Menyampaikan kejujuran dalam tulisan nonfiksi

Valerie Dante

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menyampaikan kejujuran dalam tulisan nonfiksi
Berbeda dengan fiksi, saat menulis cerita nonfiksi penulis dituntut untuk lebih terlibat dan membuat banyak keputusan

UBUD, Indonesia – Untuk mengungkapkan kebenaran bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk menuliskan dan memperlihatkannya ke cakupan pembaca yang luas. Beberapa penulis kemudian memilih untuk menulis kisah fiksi.

Salah satu bentuk umum yang kerap dilakukan yakni menulis novel. Tetapi ada pula penulis-penulis yang memutuskan untuk mencoba menulis nonfiksi, sesuatu yang asli dan tidak dibuat-buat.

Satu di antaranya adalah Francesca Rendle-Short yang menulis memoir Bite Your Tongue dan merupakan Co-director dari non/fictionLab di Australia. Baginya, nonfiksi adalah sebuah cerita berdasarkan fakta atau kejadian yang benar-benar terjadi. Saat menyampaikan kisah nonfiksi, penulis dihadapkan dengan serangkaian keputusan seperti apa yang perlu ditulis, apa yang harus dipangkas, dan bagaimana ia ingin kisahnya tergambarkan.

“Apa kejujuran yang ingin disampaikan dan bagaimana cara menyampaikannya? Bahkan terkadang saat menulis nonfiksi, kita harus memangkas banyak hal untuk melindungi sumber dan tetap mendapatkan inti cerita tersebut,” jelas Francesca yang ditemui Rappler usai sesi True Stories di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 yang bertempat di Indus, Ubud, Bali, pada Sabtu 28 Oktober. 

Bagi Francesca, untuk menulis cerita nonfiksi perlu dimulai dengan apa yang penulis ketahui. Ada dua jenis permulaan: yang pertama adalah bagaimana seorang penulis mulai menorehkan kisah yang belum pernah ia tulis sebelumnya; kedua adalah memulai kisah untuk publikasi umum. Kedua hal ini berbeda karena permulaan pertama memiliki unsur personal, to write for yourself, sedangkan yang kedua menjadi konstruksi cerita dari awal hingga akhir.

Penulis dan essayist asal Australia ini menjelaskan dalam proses penulisan kisah nonfiksi selalu ada kontrol kreatif dari sang penulis tersebut. Penulis harus dapat mengendalikan dan membentuk karyanya, itulah yang akan menentukan hasil akhir dari tulisan nonfiksi tersebut.

“Ada hubungan antara mengendalikan sebuah karya namun di saat yang bersamaan berusaha melepaskan diri dan berserah pada proses pengerjaannya,” jelasnya.

True Stories

Para penulis wanita yang berdiskusi mengenai pengalaman menulis kisah nyata mereka dalam sesi 'True Stories' di UWRF 2017 yang bertempat di Indus, Ubud, Bali, pada Sabtu, 28 Oktober 2017. Foto oleh Valerie Dante/Rappler

Sedangkan dalam sesi True Stories di hari ketiga diselenggarakannya UWRF 2017, panel yang terdiri dari tiga perempuan penulis memoir mendiskusikan hambatan dan dilema yang mereka hadapi saat proses penulisan.

Kate Holden, contohnya, penulis In My Skin: A Memoir yang bercerita mengenai kehidupan lamanya saat menjadi PSK. Baginya, menulis memoir adalah menulis dari dan untuk diri sendiri, menjadikannya refleksi diri dan latihan untuk lebih mengerti keputusan yang diambil di masa lalu.

Kate juga menganggap semua penulis memiliki tanggung jawab terhadap pembacanya.

“Para pembaca ingin memercayai memoir ini tapi tentu semuanya telah dikonstruksikan. Kalau saya benar-benar menulis kisah nyata saya, mungkin bukunya akan setebal sembilan ratus halaman dan sangat membosankan,” kata dia.

Maka penulis perlu mendramatisasi, membentuk, mendekonstruksi, dan merapihkan kisahnya sebagai bagian dari proses pengerjaan. Tapi yang perlu diingat adalah untuk selalu mengutamakan ketulusan dan otentisitas dalam cerita nonfiksi.

Susan Tereba merupakan salah satu panelis yang hadir dan berbagi cerita mengenai proses penulisan bukunya dengan judul Piece by Piece: Love in the Land of Alzheimer’s yang menceritakan kisahnya sebagai pengasuh suaminya yang terkena Alzheimer.

“Saya menulis buku ini dengan dua alasan. Yang pertama, saya merasakan kesedihan dan bagi saya menulis adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka. Dan yang kedua, saya ingin menulis buku mengenai caregiving yang sesungguhnya, tidak disanitasi, dan penuh dengan kejujuran yang pada nyatanya tidak selalu menyenangkan,” jelas Susan.

Susan berharap dengan menulis buku ini, ia dapat menginspirasi orang lain yang sedang melewati kondisi yang sama dengannya dan membantu mereka melalui kesulitan. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!