Indonesia

Ketika minyak dan gas habis, pendidikan jadi senjata utama Qatar

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika minyak dan gas habis, pendidikan jadi senjata utama Qatar
Di tengah blokade negara-negara Arab, Qatar meyakini pentingnya pendidikan untuk bertahan di atas kaki sendiri

DOHA, Qatar — Anda tentu tidak berpikir untuk mendapatkan gelar sarjana dari universitas ternama negara-negara Barat di Timur Tengah, bukan?

Pendidikan di Timur Tengah lebih identik dengan ilmu agama Islam (Islamic studies) di negara-negara yang menganut sistem syariah tersebut. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, misalnya menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia untuk mempelajari agama lebih dalam.

Tapi sekarang negara Timur Tengah lainnya, seperti Qatar, mulai bertransformasi untuk menjadi pusat pendidikan di daerah tersebut. Sistem pendidikan di Qatar sekarang disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan situs Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyebut Qatar sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, bersanding dengan Finlandia dan Swiss. 

Qatar adalah negara kecil, tapi kaya akan sumber daya mineral dari minyak dan gas. Mengapa negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad Al Thani ini rela mengeluarkan investasi besar-besaran untuk memperbaiki sistem pendidikannya?

Mengutamakan pendidikan

“Saya berkunjung ke Doha beberapa tahun yang lalu, dan takjub melihat Doha saat ini,” kata Fareed saat menyampaikan pidato kunci di acara World Innovation Summit for Education (WISE) 2017 di Qatar National Convention Center (QNCC) pada November lalu.

“Ketika Anda berkunjung ke negara-negara di teluk, Anda akan selalu dikejutkan oleh pembangunan fisik di kota-kotanya. Gedung-gedung tingginya, hotel-hotel terbaru. Tapi yang menakjubkan dari Qatar adalah pembangunan kotanya sebagai pusat intelektual.”

Hal ini menunjukkan komitmen Qatar sebagai pusat edukasi di Timur Tengah, seperti yang disampaikan oleh istri mantan pemimpin negara tersebut, Sheikha Moza bint Nasser saat membacakan pidato pembuka di WISE 2017.

Sheikha Moza memberi contoh Irak yang memiliki sistem pendidikan terbaik di kawasan pada era 1990an, sebelum terjadi perang sipil pada 2003. Irak luluh lantah selama 13 tahun, padahal negara itu hampir mencapai tujuan untuk menghapus iliterasi.

Pemblokiran Qatar oleh sejumlah negara di kawasan Teluk Persia sejak Juni 2017 ini juga membuka peluang untuk merontokkan negara berpenduduk 2 juta jiwa itu. 

 “Beberapa negara berniat membuat hal menjadi rumit bagi kami, tapi itu hanya menambah kerumitan mereka sendiri,” kata Sheikha Moza.

“Mereka menginginkan kita berubah, tapi kita tetap sama.”

Sheikha Moza bint Nasser saat membuka pidato World Innovation Summit for Education di Doha, Qatar, pada November 2017. Screenshot dari YouTube

Di sinilah, menurut Sheikha Moza, pentingnya pendidikan bagi warga negaranya untuk dapat bertahan di atas kaki sendiri, meski hubungan diplomatik pun sosial dengan negara-negara tetangga terputus.

Jika pun suatu saat nanti, Qatar tidak bisa lagi mengandalkan minyak dan gas sebagai sumber utama kas negara, mereka berharap tetap bisa bertahan melalui sumber daya manusia, sebuah aset penting yang tidak boleh dikesampingkan.

“Keuntungan dari minyak dan gas tidak akan bertahan selamanya, fokus ke sesuatu yang berkelanjutan itu lebih penting,” kata Sheikh Abdulla bin Ali Al Thani, salah seorang anggota keluarga pemimpin Qatar kepada media.

