Suka duka menjadi Sinterklas

Fanny Sara

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Suka duka menjadi Sinterklas
Sebagai seorang non-Nasrani, apa yang membuat pria ini mau menjadi Sinterklas?

JAKARTA, Indonesia — “Halo,” sapa Sinterklas kepada seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun di pusat perbelanjaan di Jakarta Barat.

“Sini, Dek, sini. Ayo foto,” ucap Sinterklas dengan ramah. Anak kecil itu berdiri menatap lelaki gendut berjanggut putih yang berbalut pakaian serba merah, tak lupa dengan topi kerucutnya.

Bocah itu mengantre paling depan. Di belakangnya sudah banyak anak-anak kecil lain yang menunggu giliran untuk berfoto bersama Sinterklas menyambut Hari Raya Natal.

Ada yang tersenyum saat berfoto, ada juga yang berekspresi datar. Para orangtua dengan antusias mengeluarkan “senjata” mereka dari kantong, smartphone, untuk mengabadikan momen si buah hati bersama si Santa.

Saat menyambut setiap anak baru yang ingin berfoto, Sinterklas menyapanya dengan menepuk tangan anak tersebut, kemudian merangkulnya sambil tersenyum. Satu, dua, tiga, jepret. 

Tapi di balik kostum Sinterklas itu, ada seorang pria biasa yang mencari nafkah dari musim libur seperti ini. Ialah Kiko, seorang pria muda yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang dancer grup imitasi K-Pop.

Ia mengatakan, pengalaman menjadi Sinterklas ini merupakan hal baru yang dicobanya tahun ini. Ia mencoba berperan sebagai Sinterklas dengan menonton video-video di YouTube.

“Berhubung aku juga senang sama anak kecil, jadi aku belajar sama orang-orang  gimana peran Santa Claus itu,’’ kata Kiko.

Selama menjalankan profesi sebagai Sinterklas di mana peran seorang santa adalah orang yang menghibur dan suka membagikan hadiah kepada anak kecil, Kiko merasa senang karena ia dapat menghibur anak kecil yang datang untuk berfoto bersamanya.

Meskipun Kiko bukanlah seorang Nasrani yang ikut merayakan Natal, namun ia tetap melakukan pekerjaan itu dengan senang hati. 

Kiko saat menjadi Sinterklas diapit oleh dua orang Santarina di sebuah mall di Jakarta pada 23 Desember 2017. Foto oleh Fanny Sara/Rappler

Meski demikian, ia mengaku bahwa pekerjaan ini tidak selamanya menyenangkan. Ada momen-momen yang mengharuskannya menahan kesabaran, karena keisengan anak-anak.

“Ya, kadang ada kesalnya juga. Di balik kostum Santa Claus itu kadang aku merasa kesal karena digodain terus sama anak kecil, karena celananya juga kedodoran, tapi aku berpikir, ya sudahlah aku kan lagi jadi Santa, ya gimana profesionalitas aja,’’ ucap Kiko sambil tersenyum.

Berada di bawah sebuah manajemen membuat Kiko tidak perlu repot mempersiapkan kostum dan make-up Sinterklas. Semuanya itu sudah disediakan oleh manajemen. Kiko hanya tinggal datang saja ke mall yang sudah bekerjasama dengan manajemennya untuk menyediakan jasa foto bersama Sinterklas.

Jam kerja seorang Sinterklas di sebuah mall biasanya berlangsung dari pukul 15:00 sampai 20:00. Tetapi ia harus hadir untuk mempersiapkan dirinya dua jam sebelum acara dimulai. 

Sinterklas, atau Santa Klaus, bukanlah tokoh agama. Apalagi jika dibilang simbol keagamaan.

Dia lebih tepat disebut sebagai tokoh keikhlasan dan semangat berbagi. Meski tokoh yang menginspirasinya, Santo Nicholas dari Myra, memang seorang suci. 

Semasa hidupnya sebagai Uskup Myra pada abad ke-4, ia mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan dengan cara berbagi dan bersedekah. Setelah meninggal pun, ia didapuk sebagai santo pelindung anak-anak dan pelajar. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!