Mempelai ini menyulap limbah jadi gaun pengantin dan dekorasi pelaminan

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mempelai ini menyulap limbah jadi gaun pengantin dan dekorasi pelaminan
Meski terkendala biaya, pasangan asal Banjarnegara berkreasi dengan limbah agar tetap bisa menikah

BANJARNEGARA, Indonesia — Sebagian kalangan masyarakat di Indonesia—dan juga dunia—saling berlomba menyelenggarakan pesta perkawinan semeriah mungkin. Berapapun besar biaya rela dikeluarkan agar kesan mewah timbul dan menuai pujian dari tamu undangan. 

Tak ayal, paradigma itu mengerdilkan kepercayaan diri sebagian pasangan yang cuma memiliki modal pas-pasan. 

Namun apa yang dilakukan pasangan mempelai Pawit Wahono (28 tahun) dan Eni Rahmawati (21) patut diacungi jempol. Bukan dekorasi dari barang mahal yang menghiasai pesta perkawinan pasangan dari Desa Gentansari, Pagedongan Banjarnegara, Jawa Tengah ini, melainkan sisa limbah atau sampah rumah tangga

Pawit awalnya sempat kebingungan menjelang hari pernikhannya. Ia dan Eni ingin segera menghalalkan hubungan, namun di sisi lain, mereka terkendala modal karena biaya pesta yang mahal. Minimal Rp10 juta harus ia keluarkan untuk menyewa perlengkapan dekorasi perkawinan. Uang sebanyak itu tentu susah dijangkau bagi Pawit yang sehari-hari hanya bekerja sebagai buruh di pabrik kayu. 

“Saya enggak punya uang untuk sewa dekorasi yang mahal. Lalu saya berpikir untuk buat dekorasi sendiri,” kata Pawit pada 6 Januari lalu.

Saat itu, ide untuk membuat dekorasi dari bahan limbah mulai terbesit di pikirannya. Ia akhirnya meminta tolong kepada teman-temannya di kelompok karang taruna Pelita Mas Desa Gentansari untuk membuatkan dekorasi dari sampah. 

Seluruh ornamen yang menghiasi ruang resepsinya akan dicipta dengan limbah, mulai dari latar pelaminan, kursi pengantin, kursi tamu, karangan bunga, cinderamata, pintu gerbang, hingga gaun pengantin.  

Dekorasi ini dibuat dengan prinsip kegotongroyongan. Mereka mengumpulkan limbah rumah tangga dari masyarakat. Sampah plastik dan kertas jadi bahan utama untuk membuat hiasan. Para pemuda putra bertugas mendesain tata ruang dan membuat perlengkapan dekorasi semisal kursi, backdrop, dan pintu gerbang. 

Sementara remaja putri bertugas mendesain gaun pengantin dan membuat souvenir untuk tamu undangan serta hiasan bunga-bungaan. 

“Untuk membuat ini butuh waktu sebulan, setiap malam kami lembur,” kata Pawit.

Ia dan teman-teman karang tarunanya bukan kali ini saja bergelut dengan limbah. Mereka sebelumnya sering mengampanyekan pemanfaatan limbah kepada masyarakat dengan beragam cara, mulai peragaan busana limbah, hingga penyelenggaraan festival jerami yang memanfaatkan limbah pertanian. 

Kali ini ia ingin menggunakan produk pengolahan limbah bukan sebatas untuk pameran, namun benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Ia pun siap menghadapi segala risiko, dari menanggung malu hingga cibiran dari masyarakat terhadap hal “gila” yang ia lakukan. 

Yang paling sulit adalah meyakinkan mempelai perempuan dan mertua untuk menyesuaikan jalan pikirannya. Maklum, dekorasi berbahan limbah ini baru pertama kali diadakan. Orang tua tentu tak ingin menanggung malu di hadapan orang banyak. Memakai gaun dari sampah plastik apalagi, adalah hal nyeleneh yang tak pernah terbayang oleh Eni sebelumnya. Keraguan pun sempat muncul karenanya.  

“Istri saya bilang, kok kesannya seperti main-main. Tapi saya yakinkan, yang sakral dan inti hanyalah ijab kabul sehingga pernikahan sah. Dia mulai sadar dan akhirnya mau,” ujarnya.

