Kincir karya petani Dieng selamatkan 13 desa dari kekeringan

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kincir karya petani Dieng selamatkan 13 desa dari kekeringan
Biaya perawatan yang hanya Rp30 per bulan ini membantu meringankan beban warga

BANJARNEGARA, Indonesia — Air sisa pembuangan irigasi sawah mengalir deras dari mulut pipa 8 inci di dasar lereng Desa Gumingsir, Wanadadi, Banjarnegara. Aliran deras air itu langsung mengarah ke kincir besi berdiameter 3 meter yang dipasang di depan mulut pipa. 

Debit air berkecepatan 50 liter per detik itu mampu memutar turbin dan menggerakkan pompa piston hingga menghasilkan 60 liter air per menit. 

Kincir itu dipasang di atas bak penampungan air bersih yang dialirkan dari sumber mata air di dekatnya. Mesin pompa bertenaga air ini lah yang bekerja mengalirkan air bersih dari sumber mata air di bawah lereng ke rumah-rumah penduduk di atasnya. 

Teknologi karya petani asal Desa Karang Tengah, Batur Banjarnegara, Irhamto ini mampu menaikkan air dari dasar lereng ke desa di atasnya dengan ketinggian vertikal 45 meter, atau sejauh sekitar 400 meter sampai ke pemukiman di atasnya. 

“Persoalan warga di desa-desa atas itu, mereka tidak bisa mengalirkan sumber air yang ada di bawah ke atas karena melawan gravitasi,” kata Irhamto usai memasang kincir air di Desa Gumingsir.

Puluhan warga Gumingsir yang selesai menata selang di depan perumahan pun semringah. Air bening mengucur deras dari mulut selang. Keraguan mereka terhadap teknologi ini sirna. 

Teknologi kincir buatan Irhamto ini benar-benar terbukti canggih karena mampu menggerakkan air ke ketinggian dengan tenaga alam. Pekerjaan itu selama ini dianggap mustahil bagi warga. 

Desa Gumingsir yang terletak di atas lereng membuat mereka kesulitan mendapatkan air bersih. Desa itu pun kerap dilanda kekeringan terutama saat menginjak musim kemarau. 

Sementara di dasar lereng desa itu, 400 meter dari pemukiman, terdapat tiga sumber mata air yang tak pernah surut meski musim kering. 

Sayangnya warga tidak bisa memanfaatkan sumber mata air itu karena posisinya lebih rendah atau berada jauh di dasar lereng. Mereka akhirnya membuat sumur-sumur di sekitar rumah yang hanya terisi air saat musim penghujan.

Saat musim kemarau dan sumur kering, mereka mengandalkan bantuan air bersih pemerintah, atau berjalan kaki ratusan meter menuruni bukit terjal untuk mengambil air di sumber mata air.

“Air adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus tercukupi. Saya ingin membantu warga desa agar bisa mengakses air bersih. Karena ada potensi air, hanya mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya,” kata Irhamto.

Air yang digerakkan melalui kincir dan pompa piston ini ditampung di bak penampungan di tengah desa. Dari penampungan itu, air dialirkan melalui jaringan pipa ke 130 Kepala Keluarga (KK) di desa tersebut. 

Setelah proyek ini berhasil, Irhamto menyerahkan manajemen selanjutnya kepada warga.

Warga tidak perlu memikirkan tagihan listrik bulanan untuk menggerakkan mesin pompa itu. Yang dibutuhkan hanya biaya perawatan tak lebih dari Rp30 ribu per bulan. Biaya itu dipakai untuk membeli pelumas mesin yang wajib diganti setiap bulan. 

Biaya operasional yang nyaris gratis itu tentu meringankan beban penduduk desa yang kebanyakan hidup berkurangan. Biaya tagihan listrik bulanan bisa ditekan karena untuk kebutuhan air mereka sudah bebas dari listrik. 

“Rp30 ribu dibagi 130 kepala keluarga itu tidak ada Rp500 per bulan mereka harus iuran. Yang mahal mungkin di awalnya saja untuk buat kincir ini. Selanjutnya mereka tak memikirkan biaya bulanan,” kata Irhamto.

Hanya tamatan SD bukan penghalang

Irhamto bukanlah insinyur atau sarjana teknik dari perguruan tinggi ternama. Ia hanyalah seorang petani berpendidikan rendah. Ia hanyalah tamatan SD. 

Orang tuanya tak mampu menyekolahlannya ke jenjang SMP karena terbelenggu kemiskinan. Belakangan, Irhamto menempuh program Kejar Paket B yang menjadi pendidikan terakhirnya hingga sekarang. 

Ide membuat kincir berawal dari keprihatinannya terhadap nasib sebagian penduduk Banjarnegara yang kekurangan air bersih. Kebanyakan warga di daerah ini tinggal di lereng pegunungan yang sebagian susah menjangkau sumber air karena posisinya lebih rendah dari pemukiman. 

