Pahlawan tanpa tanda jasa di bekas lokalisasi Dolly

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pahlawan tanpa tanda jasa di bekas lokalisasi Dolly
Sukartiningsih rela tak dibayar mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Ia menikmati setiap suka dan duka

SURABAYA, Indonesia — Menjadi guru bagi Sukartiningsih bukan sekadar profesi untuk mendapatkan penghasilan, melainkan sudah jadi panggilan. Meski tak dibayar, ia rela tetap mengajar untuk anak-anak berkebutuhkan khusus (ABK) di bekas lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur.

Sore itu selepas salat Ashar, Sukartiningsih, atau yang akrab dipanggil Bu Nining, datang paling awal dibandingkan dengan anak-anak didiknya. Hal pertama yang ia lakukan adalah merapikan karpet hijau yang akan dijadikan alas untuk belajar. 

Sore itu Nining memang sedang tak mengajar di sekolah formal, melainkan di Kelompok Belajar Nusantara Kita—baru didirikan pada 2016 lalu. 

Pasca penutupan lokalisasi Dolly memang membuat warga sekitar menjadi berbenah dan menata lingkungan mereka, termasuk salah satunya soal pendidikan anak. Yang mencengangkan, ternyata banyak anak berkebutuhan khusus (tuna grahita) di bekas lokalisasi Dolly yang tak terurus pendidikannya, sekitar 34 anak. 

“Kasihan anak-anak berkebutuhan khusus itu kalau tidak mendapatkan pendidikan. Bagaimana mereka bisa mandiri, kalau tak bersekolah? Yang bersekolah saja masih susah.”

Para orangtua ABK ini memang sengaja tak menyekolahkan anaknya. Penyebabnya bermacam-macam. Mulai dari kondisi ekonomi yang kurang mampu hingga tidak tersedianya sekolah luar biasa (SLB) di area sekitar—maklum, jumlah SLB di Surabaya tak sebanyak dibanding sekolah umum. 

Ada juga, menurut Nining, orangtua yang lebih memilih untuk mengawasi karena anak mereka mempunyai kestabilan emosi yang terganggu.

Akhirnya, tokoh masyarakat lokalisasi Dolly pun sepakat untuk membuatkan tempat belajar nonformal untuk ABK tersebut. Nining pun dimintai tolong untuk mengajar mereka.

Nining memang bukan orang asing di lingkungan Dolly. Rumahnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Gang Dolly. Sebelumnya, ia sempat mengelola sebuah sekolah tak jauh dari lokalisasi Dolly, namun sekolah ini sudah tutup. Ia kemudian ditarik menjadi guru di SLB Benowo, Surabaya.

Atas permintaan masyarakat tersebut, Nining tak kuasa menolak. Padahal ia tahu, ia tak akan menerima bayaran atas pekerjaan tambahannya itu. 

“Kasihan anak-anak berkebutuhan khusus itu kalau tidak mendapatkan pendidikan. Bagaimana mereka bisa mandiri, kalau tak bersekolah? Yang bersekolah saja masih susah,” kata Nining kepada Rappler.

Mulai Senin hingga Sabtu, setiap sore Nining mengajar di Taman Belajar Nusantara Kita. Ia sebenarnya tak sendiri. Ada satu guru lagi yang ikut membantu. Selain dua guru, ada pula dua orang mahasiswa yang ikut membantu paruh waktu. 

Taman Belajar Nusantara Kita awalnya menempati Balai RW. Namun mereka pindah ke salah satu bekas wisma di gang Dolly yang sudah dibeli Pemkot Surabaya. Meski sudah memiliki tempat yang tetap, bukan berarti semuanya menjadi lancar. Nining masih harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli token listrik. Listrik itu digunakan untuk menyalakan lampu dan kipas angin agar anak-anak tak kepanasan. 

Selain itu, Nining juga mengeluarkan uang pribadinya untuk mendatangkan guru seni untuk anak-anak itu. “Ada bekas murid tuna netra yang mengajar musik di sini setiap Rabu,” ujar Nuning.

Jika berkumpul semua, jumlah anak bisa mencapai lebih dari 40an. Karena selain anak-anak berkebutuhan khusus, Taman Belajar Nusantara Kita ini juga menerima anak normal untuk mendampingi mereka belajar, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah.

“Taman belajar ini menjadi semacam sekolah inklusi kecil, karena muridnya bukan hanya anak ABK namun juga anak normal,” kata Nining.

Sore itu, jumlah anak berkebutuhan khusus yang datang ke taman belajar tak banyak. Nining sudah paham itu. Karena mengurusi anak berkebutuhan khusus memang harus sabar. Mereka biasanya akan datang kalau moodnya sedang baik. Ditambah lagi, taman belajar ini bukan sekolah formal yang harus datang tiap hari.

“Tapi tak apa. Memang begitu mengurusi anak berkebutuhan khusus. Harus sabar. Yang penting mereka harus tetap menerima pendidikan agar bisa mandiri,” ujar Nining. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!