Dobrakan anak SMA: Ciptakan alat pendeteksi uang kertas untuk tuna netra

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dobrakan anak SMA: Ciptakan alat pendeteksi uang kertas untuk tuna netra
Tiga pelajar SMA menciptakan pendeteksi uang kertas berupa tas pinggang yang memiliki sensor warna. Penyandang disabilitas netra dapat mengetahui nominal uang yang ditempelkan ke sensor dari bunyi

BANDUNG, Indonesia — Berawal dari keprihatinan atas nasib para disabilitas netra yang sering ditipu, tiga pelajar SMA, menciptakan alat pendektesi uang kertas. Mereka adalah Arya Indrajaya Lukmana, Freddy Milenia, dan Prasista Ariadna Kusumadewi.  

Alat pendekteksi uang kertas itu berupa tas pinggang yang memiliki sensor deteksi warna.  

“Kami melihat ada social experiment di YouTube yang memperlihatkan ada penyandang tuna netra yang ditipu.  Kembaliannya yang harusnya Rp20 ribu malah dikasih Rp2 ribu. Terus penukaran uang sering enggak sesuai. Jadi kita mikir, apa sih yang bisa kita buat untuk membantu,” tutur Arya kepada Rappler yang menemuinya di Bandung, pada Minggu, 15 Oktober.

Motivasi ketiga remaja itu semakin terpacu ketika Syamsi Dhuha Foundation (SDF) menggelar Lomba Desain Alat Bantu Disabilitas Netra (LDABDN) dalam rangka memperingati Hari Penglihatan Sedunia 2017 yang diperingati setiap Kamis kedua bulan Oktober tiap tahunnya. Ketiganya kemudian mendaftar dan berhasil menjadi salah satu finalis.

Dengan dana yang diberikan panitia, ketiganya membuat prototip tas pinggang pendeteksi uang kertas yang kemudian diberi nama Stromer, singkatan dari Smart Portable Money Storage. Waktu yang diberikan hanya dua pekan, namun pelajar kelas tiga SMA Negeri Unggulan MH Thamrin Jakarta ini berhasil menyelesaikan purwarupa Stormer. 

“Tapi karena waktunya terbatas, jadi Stromer ini baru bisa mendeteksi uang Rp100 ribu sampai Rp20 ribu. Kalau waktunya lebih lama, kita bisa bikin mendeteksi uang Rp10 ribu dan Rp5 ribu,” kata Arya.

Stomer bisa membantu disabilitas netra mengidentifikasi yang kertas lebih cepat dibanding dengan cara meraba. Cara kerja Stromer adalah dengan mendeteksi warna uang kertas yang ditempelkan ke sensor.    

Di bagian depan tas itu dipasang sensor warna yang bisa mendeteksi warna Red, Green, Blue, dan Clear.  Saat dinyalakan sensornya, Stromer bisa mendeteksi uang dari Rp20 ribu hingga Rp100 ribu baik itu uang lama, baru, lusuh, maupun baru. 

Penyandang disabilitas netra akan mengetahui nominal uang kertas yang ditempelkan ke sensor Stormer dari bunyi yang terdengar. 

“Ada sirenenya di situ, ngasih tahu melalui pola bunyi. Saya bikin sendiri polanya sedemikian rupa supaya gak ribet,” kata Arya, Ketua Tim Robotik di SMANU MH Thamrin itu. 

Sensor Stromer tersebut dirakit Arya bersama Freddy. Sedangkan Prasista bertugas mendesain tasnya yang juga berfungsi sebagai dompet. Di dalam tas tersebut ada kantung-kantung untuk menyimpan uang sesuai nominalnya.

Di setiap kantung dilengkapi dengan tulisan nominal uang dalam huruf Braille sebagai penanda. Misalnya, di kantung pertama ditandai dengan nominal Rp100 ribu dalam huruf Braille yang artinya kantung tersebut khusus untuk menyimpan uang Rp100 ribu.

“Ini agar memudahkan penyandang tuna netra mengambil atau menyimpan uang saat melakukan transaksi pembelian atau kegiatan yang berkaitan dengan uang,” kata remaja 16 tahun ini.

Arya mengaku bangga bisa menyelesaikan karya yang dikerjakan secara mandiri oleh timnya itu. Bahkan, dalam proses merakit, ia belajar sendiri secara otodidak melalui internet. 

“Ini yang disebut The Power of Google.  Untuk coding, kita belajar sendiri, otodidak,” kata remaja pria yang beberapa kali ikut kompetisi robotik di dalam dan luar negeri ini.

Meraih juara tiga

Berkat inovasi dan kreativitasnya, Arya dan kawan-kawan berhasil meraih Juara Tiga LDABDN 2017. Stromer dianggap sebagai karya yang inovatif.

“Stromer kita apresiasi karena yang bikin anak SMA. Mereka masih muda tapi mau memikirkan kebutuhan para disabilitas netra,” kata Ketua SDF Dian Syarief kepada Rappler.

Meski hanya meraih juara ketiga, namun Arya bersyukur karena perjuangan mendapatkan posisi tersebut tidak mudah.  Ia dan teman-temannya harus bersaing dengan puluhan peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa. 

Tapi di atas semua itu, Arya beruntung mendapat pengalaman berharga setelah melihat sendiri kondisi para disabilitas netra. Ia tersentuh dengan semangat orang-orang yang memiliki keterbatasan penglihatan namun masih tetap bisa berkarya. 

Ia mengaku senang bisa menghasilkan karya yang bisa membantu penyandang disabilitas netra.

“Jaid lomba ini juga sebagai ajang untuk peduli terhadap sesama,” ungkapnya.

Arya berharap, suatu saat ada investor yang mau memproduksi Stromer secara massal hingga bisa dijual ke pasaran.

“Saya memang niatnya ingin membantu penyandang tuna netra.  Harapannya nanti ada investor.  Kalau kita sendiri, enggak ada investor, kita enggak bisa ngembangin,” kata Arya berharap. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!