Irhamto memutar otak untuk mencari cara agar air di dasar tebing bisa dinaikkan ke atas untuk mencukupi kebutuhan warga. Di sela beraktivitas di ladang, Irhamto rajin merenung. Ia melihat para petani kentang di Dieng dengan mudah menaikkan air ke ketinggian menggunakan mesin diesel untuk mengairi tanaman mereka. 

Cara itu cukup efektif, namun kurang efisien karena masih menggunakan bahan bakar yang sukar dijangkau warga miskin. Irhamto coba mencari alternarif lain untuk mengganti bahan bakar itu dengan bahan yang tersedia gratis di alam. Ia akhirnya punya ide brilian untuk mengganti bahan bakar untuk menggerakkan mesin itu dengan aliran air yang deras. 

Desa Mertasari, Kecamatan Purwanegara, adalah desa pertama yang menjadi pengujian pertama teknologinya, pada 2012 silam. Desa itu mengalami kekurangan air meski di bawah desa terdapat sungai yang mengalir cukup deras. 

Irhamto rela keluar modal puluhan juta rupiah yang diperolehnya dari berhutang di bank demi mengaplikasikan teknologi ciptaannya di desa tersebut. 

“Saya riset dulu sebelum saya terapkan teknologi ini di tempat itu. Saya harus ukur ketinggian vertikal tanah, serta debit air, dan lainnya. Syarat ini menentukan keberhasilan teknologi ini. Saya juga bisa tentukan spesifikasi mesin apa yang bisa saya pasang di sini,” katanya.

Sukses di Desa Mertasari, Irhamto semakin percaya diri untuk menyempurnakan teknologinya dan memperluas manfaatnya ke desa-desa lain yang kekurangan air.  

Berkat teknologi yang dikembangkannya, Irhamto kini berhasil membebaskan ribuan Kepala Keluarga (KK) di 13 desa di Banjarnegara dari kekurangan air bersih. Sukses membuat kincir tak membuat Irhamto berpuas diri. Kini ia tengah menyiapkan teknologi lagi di bidang energi yang siap diterapkan di masyarakat. 

“Meski saya petani, saya punya jaringan teman-teman doktor di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Diponegoro. Ada doktor yang heran, karena menurut teori keilmuan mereka tidak mungkin diterapkan, namun setelah saya otak atik bisa berhasil dan mematahkan teori itu,” katanya.

Ubah perilaku masyarakat

Penerapan teknologi kincir air di masyarakat bukan hanya membebaskan mereka dari masalah kekurangan air. Pemanfaatan teknologi ini, menurut Irhamto, terbukti ampuh mengubah perilaku masyarakat terhadap alam, khususnya sungai. 

Pasalnya, penerapan teknologi ini menuntut keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaannya. Warga harus bisa menjaga debit sungai agar tetap stabil untuk memutar turbin. Mereka harus memastikan aliran ke saluran yang terhubung ke kincir lancar. Karena itu, sungai harus bebas dari sampah yang berpotensi menyumbat aliran.  

Warga juga harus memastikan sumber mata air tetap terjaga. Karena itu, mereka termotivasi untuk melakukan penghijauan di sekitar mata air untuk menjaga kelestarian sumber. 

“Kincir air ini pintu masuk untuk mengubah perilaku masyarakat agar menghargai dan mencintai anugerah alam,” katanya.

Melalui teknologi kincirnya ini, Irhamto sempat meraih penghargaan juara pertama dalam ajang Anugerah Kreasi dan Inovasi Masyarakat (Krenova) Banjarnegara pada 2013.

Pada 2014, ia memperoleh penghargaan juara 1 Krenova tingkat Provinsi Jawa Tengah. Pada 2017 ini, Irhamto juga menerima penghargaan Kalpataru dari Gubernur Provinsi Jawa Tengah Ganjar Pranowo kategori Pembina Lingkungan Hidup atas dedikasinya di bidang lingkungan hidup. 

Ia pun telah mematenkan karyanya ini di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan menamakan teknologinya Batubana, singkatan dari Batur Banjarnegara yang merupakan tanah kelahirannya. 

Tokoh masyarakat Gumingsir Suharto mengaku bahagia karena 130 rumah tangga di desanya mulai teraliri air bersih. Keberadaan kincir air ini menurut dia sangat membantu warga desa yang setiap tahun dihadapkan pada masalah kekeringan. 

Saat musim penghujan, warga masih bisa menyedot air dengan pompa listrik dari sumur yang dibangun di sekitar rumah mereka. Namun, menurut Harto, warga tetap saja mengeluh karena biaya tagihan listrik bulanan membengkak. 

Karena tak memakai tenaga listrik PLN, kata Harto, warga akan menyepakati iuran terendah setiap bulannya agar tak memberatkan mereka. Dengan biaya perawatan mesin yang murah, ia memperkirakan, iuran yang akan ditarik untuk setiap KK hanya berkisar Rp 5 ribu per bulan. 

“Warga desa kalau ditarik tagihan mahal menjerit. Makanya kincir ini benar-benar meringankan beban warga desa,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!