Gaun pengantin dari bungkus kopi

Mempelai wanita Eni Rahmawati tampil anggun dengan gaun dari plastik kresek warna dan bungkus kopi. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Yang paling menyita perhatian di antara perlengkapan dekorasi lain tentu saja kostum yang dikenakan pengantin. Umumnya kostum berbahan limbah hanya dipakai pada peragaan busana atau pameran, namun pasangan pengantin ini nekat mengaplikasikannya pada resepsi perkawinan mereka. 

Sang mempelai pria tampak gagah memakai jas hitam yang terbuat dari plastik kresek. Bungkus kopi warna merah yang menghiasi kerah dan saku menambah manis busana tersebut. Hiasan dasi kupu-kupu dari bungkus kopi membuat busana itu kian sempurna. 

Gaun pengantin perempuan tak kalah unik. Eni tetap tampil anggun meski hanya berbalut busana dari barang bekas. Long dress cantik yang ia kenakan adalah paduan dari sampah plastik putih dan merah dengan bungkus kopi. Hiasan rambutnya pun terbuat dari limbah plastik warna warni. 

“Kami jadi lebih hemat karena tidak keluar biaya sewa kostum,” kata Pawit.

Kursi pelaminan terbuat dari bekas drum minyak yang dicat dan dimodifikasi dengan busa. Backdrop pelaminan dibuat dari limbah pertanian atau batang jagung yang dianyam. Bunga-bungaan beragam rupa dan warna yang menghiasi backdrop berbahan limbah plastik dan botol minuman. 

Para tamu undangan disambut dengan pintu gerbang berbentuk patung lucu dari ban bekas. Mereka dipersilakan duduk di kursi sofa yang terbuat dari ban bekas. 

Pesta pernikahan bernuansa limbah ini tentu menyita perhatian para tamu. Resepsi ini lebih ramai dari yang terbayangkan. Selain tamu undangan, masyarakat lain juga datang untuk sekadar melihat pengantin bergaun limbah dan kreasi unik lainnya di tempat resepsi. 

“Para tamu malah betah. Banyak yang berfoto dengan latar hiasan limbah,” ujar Pawit.

Kampanye pemanfaatan limbah

Penampakan dekorasi pernikahan dengan kursi pelaminan dari bekas drum minyak dan backdrop dari limbah pertanian. Kursi tamu dibuat dari ban bekas dilapisi limbah busa. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Melalui dekorasi berbahan limbah ini, Pawit ingin menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat. Ia ingin mengubah paradigma pesta pernikahan harus mahal. Karena itu sering jadi momok bagi pasangan yang kondisi ekonominya kurang. 

Di samping itu, ia berpikir, pesta perkawinan yang dihadiri banyak tamu undangan jadi momentum tepat bagi dia untuk mengampanyekan pengolahan limbah terhadap masyarakat luas. 

Tamu undangan pasti penasaran dengan dekorasi unik dalam resepsi itu yang melahirkan beragam tanya. Tugas para panitia yang siaga di tempat resepsi menyampaikan jawaban sekaligus mengedukasi ihwal pemanfaatan limbah kepada para tamu. 

“Ini adalah bentuk kampanye dengan cara yang berbeda. Karena saya berpikir resepsi banyak tamu yang datang,” katanya.

Abdi Triyanto, pemuda Karang Taruna Pelita Mas Desa Gentansari, mengatakan, dekorasi pernikahan ini dibuat karena semangat sama dalam mengampanyekan pengolahan limbah kepada masyarakat. Di samping rasa solidaritas terhadap kawan yang membutuhkan bantuan dekorasi karena terkendala biaya. 

Menurut dia, kegotongroyongan jadi kunci utama sehingga sesuatu yang awalnya diragukan itu menuai keberhasilan dan diapresiasi banyak orang. Apalagi kendala biaya untuk melangsungkan pernikahan ini bisa juga dialami oleh pemuda lain dalam kelompoknya. 

Dengan prinsip kegotongroyongan itu, pihaknya siap membantu anggota lain yang ingin menyelenggarakan pesta perkawinan dengan dekorasi berbahan limbah. 

“Jangan sampai nikah terlambat karena kendala biaya. Kami siap buat dekorasi mewah, meski berbahan limbah,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!