatir, kucingnya yang telah sehat dan menggemaskan akan digunakan untuk tujuan lain. 

“Di Jakarta ada yang mengadopsi kucing untuk dijadikan pakan reptile, ular, atau buaya. Ini untuk antisipasi saja,” katanya sambil menunjukkan formulir adopsi lengkap dengan kolom untuk material temple dan tanda tangan.

Lucunya, ada sejumlah pemilik kucing lama yang kemudian mengadopsi kembali kucing mereka. 

“Jadi mereka serahkan kucing ke kami dalam kondisi tidak terawat, luka, jamuran, dan scabies. Tapi setelah sehat dan open adoption mereka adopsi lagi kucing itu. Itu sebenarnya tidak etis, karena mereka seperti lempar tanggung jawab,’ ujarnya.

Selama tujuh tahun, Fatkhur lupa berapa banyak kucing yang datang dan pergi karena diadopsi. Meskipun ada juga kucing yang tinggal lama tanpa ada yang ingin mengadopsi. Beberapa kucing betina juga telah disteril untuk mencegah agar tidak hamil. 

“Prinsip kami, agar kucing tidak bereproduksi secara liar. Ini berbeda dengan prinsip breeder [peternak kucing komersial], mereka mendorong kucingnya untuk terus beranak. Tapi ada beberapa breeder nakal, membuang kucing yang sakit, jamuran atau cacat agar tidak menulari anakan lain,” imbuhnya.

Fatkhur dan Indra bersyukur kini ada beberapa kenalan klinik dan dokter yang mau membantu pengobatan tanpa memungut biaya. Sesama anggota komunitas juga berbagi rekomendasi tentang klinik yang terpercaya dalam merawat kucing. 

“Kami jadi tahu mana klinik yang recommended, memang harus berhati-hati. Meskipun mungkin maksut semua klinik sama-sama baik,” imbuhnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!