Perjuangan Sururi membebaskan kampungnya dari hantaman abrasi

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perjuangan Sururi membebaskan kampungnya dari hantaman abrasi
Pahlawan seperti Sururi berada di tengah-tengah kita. Ia berjasa bagi komunitasnya

SEMARANG, Indonesia — Sururi tengah sibuk menyemai bibit bakau di ladang belakang rumahnya, Kampung Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah, saat Rappler menemuinya, pada Jumat siang itu.

Pria 47 tahun itu tampak menenteng sebuah sekop dan ember berisi bibit tanaman bakau. Sururi telah melakoni aktivitas tersebut hampir saban hari.

Dimulai sejak medio pertengahan 1997 silam, kini ladang bakaunya semakin tumbuh subur. Total luasan ladang bakaunya kini telah mencapai 65,79 hektar.

“Awalnya saya kesulitan menggerakkan warga sekitar. Karena banyak yang menolak karena ada tudingan kalau penanaman mangrove hanya dinikmati oleh saya sendiri. Tetapi, tuduhan itu tidak terbukti. Malahan kampung saya sekarang sudah terbebas dari abrasi pantai,” kata Sururi.

Bersama kelompok Mangrove Lestari besutannya, Sururi kini mampu membuktikan bahwa upayanya tak sia-sia.

Ia mengatakan penanaman bakau berawal dari kekhawatirannya yang melihat kondisi kampungnya mengalami kerusakan parah. Pasalnya, maraknya budidaya udang ditambah dengan pembuangan limbah pabrik kayu lapis, membuat berkilo-kilo sampah memenuhi Pantai Mangunharjo yang berada di belakang rumahnya.

Ironisnya lagi, kesadaran warga untuk menjaga ekosistem laut sangat rendah. Tak ayal, menurutnya kontur tanah kian terkikis dan serapan air tanah menjadi minim.

“Saya lihat dulu rusaknya lingkungan disebabkan ulah manusia, pembudidaya udang yang marak dan adanya pabrik kayu lapis yang buang limbah sembarangan. Makanya, ketika ada penyedotan pasir, penebangan liar dan warga memilih menyewakan tanahnya untuk tambak udang, membuat lingkungan di sini semakin hancur pada 1999 silam,” tuturnya.

“Karena saya takut kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, untuk itulah saya berinisiatif mencoba menebar bibit bakau di belakang rumah. Tanpa diduga, sedikit demi sedikit ternyata mulai membuahkan hasil,” akunya sembari tersenyum lebar.

Dari semula ia hanya menanam bakau seluas 5,62 hektar. Pada 2002 jumlahnya terus bertambah. Hingga pada 2008, ia mampu menanam 7,6 hektar mangrove. Kemudian tahun ini sudah mencapai 65,79 hektar.

Meski begitu, ia menyebut tantangan terbesar yang dihadapinya yakni kurangnya respon pemerintah kota dalam menggalakan penanaman mangrove di kampungnya. 

“Sampai-sampai saya harus minta bantuan kepada para akademisi Undip [Universitas Diponegoro] supaya memberikan kajian lingkungannya terhadap kondisi lingkungan di sini,” katanya.

Pada tahun ini, ia cukup bangga mampu menghalau ancaman abrasi di kampungnya. Saat ini, rumah-rumah warganya sudah terbebas dari hantaman rob. Ada tiga kelurahan yang kini sudah bebas rob yakni Mangkang Kulon, Mangkang Wetan dan Mangunharjo.

Populasi tiap kelurahan sebanyak 20 ribu jiwa. Ia pun ingin mengembalikan kawasan Mangunharjo sebagai pantai terpanjang di Semarang.

Untuk menopang ekonomi keluarganya, Sururi bahkan bisa menjual bibit bakau. Dengan menggandeng pabrik rokok terkemuka, ia rutin mengirim bibit bakau ke seluruh kawasan pesisir Jateng dan Yogyakarta. Sekali kirim sebanyak 2.000 batang ke tiap daerah.

Jika kekurangan bibit, ia leluasa mencari pasokan tambahan ks Jepara, Pati dan Brebes. “Biasanya kita barter. Pinjam bibitnya dan ngembaliinnya juga dalam bentuk bibit lagi,” bebernya.

Warga pesisir kembali bergeliat

Ladang bakau di kampungnya kini juga bisa dimanfaatkan oleh nelayan dan mampu mengembalikan fungsinya sebagai rumah bagi biota laut macam kepiting, rajungan, lobster dan ikan laut lainnya.

Warga setempat, lanjutnya mampu memanfaatkan tanaman bakau menjadi aneka sirup, makanan dan kain batik.

“Harganya bervariasi mulai Rp30 ribu-Rp400 ribu,” imbuh Sri Maryati, seorang perajin batik mangrove. 

Lambat-laun, para nelayan ikut membantu penanaman mangrove. “Karena semua habitat bisa bertelur kembali dibawah tanaman bakau,” sergahnya.

Ia bilang kehidupan warga meningkat dibanding 15 tahun lalu. Dirinya juga melakukan regenerasi kepada putri kesayangannya.

“Jika kita berbuat baik kepada alam, maka alam akan membalas dengan hal-hal baik pula,” paparnya.

Ke depan, ia memimpikan untuk menjadikan mangrove di Mangunharjo sebagai areal ecowisata. Salah satunya bisa dibangun membangun spot tracking mangrove.

“Saya ingin pada 2020 Semarang punya hutan mangrove. Harus ada pantai terbuka tanpa dipungut biaya sepersenpun. Karena Jakarta saja masih punya Muara Angke, Jabar ada Pangandaran, masa kita enggak punya,” ujarnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!