Education City

Interior eksternal gedung kampus School of Islamic Studies di Education City, Doha, Qatar. Kedua minaret ini menunjuk ke qiblat di Mekah, Arab Saudi. Foto oleh Abdul Qowi Bastian/Rappler

Sheikha Moza, melalui Qatar Foundation, lalu membangun Education City atau Kota Pendidikan, di pinggiran kota Doha. Di sana terletak sejumlah universitas-universitas asing ternama seperti:

  • Virginia Commonwealth University in Qatar School of The Arts (Amerika Serikat)
  • Weill Cornell Medical College in Qatar (Amerika Serikat)
  • Texas A&M University at Qatar (Amerika Serikat)
  • Carnegie Mellon University in Qatar (Amerika Serikat)
  • Georgetown University School of Foreign Service in Qatar (Amerika Serikat)
  • Northwestern University in Qatar (Amerika Serikat)
  • Ecole des Hautes Etudes Commerciales de Paris (HEC Paris) (Perancis)
  • University College London (Inggris)

Selain universitas-universitas, juga terdapat dua universitas Qatar, yakni:

  • Qatar Faculty of Islamic Studies
  • Hamad bin Khalifa University

Qatar meyakini, sistem pendidikan berkualitas tidak mungkin diraihnya dalam semalam, maka mereka mengajak sejumlah universitas dari negara-negara Barat yang sudah memiliki reputasi baik untuk membuka cabang di sana. 

Newsroom di Northwestern University in Qatar dilengkapi fasilitas kelas dunia. Foto oleh Abdul Qowi Bastian/Rappler

Ini juga merupakan komitmen Qatar untuk memperbaiki sistem pendidikan di kawasan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah berulang kali mengkritik negara-negara Arab karena dinilai pendidikan di negara-negara ini masih terbelakang dibading kawasan lainnya di dunia.

Pendidikan di negara-negara Arab umumnya kurang mendapat suntikan dana dari pemerintah, bangunan sekolah yang sudah tua, hingga sistem pendidikan yang amat kaku. Belum lagi kurangnya peluang bagi perempuan baik anak-anak maupun dewasa. 

Kritik ini mendapat perhatian khusus dari Sheikha Moza dan suaminya, Sheikh Hamad, yang lengser pada 2003 lalu. Posisinya digantikan oleh anaknya, Tamim, yang mengambil alih pucuk kepemimpinan saat usianya masih 33 tahun. 

Sheikh Hamad dan Sheikha Moza menempuh pendidikan di perguruan tinggi negara Barat. 

Mata kuliah dalam perguruan tinggi di Qatar pun diberikan dalam bahasa Inggris dan Arab agar mahasiswa dapat memiliki peluang untuk memanfaatkan ilmunya secara luas dalam dunia global. 

Ambisi ini tidak akan sukses tanpa bantuan asing. Maka tenaga kerja dari seluruh dunia, dosen, guru, hingga konsultan dibayar tinggi oleh Qatar agar mencapai standar pendidikan internasional yang berkualitas.

Belajar di Doha

Tampak dalam Northwestern University in Qatar. Foto oleh Abdul Qowi Bastian

Febrariska Armen (28 tahun) adalah salah satu warga berkebangsaan Indonesia yang menempuh pendidikan di Qatar. Ia pindah ke negara itu sejak 1996, bersama keluarganya mengikuti ayah dan ibunya yang bekerja di sebuah perusahaan minyak.

Di Qatar, ia bersekolah di Al Khor International School. Orangtuanya tak perlu pusing memikirkan biaya sekolah karena semuanya—termasuk buku, peralatan menulis, biaya les, dan lain-lain—ditanggung oleh perusahaan tempat orangtuanya bekerja sampai ia lulus sekolah menengah atas.

Febrariska, yang melanjutkan pendidikan sarjananya di Perth, Australia, mengatakan pendidikan gratis di Qatar benar-benar menguntungkannya. 

“Bahkan untuk kertas menulis kita harus membeli sendiri di Australia. Peralatan tulis pun kita diberikan secara cuma-cuma di Qatar,” katanya kepada Rappler.

Salah satu alasannya mengapa ia tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi di Qatar adalah karena ia telah duduk di bangku sekolah di Doha sejak awal hingga akhir, ia ingin berpetualang ke negara lain.

Selain itu, menurut Febrariska, ketika itu, sekitar awal tahun 2000an, pemerintah maupun Qatar Foundation belum benar-benar mempromosikan keunggulan universitas dalam negeri mereka, sehingga masyarakat awam belum terlalu menyadari keuntungannya. 

Tapi sejak beberapa tahun terakhir, Qatar Foundation telah memulai transformasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan dan hasilnya yang akan mereka raup dalam tahun-tahun mendatang. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!